Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wakil Bupati Itu Ban Serep Lalu Kenapa Kecewa dan Mundur?

24 Februari 2023   01:03 Diperbarui: 24 Februari 2023   11:43 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kepala Daerah. Sumber : Kompas.Com/Toto.S

Benar,banyak Bupati tidak harmonis dengan Wakil Bupati, demikian juga Walikota maupun Gubernur dengan wakilnya. 

Itu semua karena saat proses penetapan dan pada saat Pilkada hanya mengutamakan faktor elektoral, bukan berorientasi kepada gagasan dan kualitas.

Banyak calon wakil digaet hanya karena popularitas, uang banyak dan bahkan hanya sebagai vote getter.

Karena dari awal juga bergabung bukan karena faktor gagasan, atau visi misi, maupun idiologi, maka rentan terjadi hubungan tidak harmonis saat mereka sudah terpilih.

Bahkan ketidak harmonisan tersebut lajim menyebabkan "Pekong" atau "Pecah Kongsi" sebelum masa jabatan berakhir, bahkan sering menyebabkan seorang wakil mengundurkan diri.

Penyebab lain adalah kesalahan memahami fungsi dan wewenang wakil kepala daerah, atau ada perjanjian atau komitmen mereka berdua sebelumnya yang ditetapkan tetapi tidak terpenuhi.

Secara UU Pemerintahan Daerah, seorang wakil bupati/walikota, maupun wakil gubernur memiliki wewenang sama sekali minim, dan hanya berfungsi membantu kepala daerah, tidak memiliki wewenang mengambil keputusan.

Wakil kepala daerah hanya bisa menyampaikan usul tanpa bisa ikut serta menentukan keputusan.

Bahkan dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran seorang wakil kepala daerah tidak memiliki wewenang.

Seorang wakil hanya bisa melaksanakan tugas mewakili bupati/walikota, itupun umumnya hanya mewakili acara seremonial, sehingga seorang wakil kepala daerah sering tugasnya hanya "memotong pita" dalam acara tertentu.

Wakil kepala daerah hanya berfungsi penuh apabila Kepala Daerah berhalangan sementara atau berhalangan tetap, misalnya karena masuk penjara karena ada kasus hukum ataupun meninggal dunia. Sehingga lajim disebut wakil kepala daerah itu tak ubahnya bagaikan "ban serep".

Dalam  UU No 32 Tahun 2004 pada pasal 66 menyatakan wakil kepala daerah tugasnya membantu kepala daerah dalam memimpin pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah, membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan perangkat daerah dan menindaklanjuti laporan dan temuan hasil pengawasan, membantu mengevaluasi atau memantau penyelenggaraan pemerintah daerah. 

Dan kepala daerah hanya memberikan saran dan pertimbangan.

Undang-undang tersebut jelas mengutarakan wakil kepala daerah hanya bertugas membantu kepala daerah, dan tidak memiliki wewenang mengambil keputusan.

Sesuai dengan "job description" tersebut tidak semestinya wakil kepala daerah kecewa bila tidak mendapat wewenang yang luas dalam kepemimpinan suatu daerah.

Bukankah seorang wakil kepala daerah semestinya sejak awal ingin ikut bertarung di Pilkada sudah tau dan paham tentang tugas dan wewenang yang minim ini ?

Memang adakalanya seorang calon wakil kepala daerah membuat komitmen atau kesepakatan dengan calon kepala daerah untuk membagi wewenang, ataupun memberi kesempatan bagi wakil untuk terlibat lebih luas dalam pemerintahan, padahal hal itu bertentangan dengan undang-undang.

Ketika perjanjian itu tidak terpenuhi maka sang wakil merasa kecewa berat, sementara di kepala daerah tidak merasa bersalah karena undang-undang memang memberi wewenang kecil kepada wakil kepala daerah.

Tetapi persoalan terbesar menyebabkan seringnya terjadi hubungan tidak harmonis antara kepala daerah dengan wakilnya adalah sistem pemilu atau pemilihan kepala daerah yang hanya mengutamakan faktor elektoral, yaitu hanya mengutamakan prinsif memperoleh suara banyak atau kemenangan dengan mengandalkan uang dalam jumlah banyak sebagai cost politics.

Lebih parah lagi sistem pemilu saat ini sangat liberal sehingga mengandalkan money politics, atau transaksional membeli suara pemilih.

Karena itu, wakil dipilih melulu dengan pertimbangan kemampuannya menyumbangkan perolehan suara, terutama besaran kontribusi uang yang dimiliki.

Setelah terpilih ternyata wewenangnya relatif tidak ada, sehingga dianggap tidak sebanding dengan pengorbanannya menyediakan uang maupun memenangkan pemilihan.

Ironisnya, uang yang sudah dikeluarkan begitu banyak, diharapkan kembali, tetapi pada kenyataannya uang masuk tidak seperti yang diharapkan.

Itulah dilema sistem pemilihan kepala daerah saat ini yang membutuhkan biaya sangat besar untuk memenangkan kontestasi Pilkada.

Partai politik juga dalam merekrut calon dan wakil kepala daerah tidak mempertimbangkan kualitas, sangat pragmatis, karena hanya menekankan faktor elektabilitas, popularitas dan kecukupan uang.

Pilkada yang sarat dengan money politics serta cost politik sangat tinggi menyeret partai politik hanya berorientasi kepada kepentingan kemenangan elektoral, transaksional, bukan mengutamakan gagasan  maupun kesamaan ideologi.

Maka banyak calon kepala daerah dan wakil maju dan terpilih hanya karena faktor memiliki uang dalam jumlah banyak. 

Jadi lazim, seorang calon wakil kepala daerah dipilih sebagai calon hanya karena faktor kepemilikan uang banyak, popular, dan sebagai sebagai vote getter, bukan karena kesamaan visi misi atau kualitas.

Saat terpilih, wakil kemudian merasa memiliki peran besar dalam proses pemenangan, tetapi setelah terpilih merasa tidak memperoleh penghargaan yang sepadan.

Kekecewaan demi kekecewaan yang ditunjukkan oleh beberapa wakil kepala daerah belakangan ini, karena terlalu besar ekspektasi wakil kepala daerah tidak terpenuhi, dan kesalahan pemahaman terhadap minimnya fungsi dan peran kepala daerah sesuai undang-undang.

Jika demikian, ditengah fenomena banyaknya wakil kepala daerah yang mundur, siapa yang mau disalahkan ?

Iya, salah wakil kepala daerah itu sendiri karena terlalu memiliki ekspektasi berlebihan.

Kemudian jika ada pendapat mengatakan jika kepala daerah dengan wakilnya tidak harmonis maka masyarakat jadi korban, jelas itu asumsi yang salah. 

Karena wakil kepala daerah itu tidak memiliki wewenang strategis. Bahkan Sekda (Sekretaris Daerah) dan Kepala Dinas memiliki fungsi dan wewenang lebih strategis dan taktis dibandingkan seorang kepala daerah.

Ironis memang, tapi itulah peraturan yang sesuai dengan undang-undang. 

Kekecewaan para wakil kepala daerah itu tidak terpisahkan dengan sistem rekruitment yang tidak mengandalkan penilaian kualitas. 

Dan para wakil kepala daerah yang kecewa tersebut memang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral belaka.

Oleh karena itu jangan mau jadi wakil kepala daerah hanya karena mengandalkan uang, karena itu hanya menjadikan seorang wakil kepala daerah sebagai "sapi perahan", kecuali jadi wakil  kepala daerah hanya untuk gagah-gagahan, dan gila jabatan.

Mundurnya wakil kepala daerah tidak berpengaruh signifikan merugikan masyarakat,  karena sesungguhnya kepala daerah, Gubernur, Bupati/Walikota lah yang menjalankan kepemimpinan kepala daerah.

Wakil tidak memiliki wewenang memimpin berdasarkan undang-undang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun