Ada lelucon menarik tentang keberadaan mahasiswa sebagai berikut :
Konon di suatu kampus, sesama dosen bicara tentang cara menghadapi berbagai type mahasiswa. Kemudian seorang dosen berkata :
"Jangan kuatir terhadap mahasiswa berprestasi tinggi, terutama memperoleh IPK 3 keatas, karena mereka suatu saat jadi sahabat dosen, baik sebagai ilmuwan, peneliti maupun dosen".
"Bersahabatlah dengan mahasiswa yang IPK-nya sedang-sedang saja karena mereka nanti akan memiliki karir yang baik dan jadi pengusaha yang bisa jadi mitra dosen".
"Tapi hati-hati lah kepada mahasiswa yang IPKnya rendah, lama selesai study karena mereka suatu saat akan jadi politisi. Nasib dosen kedepan ada di tangan mereka".
Itulah secuil guyonan secara inplisit mengandung makna "satire", karangan sindiran, terhadap aktivis mahasiswa, terutama pengurus organisasi mahasiswa aktif, terutama organisasi mahasiswa ekstra kampus seperti GMNI, HMI, PMII, GMKI yang tergabung dalam Kelompok Cipayung.
Memang bukan cerita usang, banyak aktivis mahasiswa abai selesaikan kuliah tepat waktu sesuai SKS (Satuan Kredit Semester), dan memperoleh IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) rendan bahkan buruk karena dianggap lebih sibuk ikut program organisasi, terutama demonstrasi.
Padahal, sebagai aktivis mahasiswa tidak dapat dibuktikan memiliki korelasi kuat penyebab nilai akademik mahasiswa anjlok.
Justru banyak terjadi aktivis mahasiswa memperoleh prestasi akademik gemilang, bahkan meraih cum laude, karena sebagai aktivis menjadikan mereka memiliki wawasan lebih luas, kritis, inovatif dan mampu berpikir lateral.
Intinya, Â sejauh mahasiswa mampu mengalokasikan pikiran dan waktunya dengan tepat dan benar maka prestasi akademik aktivis mahasiswa tersebut akan baik-baik saja, bahkan mampu berprestasi.
Dan berdasarkan pengalaman sejarah, tidak semua aktivis mahasiswa dikemudian hari akan jadi politisi, kader partai maupun pengurus elit partai politik.
Justru banyak mantan aktivis mahasiswa sukses meniti karir di profesi lain, misalnya di perusahaan swsata, aparatur sipil negara maupun sebagai pengusaha karena pengalaman mereka berorganisasi sebelumnya merupakan keunggulan komperatif mereka miliki, terutama dalam hal keterampilan komunikasi, negoisiasi, memecahkan masalah maupun menyumbangkan solusi atau alternatif pemikiran baru.
Selama mereka sebagai aktivis mahasiswa, telah mengikuti pendidikan atau pelatihan, baik kaderisasi maupun latihan kepemimpinan, sudah terbiasa melakukan adu argumentasi atau dialog. Terbiasa menghadapi masalah dengan kritis, dan mampu berpikir dan bertindak diluar kebiasaan yang berlaku.
Pastinya lewat proses kaderisasi terstruktur di organisasi mahasiswa mereka telah memiliki keterampilan kepemimpinan yang rekatif mumpuni.Â
Sehingga ketika masuk dunia kerja, para mantan aktivis mahasiswa telah memiliki modal dasar kepemimpinan, mempunyai jaringan relasi yang kuat dan luas, serta sudah terbiasa berhadapan dengan elit-elit penguasa dan pengusaha.
Berbanding terbalik dengan mahasiswa kutu buku, mereka cenderung kaya pengetahuan secara literatur, atau hanya belajar tentang (learning about), bukan belajar menjadi (learning to do atau learning to be).
Sebagaimana dikatakan Tan Malaka, belajar itu bukan hanya menambah pengetahuan, tetapi pendidikan harus dapat menjadikan seseorang mempertajam kecerdasan, merperkuat kemauan dan memperhalus perasaan.
R.Davis dan Adelaide B.Davis dalam buku "Managing your Own Learning" mengatakan manusia pembelajar adalah mencintai hal-hal baru, pemikiran baru dan keterampilan baru. Belajar bukan hanya untuk mengetahui sesua1tu tetapi harus mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah. Itulah sesunguhnya disebut sebagai "perpetual learner" atau  pembelajar sejati.
Menjadi manusia pembelajar dan pembelajar sejati hanya dapat diperoleh jika terjun langsung ke sumber masalah atau ke kerumunan masyarakat.
Berinteraksi dengan masyarakat dilakuka oleh aktivis mahasiswa ketika melakukan advokasi maupun pendampingan, temasuk demokrasi membela kepentingan rakyat adalah proses pembelajaran sesungguhnya berbentuk "learning to be" bukan "learning about".
Dengan jadi manusia pembelajar, aktivis mahasiswa mampu merasakan detak jantung persoalan, kemudian tertantang untuk memberi solusi maupun alternatif jalan keluar.
Dengan demikian manusia pembelajar termotivasi untuk terus belajar dari realita, dan menambah wawasan lebih luas lewat membaca literatur. Karena sadar akan kompleksnya masalah maka manusia pembelajar termotivasi untuk memperoleh banyak referensi lewat baca literatur maupun lewat dialog, diskusi maupun seminar.
Dengan demikian para aktivis mahasiswa sebagai manausia pembelajar justru lebih haus akan pengetahuan, ingin memperluas wawasan dan keterampilan.
Maka terlalu naif jika mengatakan aktivis mahasiswa lalai belajar karena terlalu sibuk ikut kegiatan organisasi.
Memang aktivis mahasiswa dituntut mampu melakukan pengendalian diri dan mengatur keseimbangan waktu (time management) antara kepentingan studi di kampus dan aktivitas di organisasi.
Jika mampu menjaga keseimbangan itu, kemudian lulus kuliah dengan nilai bagus maka mereka sesungguhnya memiliki potensi besar sukses dalam dunia karir, dan memiliki skill dasar kepemimpinan mumpuni sebagai pemimpin masa depan andalan masyarakat, bangsa dan negara.
Oleh karena itu jangan terburu-buru memandang sinis keberadaan aktivis mahasiswa, karena suka tidak suka merekalah sumber daya manusia potensial, dan memiliki kemamluan berpikir lateral, yaitu berpikir dengan cara lain dari yang lain, kreatif dan inovatif.
Dunia berubah dengan cepat, bahkan sering lebih cepat dibandingkan kemampuan manusia merubah dirinya sendiri. Lerubahsm itu hanya bisa ditaklukkan oleh manusia pembelajaran yang terbiasa kreatif dan inovatif, kritis dan memiliki perasaan halus atau empati.
Mahasiswa kita saat ini memang sering terjebak dalam gaya hidup serba instan dan pragmatis, atau ingin serba cepat, terutama ingin cepat kaya.
Institusi perguruan tinggi juga terjebak menyediakan kultur pendidikan yang ingin serba cepat, yaitu dengan cara menerapkan sistem SKS, termasuk sistem kuliah semester pendek.
Perguruan tinggi tak ubahnya hanya bagaikan bangunan pabrik, memproduksi sarjana dengan barometer IPK dan Cum Laude sebagai ukuran kesuksesan study, bukan skill jadi ukuran.
Padahal dunia kerja membutuhkan skill dibandingkan pengetahuan, karena dalam dunia pekerjaan bukan hanya dibutuhkan menyelesaikan pekerjaan dengan teoat waktu, tetapi dibutuhkan efisiensi dan efektifitas lewat kemampuan kreatif dan inovatif.
Aktivis mahasiswa lewat interaksi intensif di organisasi bukan hanya menjadikan mereka kritis membabi buta sehingga harus ditakuti dan dicemooh.
Kekritisan aktivis mahasiswa justru lahir dari sensitifitas hati nurani sebagai guru mulia. Melalui mendengar bisikan hati nurani yang tajam mereka mampu memahami perasaan orang lain, dan mengundang mereka ingin berbuat sesuatu terhadap perasaan termarginalkan orang lain.Â
Itulah keluhuran nilai-nilai empati, atau memproyeksikan diri ke dalam diri orang lain sehingga tau persis apa yang sedang dirasakan dan dibutuhkan orang lain. Dengan demikian akan mampu memberikan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan orang lain sehingga lahir lah sikap simpatik.
Apakah mahasiswa kita dewasa ini masih mengasah mata hatinya agar tetap peduli dan berkobtribusi terhadap persoalan sosial masyarakat ?
Jawaban itu hanya ada jika para mahasiswa masih familier dengan dunia aktivis mahasiswa yang akan selalu mengasah sensitifitas mata hati nuraninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H