Mohon tunggu...
Deni I. Dahlan
Deni I. Dahlan Mohon Tunggu... Penulis - WNI

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Mistis Pedesaan: "Lemah Geni"

2 Januari 2021   02:31 Diperbarui: 2 Januari 2021   02:36 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Legenda Lemah Geni. (Sumber Ilustrasi: Pixabay)

Di suatu desa, seorang kusir mengantar penumpangnya melewati hutan. Kusir itu mencambuk dua kudanya agar berjalan lebih cepat. Namun delman itu terhenti saat hendak menyeberangi sebuah jembatan.

"Ada apa, Kusir?" Tanya si penumpang.

"Entahlah, kuda -- kuda ini tiba -- tiba berhenti. Mungkin karena ada badai." Jawabnya sambil menengok ke atas langit yang gelap.

"Aku tak peduli dengan badai. Pokoknya cepat antar aku ke kota. Kalau kau tak mencambuk kudamu, aku sendiri yang akan mencambukmu!"

"Tunggu dulu, Tuan. Aku dengar disini ada Lemah Geni."

"Lemah apa?"

"Lemah Geni. Arwah penunggu hutan ini. Sebulan yang lalu ada yang kesurupan dan tidak lama tubuhnya terbakar sampai hangus."

Sang kusir mencambuk dua kudanya, namun mereka tetap tak bergerak. Sedangkan langit tambah gelap dan angin semakin kencang, membuat sepasang manusia itu terpaksa bermalam di sebuah penginapan dekat sana.
**

Pondok itu juga tak kalah gelap dengan langit. Hanya beberapa lampu petromak yang meneranginya. Seorang pelayan tua menyambut dengan senyum kaku.

"Dua kamar?" tanyanya kepada dua orang itu.

"Ya. Rumah ini besar tapi sepi. Apakah cuma kami yang bermalam disini?" Tanya sang penumpang.

"Begitulah. Dulu tempat ini disinggahi banyak orang. Namun sejak ada kejadian itu, orang -- orang semakin jarang lewat sini."

"Maksudmu kejadian orang yang mati terbakar itu?" Si kusir menyela.

"Begitulah. Ia mati karena kesurupan oleh Lemah Geni. Konon setiap bulan purnama ia selalu muncul dan meminta korban. Sebulan yang lalu ada seorang pedagang menjadi korbannya. Kalau tidak salah, ia korban kesebelas."

Si kusir dan si penumpang saling tatap, lalu mereka berpisah ke dalam kamar masing -- masing dan tidur.
**

Badai yang ditunggu belum reda. Mereka berdua terpaksa menghabiskan hari kedua di penginapan kuno itu. Si kusir delman sedang duduk di depan perapian ruang tamu. Sedangkan tuan penumpang duduk di seberangnya sambil terus -- terusan memandang angin lewat jendela.

"Hari bertambah buruk. Kapan badai ini berhenti? Besok aku harus menemui temanku di kota." Katanya gusar.

"Nanti malam ada bulan purnama. Sebaiknya anda mempertimbangkan kembali rencana Tuan." Kata si pemilik rumah sambil menyuguhkan secangkir teh kepada mereka.

"Kenapa? Jangan bilang kalau setan itu akan muncul dan membakarku."

"Aku tidak tahu, Tuan. Tapi korban terakhir juga berkata seperti itu saat diingatkan orang -- orang."
Si penumpang terdiam.

"Aku jadi penasaran. Katanya orang itu meninggal di jembatan itu?" Tanya si kusir.

"Begitulah. Awalnya dia bersama seorang temannya hendak menyeberang. Namun saat di tengah jembatan, terjadi angin kencang.  Angin itu berputar -- putar disana dan menerbangkan tanah serta debu. Debu yang beterbangan membuat orang -- orang itu batuk dan bersin. Lalu seorang dari mereka mengajak kembali, namun seorang lainnya ingin terus berjalan. Dia terus melangkah di atas jembatan itu, namun tiba -- tiba muncul sesosok bayangan api di depannya."

"Bayangan api?"

"Ya, sesosok bayangan api. Bayangan itu lalu masuk ke dalam tubuh orang itu lewat hidungnya. Lalu orang itu berteriak "Panas! Panas!" sambil memegang hidungnya. Lalu dari lubang hidungnya keluar sepercik api, kemudian api itu merembet ke mulutnya, ke pipinya hingga membakar wajah serta tubuhnya. Sekujur tubuh orang itu terbakar oleh api merah yang menyala -- nyala, lalu ia ambruk di tengah jembatan dan tewas mengenaskan."

Si kusir dan si penumpang mengernyitkan dahi.

"Lalu orang satunya?"
"Dia lari kembali ke kampung sini. Lalu ia menceritakan kejadian itu kepada orang -- orang. Kejadian itu membuatnya tak berani keluar rumah, dan orang -- orang jadi semakin takut lewat sini."
**

Saat senja, badai itu perlahan menghilang. Malam pun tiba, diterangi oleh cahaya bintang -- bintang yang berkelap -- kelip tiada henti. Dari ujung timur langit, tampak sebuah bulan purnama berwarna kuning kemerahan.

Si penumpang ingin segera melanjutkan perjalanan karena ia sudah ditunggu temannya. Sedangkan si kusir, meski ketakutan setengah mati, mau tidak mau ia harus mengantar tuan yang telah membayar upahnya.

Si pemilik penginapan sudah mengingatkan agar menunggu sampai besok pagi, namun si penumpang tetap ingin pergi pada malam itu. Sebelum berangkat, pemilik penginapan memberi sehelai kain kepada si kusir dan si penumpang. "Pakailah ini untuk menutupi hidung kalian, kalau misalnya nanti terjadi badai lagi di tengah jalan."

Mereka berdua pun pamit dan berangkat. Kuda -- kuda berjalan dengan pelan, meninggalkan penginapan itu, lalu melewati jembatan panjang itu. Namun di tengah jembatan, tiba -- tiba datanglah angin kencang. Angin kencang itu berputar -- putar di sekitar delman itu. Si kusir segera menutup hidungnya dengan selembar kain. Begitu juga dengan si penumpang. Sedangkan kedua kuda tadi, meringkik ketakutan setelah sesosok bayangan muncul di depan mereka. Kuda -- kuda itu tak bisa berjalan ke depan, hanya bisa menggeram sambil menghentakkan kakinya. Sang kusir mencambuk punggung mereka, namun mereka tetap tak mau jalan. Hingga akhirnya bayangan tadi semakin tampak nyata, mengeluarkan sepercik api dan api itu membesar hingga setinggi pohon kelapa.
**

Kedua orang itu tercengang melihat itu. Mereka begitu ketakutan hingga tak bisa berteriak. Tangan mereka gemetaran. Saking takutnya, si penumpang hanya bisa menganga lalu jatuh pingsan di dalam delman. Sementara si kusir, jatuh terjengkang di atas tanah sambil tak percaya dengan makhluk api di depannya.

"Kau.. Benar -- benar ada!" Katanya setengah tergagap.

"Aku lapar! Aku lapar!" bayangan itu berteriak.

 "Pesta! Di bulan ada pesta! Lihatlah purnama itu, merah menyala seakan ada api unggun yang membakarnya!"

"Setiap purnama, aku kemari untuk mencari mangsa. Aku menunggu di jembatan ini karena dulu aku mati disini, dibakar oleh Lemah Geni sebelum aku. Sekarang tugasku mencari mangsa, agar aku terbebas dari kutukan ini! Dan kaulah yang menggantikanku untuk mencari mangsa selanjutnya. Hahah! Aku akan bebas!"

Bayangan api itu melihat tangannya sendiri, lalu perlahan -- lahan nyala apinya memudar.

"Tubuhku menyatu dengan pasir, tanah dan debu. Agar aku bisa masuk ke tubuh seseorang lalu membakarnya hidup -- hidup!"

Bayangan api itu menyusut perlahan, lalu mencoba memasuki tubuh sang kusir lewat hidungnya. Namun anehnya, api itu tidak bisa masuk. Sang kusir yang terus menutup hidungnya dengan sehelai kain pun sebenarnya sudah tak bisa berkutik. Tanpa sepengetahuannya, sehelai kain itu ternyata sudah diberi semacam air oleh sang pemilik penginapan. Jadi api itu tertolak saat mau merasuki tubuh orang itu.

"Cepat lari!" sergah sang penumpang sambil menyeret lengan si kusir.

Mereka berdua berlari sekencang -- kencangnya melewati hutan tadi, kembali menuju penginapan sebelumnya. Bayangan api terus mengejar di belakangnya. Membakar jalan setapak, menghanguskan pohon -- pohon dan menyinari kegelapan hutan itu menjadi merah menyala.

Namun langkahnya terhenti karena di ujung jalan itu, tampak si pemilik penginapan. Ia juga menutup hidungnya dengan kain. Dan ia sedang menuang sebotol air di atas tanah, membentuk garis pembatas yang melintang di tengah jalan. Saat si kusir dan si penumpang melewati garis air itu, Lemah Geni tak bisa mengejarnya dan hanya bisa menggeram sambil marah.

"Aku akan kembali. Ingat itu, kawanku." Ia pun berlalu, kembali ke arah jembatan tadi lalu terbang ke atas, menguap menuju bulan purnama yang semakin merah membara.
**

Keesokan paginya, si kusir dan si penumpang telah bersiap di pintu masuk penginapan. Akibat kejadian mengerikan tadi malam, mereka terpaksa menginap lagi disana. Dan sekarang, mereka akan berangkat ke kota.

Namun saat mereka berdua hendak mengambil delman yang tertinggal di jembatan itu, ternyata delmannya sudah hancur berantakan. Rodanya bengkok, kayunya banyak yang patah, dan yang lebih mengenaskan adalah dua kudanya hangus terbakar. Semuanya telah menjadi arang dan abu.

Akhirnya, kedua orang itu tak jadi pergi ke kota. Mereka memutuskan untuk pergi minggu depan saja karena masih terbayang -- bayang peristiwa mengerikan yang mereka alami semalam.

Sejak peristiwa itu, atas rembugan warga desa sekitar, mereka sepakat menyediakan beberapa daging ternak di bawah jembatan itu saat bulan purnama tiba. Mereka berharap dengan pemberian itu dapat mencegah kejadian itu terulang kembali, dan kadang berhasil. Meski begitu, orang -- orang di kampung itu tetap menutup hidungnya dengan selembar kain, agar tak diganggu oleh Lemah Geni.
**

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun