Buku, menyambungkan kami sejak dulu. Aku dan suamiku itu.
Menjadi jembatan yang menghubungkan dua hati.
Saat kami baru saja berkenalan, buku adalah salah satu topik pembicaraan yang membuat kami dekat satu sama lain. Kami banyak membaca buku- buku yang sama, rupanya. Kegemaran kami bersinggungan pada buku- buku yang ditulis Romo Mangunwijaya, Ahmad Sobari, Umar Kayam dan semacamnya.
Hal itu menyatukan kami.
Baru setelah beberapa saat menikah dan masing- masing membawa beberapa kotak buku milik masing- masing, kami menyadari bahwa sebenarnya selera kami agak berbeda, ha ha ha.
Selain buku- buku yang sama dengan yang kubaca, suamiku memiliki banyak buku lain yang belum pernah kubaca. Jenis buku- buku yang perlu pemahaman spiritual dan kemampuan filsafat yang tinggi untuk dapat memahaminya, sementara aku…
Aku ingat saat itu suamiku dengan ‘takjub’ memandangi kumpulan novelku yang dengan hati- hati kususun di rak buku kami dulu. Tampaknya baru saat itu dia menyadari bahwa aku ternyata cukup ‘error’ untuk membaca jenis- jenis novel yang menurut pendapatnya ‘tidak memperkaya jiwa’, ha ha ha.
Kami bukan kawan lama, memang. Suamiku, adalah kawan baruku. Kami berkenalan dan dengan segera saling tertarik satu sama lain lalu tak lama setelah itu kami menikah. Karenanya memang banyak hal- hal kecil tentang kami yang tak sempat kami ketahui sebelumnya, yang baru terungkap saat kami telah menikah.
Termasuk bahwa aku adalah penikmat novel- novel ringan yang tak akan pernah disentuhnya, dan…
Ha ha.
Ada cerita lain tentang buku ini. Yaitu, lepas dari bahwa selera kami kadangkala tak sama, dia tak pernah bosan memberiku oleh- oleh buku saat bepergian. Dan ada pengalaman yang sungguh membuatku geli tentang ini, yaitu bahwa pada suatu saat dulu, ketika dia pergi ke luar negeri, kuminta dia membelikanku buku yang ditulis Roald Dahl.