Tiga orang tiba di sebuah dataran. Tanahnya gersang dan matahari sangat terik waktu itu. Mereka terus berjalan menuju puncak gunung.
"Apa puncak masih jauh?" Tanya si turis.
"Tidak terlalu, kalau kamu terus berjalan." Kata si pemandu.
"Ngomong -- ngomong, aku masih belum tahu untuk apa kalian mencari air terjun itu." Kata orang gunung.
"Kami sudah bilang, kalau kami kesana ingin mencari ketenangan." Kata si turis.
"Kupikir masih banyak air terjun lain untuk mencari ketenangan. Dan itu letaknya tidak sejauh yang ini. Kupikir kalian punya maksud lain."
"Oh ya? Contohnya?"
"Entahlah, mungkin kalian sama seperti banyak kerajaan, ingin menjadi yang paling kuat?"
"TIdak, misi kami tidak seluas itu."
"Lalu apa?"
"Apa hubungannya denganmu? Kau urus saja urusanmu."
Lalu orang gunung itu menghadang si turis dan si pemandu.
"Hei, aku tidak akan berjalan dengan orang yang tak jelas seperti kalian. Bisa saja kalian termasuk orang yang ingin merebut gunung kami."
"Kau.. Sudah untung kau kami lepas. Kami bisa saja membuangmu atau membunuhmu saat kalian tertangkap kemarin." Kata si turis.
"Oh begitu? Lalu kalau tidak ada kami, siapa yang akan melawan siluman buaya tadi? Aku pikir kalian yang harus bersyukur, karena berkat kami perjalanan kalian jadi lebih mudah."
"Benar, tanpa pengorbanan temanmu tadi, kami tidak bisa berjalan sejauh ini. Tapi kami juga tidak meminta kalian untuk menolong kami."
"Kau ini! Temanku mati demi kalian tapi beraninya berkata seperti itu!"
Orang gunung marah lalu menantang si turis beradu tombak. Namun keduanya dihentikan oleh si pemandu.
"Hei, kita selangkah lebih dekat dengan air terjun itu."
Kedua orang itu pun melunak.
"Kita masih selamat tapi kehilangan satu orang. Mungkin itu tanda agar kita lebih bekerjasama. Jadi aku pikir tidak ada salahnya kalau kita saling percaya satu sama lain." Kata si pemandu.
"Kupikir juga begitu. Hanya temanmu ini yang tak mau mengalah." Kata orang gunung.
Si turis kesal, namun karena mereka bertiga berada di nasib yang sama, jadi ia mulai terbuka.
"Hahh.. Baik, baik. Kalau kau ingin tahu tujuan kami, aku akan beritahu. Kami mencari air terjun itu untuk keabadian."
"Keabadian?"
"Ya. Agar kami bisa hidup selamanya."
"Untuk apa kalian hidup selamanya?"
"Hentikan. Kau sudah kelewatan menanyai kami."
"Haha. Kupikir kalian ingin hidup selamanya karena ingin menguasai dunia ini. Ujung -- ujungnya kalian akan menyerang gunung kami."
"Tanpa air terjun itu pun, aku bisa menyerangmu dan merebut gunung kalian."
"Oh ya? Mau membuktikan sekarang?"
Lalu si turis dan orang gunung mengacungkan tombak lagi. Saat mereka hendak mengayunkan tombak masing -- masing, si pemandu menghentikannya.
"Hentikan. Aku akan pulang kalau kalian terus -- terusan seperti ini."
"Ada apa dengan dirimu? Kami sudah memberitahu tujuan kami sebenarnya." Katanya kepada orang gunung, lalu meninggalkan mereka berdua.
"LIhat, gara -- gara kau, penunjuk jalanku jadi marah. Kalian benar -- benar orang gunung yang hebat." Kata si turis, lalu menyusul si pemandu.
"Itulah yang membuat kami bertahan sampai sekarang." Kata orang gunung, lalu berlari menyusul dua orang sebelumnya.
**
Mereka bertiga akhirnya sampai di puncak. Mereka mengelilingi tanah di sekitar kawah, namun mereka tidak menemukan air terjun itu.
"Tak ketemu. Mestinya air terjun itu ada disini. Bagaimana ini?" kata si turis.
"Jangan -- jangan peta ini salah." Kata orang gunung.
"Tidak, mungkin bukan peta ini yang salah. Tapi kita." Kata si pemandu.
"Maksudmu?"
"Selama ini kita mencari ladang itu waktu siang saja. Kita belum pernah mencoba saat malam."
"Apa kau yakin mencari saat malam akan ketemu?"
"Entahlah. Tapi itu satu -- satunya pilihan yang belum kita coba."
"Jadi bagaimana?"
"Mulai sekarang, kita akan mencari saat malam juga."
"Kalau tidak ketemu juga?"
"Entahlah. Mungkin petanya yang salah."
"Atau kita yang tak mampu menemukannya."
Lalu mereka mendirikan tenda di sepetak tanah kosong. Mereka menunggu malam tiba disana. Lalu perlahan langit gelap menyelimuti seisi gunung. Mereka menyalakan api unggun dan membakar beberapa ketela dari sebuah ladang tak terawat.
"Emm.. Ketela ini lain dari yang di kampungku. Ini lebih empuk." Kata si turis.
"Tentu saja. Tanaman dan buah di gunung ini enak semua. Karena nenek moyang kami sudah lama bercocok tanam disini." Kata orang gunung.
"Ngomong -- ngomong, darimana kau dapat ketela ini?"
"Aku menemukannya di ladang sana. Dekat kuburan."
"Kuburan?"
"Ya. Bukannya kita tadi lewat sana saat mencari air terjun itu?"
"Aku tidak lihat ada kuburan disana."
"Memang kalau dilihat sekilas tidak terlalu tampak. Karena batu nisan dan makamnya sudah banyak yang hancur dimakan tanah."
"Kuburan itu.. apa milik kalian?" Tanya si pemandu.
"Tidak. Kuburan kami ada di bawah dekat kampung kami."
"Lalu yang ini?"
"Itu kuburan orang -- orang yang mati karena memperebutkan air terjun itu."
Si turis tersedak.
"Dan kita seperti mereka." Kata si pemandu.
"Dalam hal mencari air terjunnya. Tidak dengan matinya." Kata si turis lalu minum seteguk air.
Mereka melahap ketela itu sampai habis tak bersisa. Karena mereka tidak tahu, apakah mereka nanti masih bisa makan ketela lagi atau tidak, mengingat air terjun yang mereka cari telah menghisap banyak nyawa.
Tamat
Cerita sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H