KENALI IMPULSE BUYING
Belanja atau pembelian tanpa perhitungan matang atau impulse buying pada intinya merupakan sikap keinginan membahagiakan diri sendiri, secara biologis tindakan ini dapat melepaskan hormon endorfin yaitu berfungsi meredakan stress, cemas serta memperbaiki suasana hati dan meningkatkan rasa percaya diri, dan hormon dopamin merupakan neurotransmitter berfungsi mengatur suasana hati dalam otak sehingga muncul sensasi menyenangkan dan memberikan perasaan puas setelah mencapai tujuan.
Faktor lingkungan sosial juga dapat menimbulkan impulse buying bagi orang FOMO (Fear of Missing Out), yaitu demi gengsi atau status sosial atau perasaan takut ketinggalan trend.
Sebagai manusia yang sebenarnya mudah berubah dan ingin sesuatu yang baru sering menyebabkan seseorang gampang bosan sehingga memicu membeli barang baru walau masih ada barang lama masih bisa digunakan.
Para sosiolog juga mengatakan masyarakat modern kerap terjebak budaya konsumerisme, yaitu hasrat mengkonsumsi karena gaya hidup hedon dan glamour untuk menunjukkan status sosial, konsumtif bukan berorientasi kebutuhan, tetapi demi gaya hidup (life style) belaka, dan trendsetter produk limited edition.Â
Kemajuan teknologi merupakan salah satu faktor mempermudah gaya hidup konsumerisme, berkat kehadiran smartphone, e-commerce, atau kemudahan akses belanja dan cara pembayaran online (uang digital), serta sistem mempermudah pembayaran seperti paylater dan kartu kredit.
Iklan atau promosi di media sosial juga kerap jadi stimulus paling dahsyat menimbulkan impulse buying, karena dorongan membeli tiba-tiba tumbuh dari melihat iklan produk menarik yang mampu merangsang tindakan impulsif, misalnya saat senang melihat ambassador iklan produk yang komunikatif, atau mampu presentasikan keunggulan dan daya tarik suatu produk. Hal ini terjadi di media sosial live streaming atau berbentuk video.
MITIGASI GAYA HIDUP BOROS
Para psikolog sudah banyak menawarkan solusi menghindari jebakan impulse buying maupun gaya hidup konsumerisme ini.
Di antaranya terutama menganjurkan meningkatkan keterampilan membedakan keinginan (wants)Â dan kebutuhan (needs)Â sebagai salah satu alat pertimbangan mengutamakan pemenuhan kebutuhan utama terlebih dahulu (skala prioritas), terutama kebutuhan pokok, atau kebutuhan mendesak sehingga dana yang ada teralokasi secara tepat atau efisien dan efektif.
Dengan adanya kemampuan menilai skala prioritas selain menghindari gaya belanja impulsif, diharapkan mampu melakukan kontrol diri untuk membeli barang yang sesuai dengan kebutuhan saja.