“ Filsuf gadungan, “ gerutu yang lain. “ Kau ini membuat kampanye negatif tentang pelajaran filsafat, tentang para filsuf dan theolog. Alih- alih menunjukkan kesederhanaan dan kerendah hatian, kau bahkan menampilkan hal yang sebaliknya. “
“ Kau mengerdilkan arti pendidikan, “ sahut arwah di dekat pilar. “ Kau bicara beragam teori tanpa kau sendiri bisa menunjukkan bahwa kau memahami itu dalam perilakumu.”
“ Kau tahu, literasi, kemampuan membaca saja tak bisa dikatakan sebagai pendidikan, “ Gandhi turut berbicara, “ Kemampuan membaca bukan akhir dari pendidikan, atau bahkan awal. Pendidikan seharusnya menarik keluar seluruh kemampuan terbaik pada tubuh, pikiran dan jiwa… “
“ Bicara semata logika, logika, logika melulu, itu bertentangan dengan hakikat manusia secara keseluruhan, “ komentar arwah lain yang berambut dan berbaju coklat di pojok ruangan. “ Manusia itu harus seimbang antara rasio dan rasa. Pikiran dan hati.”
Salah satu arwah menoleh ke kanan dan ke kiri. “ Sayang kawanku penyair terkenal William Butler Yeats tak hadir disini. Jika ada, dia pasti akan mengatakan bahwa pendidikan itu bukan mengisi ember, tapi menyalakan api.. “
“ Ah, ya, Yeats, “ sambung arwah yang lain. “ Aku pernah mengobrol dengan dia dan dia mengatakan pendapatnya bahwa semata bersandar pada logika dan rasio justru akan mengakibatkan kelaparan pada bagian terbaik dari pikiran. “
“ Aku setuju, “ kata Einstein. “ Logika akan bisa membawamu dari A ke B. Imajinasi akan bisa membawamu kemana- mana… “
“ Nah lihatlah.. lihatlah, “ beberapa suara bersamaan berkata, “ Bahkan Einsteinpun mengatakan begitu.. “
Sebuah suara dengan nada kesal yang sangat nyata terdengar dari pojok lain, “ Makhluk itu, “ katanya sambil sang empunya suara menunjuk ke kursi pesakitan, “ Badut. Badut yang melawak, menggambarkan filsuf gadungan… “
***
Telinga makhluk di kursi pesakitan itu terasa panas. Kepalanya seakan hendak meledak.