Mohon tunggu...
Daun Ilalang
Daun Ilalang Mohon Tunggu... -

Life is like a rainbow. You need both the sun and the rain to make its colors appear. ~ ♫ ❤

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Drama Kebohongan

13 Oktober 2015   20:34 Diperbarui: 16 Oktober 2015   22:05 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari, dibalik gelap dan dinginnya sebuah kamar sempit dimana waktu seperti berhenti berputar, Hantu Jeruji bertanya pada dinding di hadapannya: "Dinding.. dinding.. siapakah hantu lelaki paling tampan dan hebat sedunia? "

Kamar sempit dan dingin itu sudah pernah ditempati banyak jenis hantu, termasuk yang licik, culas dan bermuka dua, sehingga dindingnya tahu cara memoles kata. Maka dinding menjawab, " Engkau, Hantu Jeruji. Engkaulah hantu lelaki paling tampan dan hebat sedunia."

Dan, sebuah mimpi bohongpun dimulai...

***

Di tempat lain, di sebuah daratan yang jauh dan terpisah oleh samudera, Emak Menor berdiri di depan kaca.

" Kaca..kaca di dinding.. Katakan padaku, siapa emak-emak paling cantik dan sexy sejagat raya "

Kaca, sungguh sudah bosan menerima ribuan kali pertanyaan yang sama. Maka dengan malas dia menjawab, " Kau sudah cuci muka dengan deterjen dan merendam tubuhmu dengan cairan pemutih tekstil? Kau cantik dan sexy jika kau lakukan itu.. "

Kaca mengucapkan kebohongan yang nyata- nyata telanjang, tapi tak tertangkap oleh Emak Menor sebab dia terlalu sibuk mengagumi dirinya sendiri. Maka terbutakanlah mata serta hatinya.

Kalimat bohong sekalipun, akan dia ikuti.

Jadi, segeralah dia membuka situs online shop, hendak memborong deterjen dan cairan pemutih pakaian seperti yang disarankan oleh kaca di hadapannya.

***

Pada penggal ruang dan waktu yang berbeda. Di sebuah gedung yang luas, dengan langit-langit tinggi dan tiang- tiang besar berukir, para arwah dari berbagai abad terbang melayang..

" Plato, itu muridmu? " Arwah berjanggut putih dan berambut ikal di muka ruangan yang tangannya memegang sebuah buku tebal dan pena berbulu Phoenix menunjuk pesakitan di tengah ruangan.

Plato menggeleng.

" Bukan, " Plato menjawab.

" Aristoteles, barangkali muridmu? "

Arwah Aristoteles melayang mendekati kursi pesakitan dan mengamati makhluk yang ada disana.

" Tidak, bukan, " sanggah Aristoteles kemudian, " Itu bukan muridku. "

Arwah berjanggut putih mengamati lagi bukunya.

" Kant? Muridmu ? "

Immanuel Kant menjawab cepat, " Bukan.. aku tak mengenalnya. "

" Hmmm, bukan juga ? " Arwah berjanggut putih melayang mengelilingi ruangan seraya bertanya pada para arwah yang hadir. "Socrates? Confucius? Epicurus? Descartes? Freud? Voltaire? Itu muridmu? Oh.. bukan? Bukan juga? Lalu murid siapa dia? "

Para arwah berpandangan.

Semua mengamati kembali makhluk yang menggigil sendirian di kursi pesakitan.

Ah, tak mungkin makhluk tersebut murid mereka. Tak mungkin, pikir para arwah. Makhluk itu terlalu arogan. Dia bahkan bicara dengan bahasa yang tak mereka pahami. Filsuf gadungan pasti, makhluk itu...

***

Ditemani sebuah lampu teplok yang temaram dengan lidah api yang meliuk- liuk, Pendekar Fiksi menggoretkan penanya.

Dia mengerutkan kening, mengusap rambut, menggeser duduknya. Membaca kembali apa yang telah dia tuliskan dan berpikir: betapa kelamnya.. betapa kelam tokoh- tokoh drama yang akan dituliskannya itu.

Dia bahkan tak menyukai tokoh- tokoh yang dituliskannya dalam naskah itu.

Hah, pikirnya. Menulis drama dengan tokoh bergelimang debu dan kebohongan macam itu sungguh merusak suasana hati.

Diletakkannya pena yang tadi digunakannya untuk menulis. Sudahlah, pikirnya, kuhentikan sampai disini saja tulisanku. Biar besok, kawan- kawanku yang lain, para Pendekar Fiksi lain yang biasa berkumpul di Pendopo Balai Desa yang meneruskan dan menuliskan bab- bab lanjutan drama ini...

Sang Pendekar Fiksi membuka pintu pondoknya lalu berjalan ke halaman. Daripada menulis drama kelam, dia memilih untuk menyenangkan hati, menikmati warna- warni ledakan kembang api menyambut Tahun Baru yang berpendar menerangi langit saja malam itu...

(bersambung ke: Kerajaan Ular dan Para Pecundang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun