Alkisah, di suatu daerah terpencil hiduplah seorang petani. Ia sedang menjaga kebunnya di siang hari itu. Lalu lewatlah seorang laki -- laki naik kuda dan menyapa petani itu.
"Hai Pak Tani. Aku sudah lama tidak makan wortel. Bolehkah aku meminta satu wortelmu?"
Melihat itu, petani menjawab, "Baik Tuan, silahkan ambil sendiri sesuka Tuan."
Lalu pengendara kuda itu turun dan segera mencabut satu wortel di dekatnya. Ia mengupas kulitnya lalu memakannya. "Hmm.. Enak sekali wortel ini, Pak Tua. Kau memang pintar menanam wortel."
Setelah wortel habis, lelaki tadi merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa koin emas. "Ini Pak Tua. Ambillah. Uang ini untukmu."
"Terima kasih Tuan, tapi saya tidak mengharap diberi apa-apa. Saya hanya ingin memberi Anda wortel."
"Tidak apa-apa. Oh ya, aku lupa mengenalkan diri. Aku adalah seorang saudagar yang tinggal di pusat kota. Kebetulan aku kesini untuk jalan-jalan dan perutku lapar. Jadi biarkan aku memberimu uang ini."
Meski dengan berat hati, petani itu menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Lalu saudagar tadi pamit dan bilang akan kesini lagi untuk minta wortel.
**
Namun keesokan harinya, saudagar itu tak kunjung tiba. Sampai berhari-hari lamanya, saudagar itu tak menampakkan batang hidungnya. Karena penasaran, petani itu pergi jalan-jalan ke pusat kota. Ia melewati beberapa kebun tetangganya dan bertegur sapa.
"Oh, saudagar yang naik kuda itu kan? Dia juga sering kesini untuk minta bayamku. Lalu ia memberiku koin emas, persis seperti yang kau alami," kata tetangga yang punya kebun bayam.
Lalu petani wortel meneruskan perjalanannya. Ia bertemu dengan petani jagung. Petani jagung pun mengatakan hal yang serupa. Sampai akhirnya petani wortel itu tahu kalau saudagar itu pernah minta sayuran kepada seluruh petani di desa itu.
Setelah dua hari tiga malam berjalan, akhirnya petani wortel sampai di kota. Di kota sangat ramai dan petani itu menuju sebuah kedai kecil untuk minum. Pelayan kedai menyapanya dan bertanya ada urusan apa dia jauh-jauh kesini.
"Oh saudagar yang itu ya. Aku dengar dia sudah meninggal dunia."
Mendengar itu, petani menjadi terkejut. Karena ia masih ingin tahu tentang saudagar itu, ia meminta alamat rumah si saudagar kepada pelayan tadi. Setelah membayar minumannya, ia pergi ke rumah yang dimaksud.
**
Rumah itu lebih pantas disebut istana. Karena halamannya sangat luas, bangunannya megah dan terdapat beberapa orang pelayan di sana. "Dia memang kaya," kata hati petani itu.
Salah seorang pelayan membukakan pintu dan bertanya kepada petani itu. Lalu petani itu bercerita bahwa ia ingin tahu tentang saudagar yang singgah di kebunnya. Pelayan pun mempersilakan petani itu masuk.
Sambil duduk dan minum teh, pelayan tadi bilang bahwa memang benar sang saudagar telah pergi selamanya. Dia juga bilang kalau sang saudagar punya kebiasaan meminta sayuran kepada petani di pinggir kota, salah satunya adalah kepada petani itu.
"Itu karena tuan kami ingin berterima kasih kepada petani yang menanam sayur. Ia ingat waktu kecil tubuhnya sakit-sakitan. Lalu suatu hari ia makan sayur. Entah itu wortel, bayam, kol atau jagung. Ia makan sayur tiap hari, dan tubuhnya jadi sehat. Sehingga dia bisa berdagang ke kota-kota lain dan memiliki rumah ini serta segalanya."
"Tapi lambat laun jumlah kebun di kota ini berkurang karena dibangun pemukiman, jadi tuan kami kesulitan mencari sayur. Oleh sebab itulah beliau pergi ke pinggir kota untuk mencari sayur."
Petani itu bertanya, "Jadi dia jauh-jauh pergi ke desa hanya untuk makan sayur?"
Pelayan tadi menjawab, "Ya. Karena tanpa makan sayur waktu kecil dulu, tubuhnya tidak akan kuat dan tak bisa dipakai berdagang. Karena tanpa sayur, dia tak akan menjadi saudagar kaya seperti sekarang. Maka dari itulah dia ingin berterimakasih kepada orang-orang yang menanam sayur."
Petani itu masih mendengarkan.
"Dan sebelum ia wafat, ia berpesan bahwa halaman rumahnya yang luas ini tolong dibuat kebun sayur. Jadi jika ada orang-orang yang ingin makan sayur, kami akan memetik dan memberikannya kepada mereka."
Setelah puas mendengar kisah sang saudagar kaya itu, petani itu pulang ke desanya. Pelayan juga membawakannya sekotak makanan dan segepok uang. Namun yang lebih menyenangkan petani itu adalah, ia diberi bibit-bibit sayur untuk ditanam di kebunnya. "Ah, bibit mahal ini punya kualitas bagus. Akan kubagi dengan petani lainnya,"Â kata petani itu sambil berjalan pulang ke rumahnya.
***
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H