Dinamis, Paradoks, dan multidimensional. Karakteristik demikian tepat disematkan mendefinisikan manusia.
Karena tidak ada satu definisi tentang manusia dapat diterima secara baku dan paripurna oleh para ahli saat bicara tentang manusia.
Manusia didefinisikan sesuai dengan kerangka berpikir dan cara pandang berdasarkan disiplin ilmu, atau aliran pemikiran masing-masing.
Oleh karena itu manusia tidak dapat dipahami dengan cara pandang seragam, karena memang manusia unik, sesama manusia juga tidak ada persis sama, dan kerangka berpikir dan motif serba kompleks serta dinamis.
Keunikan dan kompleksitas manusia adakalanya menjadikan sesama manusia tidak saling memahami.
Bahkan perempuan dan pria yang sudah disatukan dalam perkawinan sebagai suami istri sering gagal memahami sifat dan karakter masing-masing pasangannya.
Tidak mampu saling memahami, dan kesalahan mengerti satu sama lain antara suami dengan istri merupakan sumber utama penyebab pertengkaran dan perceraian dalam rumah tangga.
Ironisnya, latar belakang pendidikan  tinggi dan mumpuni bukan jadi jaminan seseorang mampu merajut kelanggengan sebuah perkawinan dan mahligai rumah tangga.
Oleh karena itu, diskursus bagaimana cara membina hubungan harmonis antara suami istri agar rumah tangga langgeng tetap menarik sampai saat ini. Karena tingkat perceraian dan disharmoni rumah tangga relatif masih tinggi dewasa ini.
MENELISIK AKAR MASALAH PERKAWINAN.
Adagium dan Filosopi perkawinan yang paling terkenal adalah :
"Perkawinan mempersatukan dua orang menjadi satu atas dasar ikatan cinta"
Secara intrinsik ada dua makna penting tersirat dalam filosopi perkawinan tersebut, yaitu "Mempersatukan" dan "Cinta".
Kosa kata mempersatukan dalam memaknai perkawinan sering paradoksal, karena kata "mempersatukan" sering dipahami bahwa segala sesuatu diantara mereka, suami istri, pria dan perempuan, harus persis sama dan seragam satu sama lain.
Ekspektasi yang sangat besar terhadap terjadinya persamaan dalam segala hal ini sering menimbulkan kekecewaan berat disaat salah satu diantara pasangan berperilaku tidak sesuai dengan harapan dan keinginan pasangannya.
Hal itu sering terjadi, dan lajim diungkapkan dengan frasa "tidak ada kecocokan". Â Maka terjadi perceraian.
Padahal sudah merupakan kodrat manusia satu sama lain saling berbeda, terutama perempuan dan pria. Justru karena adanya perbedaan itulah seorang pria dengan perempuan kawin. Terutama karena adanya perbedaan jenis kelamin.
Karena keunikan dan memang manusia itu paradoks, perbedaan antara pria dan wanita bukan sekedar berbeda dari sisi jenis kelamin, tetapi memiliki banyak perbedaan juga dalam aspek kerangka berpikir maupun cara berpikir atau karakter.
Masing-masing, pria dan perempuan, datang dengan latar belakang berbeda menjadi suami istri.Â
Ada perbedaan aspek biologis, pendidikan, budaya, ekonomi dan kehidupan sosial yang kemudian menimbulkan perbedaan karakter satu sama lain.Â
Perbedaan karakter inilah hal penting untuk dipahami sebagai dasar membina interaksi maupun komunikasi antara suami dan istri dalam sebuah perkawinan.
Sebagaimana diketahui, karakter itu adalah terbentuk dari proses panjang pembelajaran dari kehidupan yang dijalani oleh seseorang, dan sudah terbentuk jauh hari sebelum seseorang menikah, dan sudah merupakan "Comfort Zone", atau zona nyaman yang susah di usik.
Ketika menikah, dan menyatu dalam perkawinan, bukan merupakan hal yang mudah menggeser karakter tersebut untuk diseragamkan dengan pasangan, karena akan mengganggu zona nyaman seseorang.
Bukan berarti tidak mungkin digeser atau di rubah karakter seseorang, tetapi untuk melakukannya butuh proses dan kerelaan yang timbul secara sadar dan ikhlas dari dalam diri seseorang, dan hal itu hanya dapat dilakukan lewat sebuah pengorbanan.
Kerelaan berkorban, serta menyingkirkan sikap egois merupakan syarat penting dalam membina hubungan harmonis dalam sebuah rumah tangga.
Kemudian diatas semua itu, dibutuhkan kemampuan dan kemauan untuk menerima apa adanya pasangan kita, karena seperti sudah di utarakan diatas bahwa sesungguhnya manusia memiliki perbedaan karakter satu sama lain, dan tidak bisa dipaksa agar seragam dan sama persis.
Karena itu, maka dibutuhkan kemauan dan kerelaan untuk saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Kemampuan berkorban dan kerelaan menerima kekurangan masing-masing hanya dapat terwujud jika dilandasi oleh cinta.
Karena cinta memang butuh pengorbanan untuk bisa menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita, dan cinta juga menuntut kerelaan menerima apa adanya orang yang dicintai, karena hanya dengan cara itulah dapat terwujud keintiman, romantisme dan passion sebagai bentuk aktualisasi rasa cinta.
Ketidakmampuan menerima perbedaan akan menimbulkan perselisihan dan meretakkan keintiman, sehingga menyebabkan perasaan romantis akan sirna.
Kebutuhan untuk mampu menerima apa adanya pasangan dalam sebuah perkawinan merupakan hal penting dilakukan karena sudah jadi kodrat manusia memiliki perbedaan dan keunikan satu sama lain.
Perbedaan itulah menjadikan manusia sangat paradoksal dan harus dipahami secara multidimensional. Manusia tidak dapat dipatok ke dalam satu definisi yang baku untuk diterima dengan baik oleh semua orang.
Manusia itu pada dasarnya unik dan multi dimensi, maka keunikan masing-masing harus diterima secara ikhlas atas nama cinta.
Menerima itu memang membutuhkan pengorbanan dan menyingkirkan sikap egois, teramat terasa sulit melakukannya. Tetapi jika atas nama cinta hal itu bukan merupakan pekerjaan yang sulit untuk dilakukan.
Apalagi jika kedua belah pihak dengan ikhlas mau melakukannya, yaitu mau menerima perbedaan satu sama lain dengan perasaan senang, maka akan melimpah lah ungkapan rasa cinta sebagai pilar dan fundamen keharmonisan rumah tangga.
Itulah secuil catatan yang bisa dijadikan bahan permenungan menarik dalam kerangka mewujudkan harmonisasi kehidupan berumah tangga.
Disebut secuil karena memang ini hanya sebagian kecil dari pengetahuan yang ada tentang kehidupan berumah tangga. Ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan luasnya pengetahuan yang mesti kita ketahui untuk merajut sebuah rumah tangga harmonis.
Pengetahuan itu memang banyak karena memang manusia itu harus di pahami lewat cara yang sangat banyak, karena manusia itu sangat multidimensional, tidak cukup dilihat dan dipahami lewat satu cara pandang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H