Setelah terpilih ternyata wewenangnya relatif tidak ada, sehingga dianggap tidak sebanding dengan pengorbanannya menyediakan uang maupun memenangkan pemilihan.
Ironisnya, uang yang sudah dikeluarkan begitu banyak, diharapkan kembali, tetapi pada kenyataannya uang masuk tidak seperti yang diharapkan.
Itulah dilema sistem pemilihan kepala daerah saat ini yang membutuhkan biaya sangat besar untuk memenangkan kontestasi Pilkada.
Partai politik juga dalam merekrut calon dan wakil kepala daerah tidak mempertimbangkan kualitas, sangat pragmatis, karena hanya menekankan faktor elektabilitas, popularitas dan kecukupan uang.
Pilkada yang sarat dengan money politics serta cost politik sangat tinggi menyeret partai politik hanya berorientasi kepada kepentingan kemenangan elektoral, transaksional, bukan mengutamakan gagasan  maupun kesamaan ideologi.
Maka banyak calon kepala daerah dan wakil maju dan terpilih hanya karena faktor memiliki uang dalam jumlah banyak.Â
Jadi lazim, seorang calon wakil kepala daerah dipilih sebagai calon hanya karena faktor kepemilikan uang banyak, popular, dan sebagai sebagai vote getter, bukan karena kesamaan visi misi atau kualitas.
Saat terpilih, wakil kemudian merasa memiliki peran besar dalam proses pemenangan, tetapi setelah terpilih merasa tidak memperoleh penghargaan yang sepadan.
Kekecewaan demi kekecewaan yang ditunjukkan oleh beberapa wakil kepala daerah belakangan ini, karena terlalu besar ekspektasi wakil kepala daerah tidak terpenuhi, dan kesalahan pemahaman terhadap minimnya fungsi dan peran kepala daerah sesuai undang-undang.
Jika demikian, ditengah fenomena banyaknya wakil kepala daerah yang mundur, siapa yang mau disalahkan ?
Iya, salah wakil kepala daerah itu sendiri karena terlalu memiliki ekspektasi berlebihan.