Jelang Pilpres 2024 Partai Golkar bagaikan perempuan seksi, menarik dan jadi pusat perhatian. Fenomena itu terlihat dari semakin banyak tokoh elit partai bertandang dan bertemu dengan partai Golkar. Golkar tidak ubahnya bagaikan bandul politik yang bebas bergerak kesana kemari tanpa memiliki beban berarti.
Namun dari berbagai pertemuan yang dilakukan elit partai dengan Golkar, ada muncul cerita menggelikan dan mengundang tawa, yaitu beberapa elit partai politik meminta Partai Golkar ikut koalisi partai yang sudah mereka bentuk. Seakan mereka memiliki nilai jual lebih baik dibandingkan Partai Golkar.
Sikap tersebut bukan hanya seakan mengecilkan keberadaan dan sepak terjang Partai Golkar, tetapi menunjukkan bahwa partai-partai yang ingin menarik Golkar ke koalisinya mempertontonkan bahwa sebenarnya mereka tidak mengenal dengan baik karakter Partai Golkar.
Partai Golkar itu partai yang memiliki sejarah panjang perjalanan politik, telah banyak makan garam atau asam manisnya politik, bahkan pernah bergumul dan mampu melewati turbelensi politik yang hampir saja merenggut nasib kehidupannya.Â
Golkar di masa orde baru identik dengan alat perpanjangan tangan Suharto, Presiden Indonesia saat itu, sehingga munculnya gerakan reformasi yang pada intinya memaksa Suharto "Lengser ke Perabon" menyeret Golkar menghadapi gelombang ancaman pembubaran karena memang Golkar tidak bisa dipungkiri merupakan bagian tidak terpisahkan dengan keberadaan Suharto dan Orde Baru dan Keluarga Cendana. Dan Suharto memang menduduki posisi sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar yang memiliki wewenang kuat menentukan arah pergerakan Golkar.
Lahirnya gerakan reformasi yang intinya melengserkan Suharto yang dianggap sebagai presiden otoriter, represif serta bergemilang KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) menyulitkan posisi Golkar untuk ikut arus reformasi yang menginginkan sistem pemerintahan yang good governance dan terciptanya demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.Â
Karena memang saat itu sebagian besar petinggi Golkar merupakan bagian yang tak terpisahkan dari status quo yang telah lama merasa nyaman dan menikmati kepemimpinan Presiden Suharto, sehingga memilih untuk melanjutkan status seperti itu dan tidak siap melakukan perubahan terhadap diri sendiri dan terhadap partai Golkar.
Tetapi melalui Munaslub Golkar 1998 di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung Golkar kemudian berupaya melakukan transformasi sebagai upaya beradaptasi dengan tuntutan reformasi dengan mengusung prinsip melakukan perubahan paradigma dan melakukan pemutusan hubungan dengan pilar-pilar utama pendukung yang lazim disebut ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) untuk kemudian mandiri dan menegaskan posisi sebagai partai politik, dan tentunya berupaya meninggalkan cengkeraman keluarga besar Cendana (keluarga besar Suharto) yang menjadi sasaran utama gerakan reformasi.
Keberhasilan Partai Golkar untuk tetap eksis dan survive dibuktikan lewat Pemilu 1999 yang masih mampu memperoleh suara secara signifikan diluar perkiraan banyak kalangan ketika itu, bahkan di pemilu selanjutnya tahun 2004 Partai Golkar mampu unggul sebagai peringkat pertama perolehan suara terbanyak dan pemenang pemilu.Â
Pemilu demi pemilu dilalui Partai Golkar dengan selalu berada sebagai salah satu partai terbesar atau partai papan atas untuk meneguhkan keberadaannya tetap survive dan diperhitungkan sebagai kekuatan politik yang tidak bisa di abaikan.
Bahkan kemudian Partai Golkar bukan hanya berhasil untuk survive, tetapi selalu berhasil sebagai bagian dari linngkaran kekuasaan siapapun itu presidennya, mirip seperti tagline iklan sebuah minuman saat itu yang berbunyi "Apapun makananya Minumannya Teh Sosro", sama dengan prinsif Golkar "Siapapun Presidennya Golkar tetap sebagai bagian kekuasaan". Artinya Golkar itu tidak punya DNA sebagai oposisi karena mempunyai paradigma "Tidak ke Mana-mana tetapi Ada di Mana-mana".
Jadi sangat naif jika mengharapkan Partai Golkar bisa ditarik-tarik oleh partai lain untuk masuk ke barisannya sesuai dengan keinginan partai yang ingin menariknya. Partai Golkar bukan demikian karakternya, karena Partai Golkar justru ingin sebagai aktor utama yang mewarnai formula politik yang ingin dimasukinya, bukan sebagai pihak yang mengekor tanpa harus jadi pihak yang ingin menentukan.
Saat Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai Nasdem maupun Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB bertemu dengan Airlangga Hartarto Ketua Umum Partai Golkar banyak berseliweran narasi yang pada intinya mengatakan Partai Golkar diajak dan hendaknya ikut bergabung dengan Koalisi mereka, itulah semua bagaikan lelucon tak lucu dan menggelikan.
Justru yang perlu dilakukan sekarang adalah mencermati arah ke mana Partai Golkar mengayunkan langkahnya dalam mewarnai Pilpres 2024. Partai Golkar sejak melakukan perubahan paradigma pada tahun 1998 sudah menunjukkan karakternya sebagai partai yang ingin selalu berada di pusaran lingkaran kekuasaan,.
Oleh karena itu Partai Golkar akan selalu memilih jalan yang memungkinkannya untuk selalu berada di pihak pemenang.
Seandainya dalam Pilpres 2024 Partai Golkar tidak berkoalisi dengan koalisi partai calon pemenang dan memilih mengusung sendiri capresnya bersama koalisinya, partai Golkar tidak akan menunjukkan diri bertarung hadap-hadapan dengan partai lain, tetapi akan tetap bermain cantik, kalah menang perkara belakangan yang penting siapapun yang menang Partai Golkar ada didalamnya.
Untuk mewujudkan niatnya itu maka wajar Partai Golkar sampai saat ini masih nampak tidak latah dan santai aja memperlihatkan gerakannya, sebagai sebuah strategi mencermati arah perkembangan yang memberi kemungkinan bagi Partai Golkar tetap eksis merealisasikan keinginannya.Â
Padahal sebagai salah satu partai politik memiliki kursi banyak di parlemen Partai Golkar bisa saja dengan cepat-cepat bermanuver untuk jadi Leader maupun The King Maker dalam penentuan bentuk koalisi dan deklarasi Capres.Â
Hal itu tidak dilakukan partai Golkar karena mereka memang sudah biasa "ukur baju" terlebih dahulu sebelum bertanding, dan di atas semua itu Partai Golkar ingin tetap sebagai bandul, yaitu sebuah bola yang diikat oleh seutas tali tergantung di atap sehingga membuatnya bebas bergerak kencang kesana kemari dengan ritme teratur dalam arah yang tetap sama.
Bandul itu sebenarnya telah bergerak kesana ke kemari tetapi tidak nampak secara kasat mata, itu semua karena memang Partai Golkar sudah memiliki pengalaman panjang untuk bermain tidak "grasak grusuk" tapi berhasil menembak sasaran dengan tepat.
Jika pun Partai Golkar harus berkoalisi dengan parta-partai yang sudah pada sibuk saat ini, pada saatnya Partai Golkar akan tampil di lini terdepan mewarnai permainan, bukan sebaliknya jadi follower.Â
Itulah kelincahan Partai Golkar yang sejak melakukan transformasi jadi bagian era reformasi semakin menjadikan dirinya eksis sesuai dengan pradigma yang dimilikinya tidak condong ke salah satu kekuatan politik, dan juga tidak sebagai imbang kekuatan politik tersebut, tetapi berusaha jadi teman baik semua kekuatan politik.
Paradigma Golkar yang sangat luwes dan tidak terikat dengan ideologi tertentu justru membuatnya semakin eksis dan berhasil selalu sebagai bagian lingkaran penguasa, bahkan dengan waktu dan ruang yang tepat bisa saja menimbulkan kejutan.Â
Demikian juga dalam menghadapi Pilpres 2024, Partai Golkar bisa saja memunculkan kejutan, karena selain sudah memiliki Airlangga Hartarto sebagai capres, kini Partai Golkar juga memiliki Ridwan Kamil sebagai kuda hitam, dan lebih mengagetkan lagi Partai Golkar boleh jadi akan berkoalisi dengan salah satu partai politik terbesar yang bisa saja mengusung bacapres yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi sebagaiman versi lembaga survei.
Nantikan saja arah bandul politik Partai Golkar, jangan "ngarep" partai Golkar ikut-ikutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H