Dan berdasarkan pengalaman sejarah, tidak semua aktivis mahasiswa dikemudian hari akan jadi politisi, kader partai maupun pengurus elit partai politik.
Justru banyak mantan aktivis mahasiswa sukses meniti karir di profesi lain, misalnya di perusahaan swsata, aparatur sipil negara maupun sebagai pengusaha karena pengalaman mereka berorganisasi sebelumnya merupakan keunggulan komperatif mereka miliki, terutama dalam hal keterampilan komunikasi, negoisiasi, memecahkan masalah maupun menyumbangkan solusi atau alternatif pemikiran baru.
Selama mereka sebagai aktivis mahasiswa, telah mengikuti pendidikan atau pelatihan, baik kaderisasi maupun latihan kepemimpinan, sudah terbiasa melakukan adu argumentasi atau dialog. Terbiasa menghadapi masalah dengan kritis, dan mampu berpikir dan bertindak diluar kebiasaan yang berlaku.
Pastinya lewat proses kaderisasi terstruktur di organisasi mahasiswa mereka telah memiliki keterampilan kepemimpinan yang rekatif mumpuni.Â
Sehingga ketika masuk dunia kerja, para mantan aktivis mahasiswa telah memiliki modal dasar kepemimpinan, mempunyai jaringan relasi yang kuat dan luas, serta sudah terbiasa berhadapan dengan elit-elit penguasa dan pengusaha.
Berbanding terbalik dengan mahasiswa kutu buku, mereka cenderung kaya pengetahuan secara literatur, atau hanya belajar tentang (learning about), bukan belajar menjadi (learning to do atau learning to be).
Sebagaimana dikatakan Tan Malaka, belajar itu bukan hanya menambah pengetahuan, tetapi pendidikan harus dapat menjadikan seseorang mempertajam kecerdasan, merperkuat kemauan dan memperhalus perasaan.
R.Davis dan Adelaide B.Davis dalam buku "Managing your Own Learning" mengatakan manusia pembelajar adalah mencintai hal-hal baru, pemikiran baru dan keterampilan baru. Belajar bukan hanya untuk mengetahui sesua1tu tetapi harus mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah. Itulah sesunguhnya disebut sebagai "perpetual learner" atau  pembelajar sejati.
Menjadi manusia pembelajar dan pembelajar sejati hanya dapat diperoleh jika terjun langsung ke sumber masalah atau ke kerumunan masyarakat.
Berinteraksi dengan masyarakat dilakuka oleh aktivis mahasiswa ketika melakukan advokasi maupun pendampingan, temasuk demokrasi membela kepentingan rakyat adalah proses pembelajaran sesungguhnya berbentuk "learning to be" bukan "learning about".
Dengan jadi manusia pembelajar, aktivis mahasiswa mampu merasakan detak jantung persoalan, kemudian tertantang untuk memberi solusi maupun alternatif jalan keluar.