Wakil kepala daerah hanya berfungsi penuh apabila Kepala Daerah berhalangan sementara atau berhalangan tetap, misalnya karena masuk penjara karena ada kasus hukum ataupun meninggal dunia. Sehingga lajim disebut wakil kepala daerah itu tak ubahnya bagaikan "ban serep".
Dalam  UU No 32 Tahun 2004 pada pasal 66 menyatakan wakil kepala daerah tugasnya membantu kepala daerah dalam memimpin pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah, membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan perangkat daerah dan menindaklanjuti laporan dan temuan hasil pengawasan, membantu mengevaluasi atau memantau penyelenggaraan pemerintah daerah.Â
Dan kepala daerah hanya memberikan saran dan pertimbangan.
Undang-undang tersebut jelas mengutarakan wakil kepala daerah hanya bertugas membantu kepala daerah, dan tidak memiliki wewenang mengambil keputusan.
Sesuai dengan "job description" tersebut tidak semestinya wakil kepala daerah kecewa bila tidak mendapat wewenang yang luas dalam kepemimpinan suatu daerah.
Bukankah seorang wakil kepala daerah semestinya sejak awal ingin ikut bertarung di Pilkada sudah tau dan paham tentang tugas dan wewenang yang minim ini ?
Memang adakalanya seorang calon wakil kepala daerah membuat komitmen atau kesepakatan dengan calon kepala daerah untuk membagi wewenang, ataupun memberi kesempatan bagi wakil untuk terlibat lebih luas dalam pemerintahan, padahal hal itu bertentangan dengan undang-undang.
Ketika perjanjian itu tidak terpenuhi maka sang wakil merasa kecewa berat, sementara di kepala daerah tidak merasa bersalah karena undang-undang memang memberi wewenang kecil kepada wakil kepala daerah.
Tetapi persoalan terbesar menyebabkan seringnya terjadi hubungan tidak harmonis antara kepala daerah dengan wakilnya adalah sistem pemilu atau pemilihan kepala daerah yang hanya mengutamakan faktor elektoral, yaitu hanya mengutamakan prinsif memperoleh suara banyak atau kemenangan dengan mengandalkan uang dalam jumlah banyak sebagai cost politics.
Lebih parah lagi sistem pemilu saat ini sangat liberal sehingga mengandalkan money politics, atau transaksional membeli suara pemilih.
Karena itu, wakil dipilih melulu dengan pertimbangan kemampuannya menyumbangkan perolehan suara, terutama besaran kontribusi uang yang dimiliki.