Para arwah berpandangan.
Semua mengamati kembali makhluk yang menggigil sendirian di kursi pesakitan.
Ah, tak mungkin makhluk tersebut murid mereka. Tak mungkin, pikir para arwah. Makhluk itu terlalu arogan. Dia bahkan bicara dengan bahasa yang tak mereka pahami. Filsuf gadungan pasti, makhluk itu...
***
Ditemani sebuah lampu teplok yang temaram dengan lidah api yang meliuk- liuk, Pendekar Fiksi menggoretkan penanya.
Dia mengerutkan kening, mengusap rambut, menggeser duduknya. Membaca kembali apa yang telah dia tuliskan dan berpikir: betapa kelamnya.. betapa kelam tokoh- tokoh drama yang akan dituliskannya itu.
Dia bahkan tak menyukai tokoh- tokoh yang dituliskannya dalam naskah itu.
Hah, pikirnya. Menulis drama dengan tokoh bergelimang debu dan kebohongan macam itu sungguh merusak suasana hati.
Diletakkannya pena yang tadi digunakannya untuk menulis. Sudahlah, pikirnya, kuhentikan sampai disini saja tulisanku. Biar besok, kawan- kawanku yang lain, para Pendekar Fiksi lain yang biasa berkumpul di Pendopo Balai Desa yang meneruskan dan menuliskan bab- bab lanjutan drama ini...
Sang Pendekar Fiksi membuka pintu pondoknya lalu berjalan ke halaman. Daripada menulis drama kelam, dia memilih untuk menyenangkan hati, menikmati warna- warni ledakan kembang api menyambut Tahun Baru yang berpendar menerangi langit saja malam itu...
(bersambung ke: Kerajaan Ular dan Para Pecundang)