Mohon tunggu...
Daun Ilalang
Daun Ilalang Mohon Tunggu... -

Life is like a rainbow. You need both the sun and the rain to make its colors appear. ~ ♫ ❤

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Makhluk Dengan Separuh Jiwa

24 Oktober 2015   11:58 Diperbarui: 25 Oktober 2015   12:02 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BETAPA tersiksanya terkurung seperti ini…

Hantu jeruji membuka laci. Di sudut laci, terdapat kantong terbuat dari kulit dengan logo dari pembuat tas terkenal yang mahal.

Biarpun hantu, barang- barangku tetap branded, pikir Hantu Jeruji senang.

Di dalam kantong kulit itu, terdapat beberapa gepok mata uang dari beragam negara. US Dollar. Euro. Poundsterling. Ada juga lembaran Rupiah.

Aku ingin jalan- jalan, pikir Hantu Jeruji.

Ditariknya keluar segepok uang Dollar dari kantong kulit bermerk mahal itu. Ditimang- timangnya sebentar. Uang itu bisa membayar beberapa jam keleluasaan untuk berjalan- jalan keluar bilik sempit dibalik jeruji yang mengekang.

Saat menimang uang itu terpandang olehnya kuku- kuku yang telah memanjang dan juga kotor. Sulit memelihara kuku saat berada di balik jeruji seperti ini. Gunting kuku tak diperkenankan masuk ke balik dinding berjeruji. Adakalanya dia memendekkan kuku dengan menggigiti kuku- kuku tersebut. Di saat lain, jika dia sedang beruntung, dia bisa menggunakan mata silet kecil dari alat cukur yang dibawakan oleh kerabat yang menengoknya.

Ah, perduli apa, pikir Hantu Jeruji, dengan uang bergepok- gepok seperti ini, kuku panjang kotorku akan bisa tampak keren seperti cakar panjang Wolverine yang diperankan Hugh Jackman itu.

Hugh Jackman.. HJ.. Hantu Jeruji.. HJ..

Dan gambar kabur mulai tampak di dinding lembab di depan matanya. Gambar Hantu Jeruji yang dalam khayalannya sendiri seganteng dan sememikat Hugh Jackman…

***

Di dalam sebuah gedung berlangit- langit tinggi dengan pilar besar berukir…

Sesosok makhluk duduk di kursi pesakitan. Di sekelilingnya, para arwah dari berbagai abad terbang melayang.

Makin banyak jumlah mereka, para arwah itu. Plato, Aristoteles, Socrates, Confucius, Epicurus, Descartes, Freud, Voltaire hadir sejak mula. Lalu Sun Tzu datang. Demikian pula ada beberapa yang lain hadir satu per satu. Dan, itu… Rumi-kah yang melayang tenang di dekat langit- langit ruangan? Lalu.. Gandhi, dan juga.. Einstein? Ah, Mahatma Gandhi serta Einstein hadir pula, rupanya.

Dan semua, mereka semua itu menunjukkan raut muka kecewa padanya.

“ Kau itu,” kata salah satu dari mereka, “ Alih- alih membuat orang memahami filsafat, malah membuat orang menjauh. Keangkuhanmu mengacaukan pesan dasar filsafat.”

“ Benar, “ sahut yang lain, “Filsafat sejatinya dasar ilmu, yang membuat orang lebih pintar dan menghaluskan rasa. Pelajaran filsafat seharusnya membuat seseorang menjadi rendah hati, bukannya sombong.”

“ Kau mengangkat dirimu sendiri sebagai guru, menganggap diri paling pintar dan semua yang lain diluar dirimu bodoh. Keterlaluan… “ terdengar gerutuan yang lain.

“ Padahal.. justru.. “ dari dekat langit- langit terdengar suara. Rumi berbicara, “ Guru sejati merobohkan berhala dirinya yang dibuat muridnya. “

“ Seni tertinggi guru, “ Einstein menyambung. “ Adalah untuk membangkitkan sukacita dan ekspresi kreatif dan pengetahuan. “

“ Bukan merendahkan dan mematikan, “ sambung arwah berambut putih keriting yang melayang tak jauh dari Einstein. “ Guru gadungan, itu namanya. “

Filsuf gadungan, “ gerutu yang lain. “ Kau ini membuat kampanye negatif tentang pelajaran filsafat, tentang para filsuf dan theolog. Alih- alih menunjukkan kesederhanaan dan kerendah hatian, kau bahkan menampilkan hal yang sebaliknya. “

“ Kau mengerdilkan arti pendidikan, “ sahut arwah di dekat pilar. “ Kau bicara beragam teori tanpa kau sendiri bisa menunjukkan bahwa kau memahami itu dalam perilakumu.”

“ Kau tahu, literasi, kemampuan membaca saja tak bisa dikatakan sebagai pendidikan, “ Gandhi turut berbicara, “ Kemampuan membaca bukan akhir dari pendidikan, atau bahkan awal. Pendidikan seharusnya menarik keluar seluruh kemampuan terbaik pada tubuh, pikiran dan jiwa… “

“ Bicara semata logika, logika, logika melulu, itu bertentangan dengan hakikat manusia secara keseluruhan, “ komentar arwah lain yang berambut dan berbaju coklat di pojok ruangan. “ Manusia itu harus seimbang antara rasio dan rasa. Pikiran dan hati.”

Salah satu arwah menoleh ke kanan dan ke kiri. “ Sayang kawanku penyair terkenal William Butler Yeats tak hadir disini. Jika ada, dia pasti akan mengatakan bahwa pendidikan itu bukan mengisi ember, tapi menyalakan api.. “

“ Ah, ya, Yeats, “ sambung arwah yang lain. “ Aku pernah mengobrol dengan dia dan dia mengatakan pendapatnya bahwa semata bersandar pada logika dan rasio justru akan mengakibatkan kelaparan pada bagian terbaik dari pikiran. “

“ Aku setuju, “ kata Einstein. “ Logika akan bisa membawamu dari A ke B. Imajinasi akan bisa membawamu kemana- mana… “

“ Nah lihatlah.. lihatlah, “ beberapa suara bersamaan berkata, “ Bahkan Einsteinpun mengatakan begitu.. “

Sebuah suara dengan nada kesal yang sangat nyata terdengar dari pojok lain, “ Makhluk itu, “ katanya sambil sang empunya suara menunjuk ke kursi pesakitan, “ Badut. Badut yang melawak, menggambarkan filsuf gadungan… “

***

Telinga makhluk di kursi pesakitan itu terasa panas. Kepalanya seakan hendak meledak.

Keangkuhan dan kekeras kepalaannya menghalangi dia untuk menerima pendapat lain diluar dirinya. 

Mukanya memerah. Kemarahan dalam dirinya menggelegak. Tapi, hendak melawan terang- terangan arwah para filsuf yang terbang melayang disekitar dirinya, dia tak berani.

Ada Gandhi di ruangan itu dan dia tahu Gandhi akan berkata bahwa kemarahan dan intoleransi merupakan musuh dari pemahaman yang benar.

Tapi makhluk itu sungguh tak lagi dapat menguasai dirinya.

Terbakar angkara murka, perlahan, jiwanya mulai terpisah dari raganya. Tak benar- benar terpisah. Sebagian jiwanya ada di dalam raga, sebagian meninggalkannya. Dia kini hanya makhluk dengan separuh jiwa…

 

* Kisah sebelumnya ada disini: 

- Drama Kebohongan

- Kerajaan Ular dan Para Pecundang

- Narcissus dan Sang Narapidana Tampan

Kisah selanjutnya, disini:

- Kegelapan, Hasrat dan Nafsu di Pusat Bumi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun