Mohon tunggu...
Daun Ilalang
Daun Ilalang Mohon Tunggu... -

Life is like a rainbow. You need both the sun and the rain to make its colors appear. ~ ♫ ❤

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kerajaan Ular dan Para Pecundang

16 Oktober 2015   21:54 Diperbarui: 25 Oktober 2015   12:08 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 MENTARI belum lagi menampakkan diri. Raja ular berkepala dua menggeliat, menimbulkan suara keresek dedaunan. Kedua kepalanya terangkat tegak. Satu menoleh ke kanan, satu menoleh ke kiri. Mencari- cari, dimana Ratu Ular berada. Tadi malam, dia masih melingkar hangat disisinya.

Mata kecil Raja ular yang licik menelisik. Ratu ular belum terlihat, tapi diketemukannya selongsong kulit.

Hah. Ratu Ular berganti kulit kembali? Hendak kemana lagi dia hari ini ?

Raja ular maklum. Akhir-akhir ini Ratu ular berkeliaran kesana kemari. Bergabung ke kelompok sini dan sana. Tak jelas maunya apa. Untuk itu dia perlu sering berganti kulit...

***

Sementara itu, di sebuah daratan ditepi laut luas yang membentang, Emak Menor mengucurkan air ke dalam bak. Dimasukkannya botol cairan pemutih pakaian ke dalam bak tersebut. Di dekatnya, ada gayung berisi air hangat yang dikucurinya tiga bungkus penuh detergen.

Emak Menor mengangkat dagunya. Berkaca, memoles senyum. Gincu merah darah sudah siap dipoleskan, nanti seusai dia berendam dalam cairan pemutih pakaian dan mencuci muka dengan detergen.

Angan Emak Menor melambung tinggi, membayangkan para penggemar yang akan bersuka cita menyambutnya..

***

Pada keping ruang dan waktu yang berbeda, para arwah dari berbagai abad melayang- layang.

Di antara mereka, Sun Tzu menggeleng- gelengkan kepalanya. Dia terkekeh- kekeh. Makhluk yang duduk kursi pesakitan di dalam sebuah ruangan luas dengan langit- langit tinggi itu rupanya bertempur tanpa mengetahui siapa lawannya.

Bukan hanya tak mengenali siapa lawannya, tapi dia bahkan tak mengenali dirinya sendiri.

Ini makhluk yang gemar berjoget mengikuti irama dangdut dan campursari tapi demi kelihatan gaya, dimuka umum dia memutar lagu jazz...

Arwah Sun Tzu melayang ringan. Dia berputar mengamati Plato, Aristoteles, Socrates, Confucius, Epicurus, Descartes, Freud, Voltaire dan beberapa filsuf lain yang hadir di ruangan itu. Tak satupun dari mereka bersedia mengakui makhluk di kursi pesakitan itu sebagai muridnya.

Sun Tzu berputar mendekat ke arah kursi pesakitan lalu berkata padanya, " Tahukah kau, mengapa kau kalah? Sebab kau sombong . Kau pikir kau pintar, kau bahkan mengira kau makhluk paling pintar sedunia. Kau tuding lawanmu bodoh dan tak tahu apa- apa. Padahal, kau lihat kini. Lawan- lawanmu sama sekali tidak bodoh. Mereka membiarkan kau mengeluarkan semua isi kepalamu sehingga mereka mudah menyerangmu, sementara kau sama sekali tidak bisa membaca pikiran mereka, sebab selama ini mereka hemat kata- kata. Mereka cerdik, mereka membiarkanmu menganggap mereka bodoh untuk membuatmu lengah. "

Arwah Sun Tzu terbang menjauhi makhluk dengan aura gelap di kursi pesakitan itu.

Hah, pikirnya, makhluk di kursi pesakitan itu pasti tak pernah mempelajari The Art of War. Dia tak tahu apa yang selalu kukatakan, pikir Sun Tzu, " Jika kau mengenali musuh dan mengenali dirimu sendiri, kau tak akan terancam bahaya dalam seratus pertempuran. Jika kau tak mengenali musuhmu atau dirimu sendiri, kau akan terancam dalam setiap pertempuran. "

Pantas tak seorangpun dari para filsuf yang hadir di ruangan tersebut bersedia mengaku sebagai guru dari makhluk di kursi pesakitan tersebut, pikir Sun Tzu. Filsuf gadungan, makhluk itu.

***

Pada saat yang sama, di sebuah tempat yang jauh dan terasing...

Hantu Jeruji menggigil. Kamar dimana dia terkurung itu sempit, dingin, dan dia sendirian.

Untuk apa hidup seperti ini, pikirnya. Harta karunku berlimpah, aman dijaga para goblin dan naga di Gringotts. Tapi aku terkungkung jauh dari hiruk pikuk dunia seperti ini.

Hantu Jeruji mengambil sebuah sikat gigi dari laci. Sikat gigi itu suatu saat dulu, sempat dia selundupkan tanpa terlihat penjaga. Setiap hari, diasahnya gagang sikat gigi tersebut agar tepinya menjadi tajam.

Lebih baik bunuh diri saja kalau begini, pikir hantu jeruji. Didekatkannya gagang sikat gigi ke lengan, dimana urat nadi berada. Dimana seharusnya urat nadi berada. Tapi.. urat nadi itu tak diketemukannya. Dia tak lagi memiliki urat nadi. Dia kan.. hantu. Tak ada lagi darah mengalir di tubuhnya.

Hantu Jeruji tersengat.

Merasa lucu dan nyeri sekaligus. Mau gila rasanya. Bahkan hendak bunuh diri sajapun dia tak bisa.

Hantu jeruji mulai tertawa. Lalu menangis. Tertawa lagi. Menangis lagi. Makin lama makin keras.

Dari kejauhan, suara tawa bercampur tangis Hantu Jeruji itu terdengar seperti lolongan serigala yang putus asa di tengah hutan belantara yang penuh dengan dedemit dan genderuwo...

 

Kisah sebelumnya ada disini: Drama Kebohongan

Kisah selanjutnya di: Narcissus dan Sang Narapidana Tampan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun