Tak ada layanan medis demikian di daerah tersebut. Apalagi tanpa penulisan gang. Sewaktu menghubungi konsumen penerima via WA, baru jelas jika alamat tadi berada di Jakarta Pusat bukan di Asemrowo Surabaya. Tapi mengapa persepsi sprinter pickup tersebut menuliskan Asemrowo Surabaya?
Hal ketiga adalah konsumen pemesan barang (calon penerima paket) yang tidak mengetahui sendiri alamat dimana dia tinggal/berada. Yang demikian juga tidak sekali-dua kali dalam waktu seminggu dan cukup memusingkan apalagi bagi seorang kurir baru atau kurir pengganti/perbantuan.Â
Yang paling banyak terjadi adalah minimnya interaksi dengan pejabat lokal setempat; misalnya sebatas RT/RW atau di atasnya, setingkat kelurahan/desa.Â
Atau alasan yang sering ditemui adalah 'saya masih baru di sini.' namun ngebet transaksi tanpa meminta kejelasan tentang kondisi dimana dia tinggal. Dan ketika tanya tetangga pun sama tidak tahunya.
Alamat tidak jelas lainnya adalah kondisi kelokalan setempat. Hampir setiap daerah mempunyai nomor ganda yang entah terdaftar atau tidak pada dinas pertanahan atau kependudukan, sedangkan lainnya adalah terkait dengan kondisi si empunya rumah. "Repot mas kalo disini, nomornya ganti-ganti terus...
" Ada seorang warga yang curhat demikian. Warga area lain pun memberi info di sela perbincangan, "Dulu area sini masuk blok A, nggak tau sekarang ko masuk blok L."
Meski ada juga warga yang mungkin memberi pencerahan, "oh kalau yang masih nomor lama itu belum punya sertifikat tanah mas. Kalau yang sudah nomor baru itu warga yang sudah punya." Demikian ungkap seorang warga di Genting Tambak Dalam.Â
Entah bagaimana sebenarnya, saya yang menyempatkan inbox untuk bertanya tentang bagaimana prosedur terkait hal tersebut ke laman facebook suatu kedinasan pemerintah yang lalu diarahkan untuk menghubungi via situs (yang mengharuskan untuk registrasi menggunakan surel namun gagal disebabkan masalah teknis) pun belum menemukan kejelasan hingga artikel ini diunggah.
Tidak seperti perumahan yang nomornya urut, rumah-rumah kampung biasanya memiliki nomor yang acak. Mana yang dibangun lebih dulu ya itulah nomor 1. Lalu nomor 2 dan seterusnya. Bagaimana dengan kampung yang nomornya teratur (misalnya sebelah kanan nomor genap dan sebelah kiri hanya nomor ganjil)? Bisa dipastikan sistem penomoran kampung tersebut telah 'di-defragment' oleh dinas terkait.
Contoh lain lagi, ada satu-dua nomor yang 'nyempal' atau 'lain sendiri'. Ini seharusnya nomor deretan ganjil mengapa ada nomor 10 ya? Oh iya mas... ini dulu sama rumah depan itu yang punya sama, orangnya satu. Jadi nomor alamatnya digabung. Weleh, tidak tahu siapa yang punya ide demikian, nampaknya ada banyak permasalahan di bidang penomoran.
Sederhananya, misalnya Anda membuka toko kue, lalu ada pemesanan dan minta diantar ke sebuah alamat. Jika Anda menggunakan tenaga kurir intern (atau mungkin Anda sendiri), kemungkinan kurir Anda akan menjumpai hal-hal semcam ini. Tapi dunia kurir ekspedisi berkali-lipat lebih menyulitkan ketimbang sekadar delivery kue yang mungkin hanya dipesan untuk diantar menuju satu-dua alamat.