"Kau.. Benar -- benar ada!" Katanya setengah tergagap.
"Aku lapar! Aku lapar!" bayangan itu berteriak.
 "Pesta! Di bulan ada pesta! Lihatlah purnama itu, merah menyala seakan ada api unggun yang membakarnya!"
"Setiap purnama, aku kemari untuk mencari mangsa. Aku menunggu di jembatan ini karena dulu aku mati disini, dibakar oleh Lemah Geni sebelum aku. Sekarang tugasku mencari mangsa, agar aku terbebas dari kutukan ini! Dan kaulah yang menggantikanku untuk mencari mangsa selanjutnya. Hahah! Aku akan bebas!"
Bayangan api itu melihat tangannya sendiri, lalu perlahan -- lahan nyala apinya memudar.
"Tubuhku menyatu dengan pasir, tanah dan debu. Agar aku bisa masuk ke tubuh seseorang lalu membakarnya hidup -- hidup!"
Bayangan api itu menyusut perlahan, lalu mencoba memasuki tubuh sang kusir lewat hidungnya. Namun anehnya, api itu tidak bisa masuk. Sang kusir yang terus menutup hidungnya dengan sehelai kain pun sebenarnya sudah tak bisa berkutik. Tanpa sepengetahuannya, sehelai kain itu ternyata sudah diberi semacam air oleh sang pemilik penginapan. Jadi api itu tertolak saat mau merasuki tubuh orang itu.
"Cepat lari!" sergah sang penumpang sambil menyeret lengan si kusir.
Mereka berdua berlari sekencang -- kencangnya melewati hutan tadi, kembali menuju penginapan sebelumnya. Bayangan api terus mengejar di belakangnya. Membakar jalan setapak, menghanguskan pohon -- pohon dan menyinari kegelapan hutan itu menjadi merah menyala.
Namun langkahnya terhenti karena di ujung jalan itu, tampak si pemilik penginapan. Ia juga menutup hidungnya dengan kain. Dan ia sedang menuang sebotol air di atas tanah, membentuk garis pembatas yang melintang di tengah jalan. Saat si kusir dan si penumpang melewati garis air itu, Lemah Geni tak bisa mengejarnya dan hanya bisa menggeram sambil marah.
"Aku akan kembali. Ingat itu, kawanku." Ia pun berlalu, kembali ke arah jembatan tadi lalu terbang ke atas, menguap menuju bulan purnama yang semakin merah membara.
**