"Tidak. Masih ada yang lebih gelap. Tempat itu ada pada dirimu sendiri."
Si pemuda melihat tubuhnya, namun masih tak mengerti. Lalu ia sadar kalau di sekelilingnya ada banyak cahaya putih, jadi tak mungkin tempat itu ada disana. Satu -- satunya tempat gelap yang mungkin adalah di pikirannya sendiri.
"Aku akan memejamkan mataku lagi." katanya dan setelah itu ia menemukan kegelapan dimana -- mana. Dalam warna hitam yang pekat itu, ia melihat seberkas cahaya putih kecil. Ia berjalan mendekatinya, dan ternyata sebuah pedang tertancap di atas tanah. Karena ia sudah menemukan pedang itu, ia segera berusaha mencabutnya. Lalu ia membuka matanya kembali.
"Selamat, kau berhasil menarik pedang itu. Ayo kita kembali." kata si cenayang.
"Tunggu. Aku masih belum puas melihat bumi dari atas sini."
"Tidak, tidak. Kau harus kembali secepatnya."
Si cenayang pun menyeret lengan si pemuda, lalu menyuruhnya untuk memejamkan matanya lagi. Setelah itu, mereka berdua kembali di depan gubuk reyot. Si cenayang masuk ke dalam gubuk itu, tapi si pemuda masih melihat ke atas, menatap matahari.
"Kau ingin kembali kesana?" tanya si cenayang.
"Tidak. Aku hanya berpikir, kenapa dia disebut matahari. Mungkin dia dinamakan matahari, karena dia ibarat mata yang selalu mengawasi kehidupan di bumi sepanjang hari."
"Memangnya kenapa?"
"Tidak apa -- apa. Aku pikir, hanya aku yang bisa melihat hal -- hal di sekitar sini. Tapi ternyata ada yang sesuatu yang lebih besar dariku."