Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Skala Prioritas Perjuangan Keterwakilan Perempuan di Gelanggang Politik

12 Februari 2023   20:27 Diperbarui: 28 Februari 2023   17:23 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Gender dan Kebijakan Kebudayaan. Kompas.Id

Artikel Luna Septalisa, Kompasiana (12/2/2023), berjudul "Jalan Terjal Perempuan Di Ranah Politik Yang Penuh Kekerasan", sangat menarik, dan layak dijadikan sebagai bahan permenungan dalam rangka menjalani tahun politik yang sedang membentang dihadapan kita, khususnya jelang Pemilu 2024.

Bicara tentang perempuan memang selalu mengundang perdebatan, dan daya tariknya tak ada habis-habisnya. 

Terutama saat bicara tentang keberadaan dan peran perempuan dalam ranah politik sering jadi "diskursus eksotis", memiliki magnet menarik minat berbagai kalangan, bukan hanya terhadap perempuan itu sendiri.

Tetapi kaum pria juga banyak terpikat. Itulah salah satu bukti nyata betapa sesungguhnya perempuan itu memiliki daya tarik kuat dalam kehidupan manusia.

Dalam artikelnya,  Luna Septiana pada intinya fokus menyoroti "ekses" atau "perundungan" yang dianggap acapkali menerpa politisi perempuan dalam ranah politik. Bukan fokus bicara tentang pengarusutamaan perempuan dan pemberdayaan perempuan (kesetaraan gender).

Memang, secara konstitusional perempuan Indonesia sudah memperoleh perlakuan sejajar (gender equality) untuk lebih leluasa terjun di gelanggang politik. 

Hal itu dapat dilihat lewat kebijakan afirmatif (affirmative action) yang secara inplisit tertuang dalam UU No 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu, dimana didalamnya telah tersurat ketentuan "Keterwakilan Perempuan".

Sebagai pelaksana pemilu, pengurus partai politik, maupun sebagai calon legislatif yang bermuara kepada cita-cita mewujudkan tercapainya jumlah perempuan secara signifikan di lembaga legislatif maupun untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan Indonesia.

Dalam perspektif perjuangan kesetaraan gender dalam politik, atau keterbukaan akses jadi politisi bagi perempuan Indonesia sebenarnya tidak ada masalah krusial lagi. 

Karena saat ini  perempuan Indonesia selain sudah menikmati Gender Equality dalam politik, juga sudah memperoleh Equitable Acces ke ranah politik secara konstitusional.

Dengan adanya jaminan secara konstitusional terhadap "Affirmative Action" dan "Zypper System" dalam undang-undang Pemilu maka perdebatan tentang tuntutan persamaan kesempatan berkiprah di politik bagi perempuan Indonesia sudah paripurna dan tuntas. 

Persoalan selanjutnya adalah sejauh mana kesempatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh Perempuan Indonesia untuk menunjukkan eksistensinya di ranah politik, sehingga kebijakan afirmatif yang diperolehnya bukan sekedar legitimasi miskin makna dan justru tidak mampu meningkatkan keberadaan perempuan dalam ranah politik secara kuantitas dan kuantitatif.

Affirmation Action jangan sampai mengalami degradasi makna, karena didefenisikan sebagai kebijakan memberi kedudukan istimewa kepada perempuan.

Itu artinya perempuan berhasil memperoleh kesempatan jadi calon legislatif hanya karena memenuhi tuntutan peraturan, bukan karena perempuan tersebut memiliki kapasitas sebagai politisi. 

Dalam menyusun calon-calon legislatif (caleg) sebagai kandidat dalam kontestasi Pileg dengan Zypper System yang mengharuskan setiap 3 orang caleg yang ditetapkan diharuskan minimal ada 1 (satu) perempuan didalamnya, justru menimbulkan dilema bagi partai politik, dan sering dianggap sebagai beban keharusan memenuhi peraturan pemilu bagi partai politik. 

Bukan karena ada keinginginan melakukan diskriminasi, tetapi karena perempuan yang aktif sebagai kader partai politik jumlahnya sangat minim. Tidak seimbang dengan jumlah kebutuhan partai politik dalam menyusun daftar caleg. 

Sehingga perempuan dalam penyusunan daftar Caleg sering dianggap hanya sebagai unsur pelengkap, malah sering dianggap sekedar Cheerleader, karena keberadaannya sebagai Caleg hanya berfungsi untuk memenuhi syarat tuntutan peraturan pemilu, bukan sebagai Caleg Vote Getter.

Fenomena tersebut merupakan "diskursus" menarik, aktual dan relevan dijadikan sebagai bahan permenungan dan topik perbincangan tentang "Kearusutamaan Gender  (gender mainstreaming), maupun Keterwakilan Perempuan" dalam ranah politik untuk konteks saat ini.

Mengangkat topik tersebut bukan berarti untuk mendekreditkan dan delegitimasi peran penting perempuan dalam gelanggang politik dewasa ini, tetapi justru sebagai sumbangsih mulia untuk turut membantu meningkatkan peran penting perempuan yang berdasarkan fakta dan data mengalami perkembangan lebih baik dari periode ke periode karena adanya kebijakan affirmation action dan zyper system.

Jika dibandingan antara Pemilu 1999 dimana belum ada kebijakan affirmation action dengan Pemilu selanjutnya yang telah mempergunakan kebijakan affirmation action dan zyper system, maka akan nampak dengan jelas terjadi peningkatan jumlah perempuan yang berhasil sebagai legislator di DPR RI.

Intinya, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif terus menerus mengalami peningkatan dari pemilu ke pemilu selaras dengan adanya kebijakan yang berorientasi kepada memberi dukungan terhadap keterwakilan perempuan dalam undang-undang Pemilu.

Realitas peningkatan peran perempuan secara kuantitatif dari pemilu ke pemilu, khususnya selama era reformasi, dapat dilihat dari deskripsi berikut : 

  • Pemilu 1999 (tanpa affirmative action), perempuan sebagai anggota DPR sebesar 9.0%. 
  • Pemilu 2004 (dengan affirmative action kuota 30 % perempuan),  perempuan sebagai anggota DPR sebesar 11,8%, 
  • Pemilu 2009 (dengan affirmative action dan zipper system),  perempuan sebagai anggota DPR sebesar 18 %, 
  • Pemilu 2019 (dengan affirmative avtion dan zipper system),  perempuan sebagai anggota DPR  sebesar 20,8 %.  (Catatan : persentase tersebut perbandingan antara jumlah perempuan dengan pria sebagai anggota DPR setiap periode)

Data tersebut menunjukkan jumlah perempuan jadi anggota DPR belum sesuai dengan target, karena kebijakan dan peraturan pemilu yang menetapkan kuota perempuan sebesar 30 % dalam menentukan jumlah Caleg dan kepengurusan partai politik belum berbanding lurus dengan perolehan kursi perempuan hasil pemilu di lembaga legislatif / DPR.

Itulah tantangan terbesar saat ini yang mendesak untuk dicari solusi dan strateginya, dan harus dijadikan sebagai skala prioritas dalam rangka meningkatan kuantitas keterwakilan perempuan, dan hal itu tentu tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan kualitas atau kapabelitas perempuan sebagai aktor politik dalam rangka memenuhi keinginan merealisasikan keterwakilan perempuan dalam politik.

Dan diharapkan akan bisa mengangkat kembali harkat dan martabat perempuan dalam kancah politik, serta menepis stigma buruk yang mengganggap perempuan hanya sebagai faktor pelengkap dalam pemilu, dan meng-counter asumsi yang mengatakan keberadaan perempuan sebagai peserta pemilu maupun sebagai legislator hanya berupa pemberian perlakuan Istimewa lewat kebijakan affirmative action dan zipper system.

Diskursus berkaitan dengan perjuangan kesetaraan gender, khususnya berkaitan dengan perjuangan untuk memperoleh kesetaraan di sektor politik dan kepemimpinan politik bukan merupakan prioritas utama lagi bagi perempuan Indonesia, karena bukan hanya kesempatan yang terbuka lebar sudah tersedia bagi perempuan Indonesia, tetapi system kepemiluan juga sangat mendukung untuk memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkiprah di gelanggang politik.

Kesetaraan dan perlakuan yang sama terhadap perempuan dan pria dalam kontestasi pemilihan umum dengan sistem proporsional terbuka saat ini memang mengharuskan perempuan ikut arus gelombang liberalisasi demokrasi, harus ikut sistim pemilihan umum yang sangat kompetitif dan persaingan keras. 

Pemilihan dengan sistem proporsional terbuka mengharuskan setiap orang, termasuk perempuan, berkompetisi dalam kontestasi pemilu bagaikan persaingan dalam pasar bebas, sesuai dengan mekanisme pasar, tidak ada intervensi dari penguasa, dan pemerintah dalam hal itu tak ubahnya hanya sebagai penjaga malam (security) lewat kebijakannya, tidak bisa sebagai "Invisble hand" mengintervensi mekanisme kontestasi atas nama perlindungan terhadap perempuan maupun kesetaraan gender.

Pemilihan umum legislatif tidak bisa dihindari sebagai arena persaingan bebas dan ketat, bahkan adakalanya sebagai killing field atau arena pembantain oleh yang kuat terhadap yang lemah sebagaimana lajimnya philosopy kaum liberalisme dan kapitalisme dalam system pasar bebas. 

Pertanyaan menarik untuk disampaikan kepada perempuan Indonesia saat ini adalah, siap kah mereka ikut bertarung di kontestasi pemilu dengan sistem proporsional terbuka saat ini sebagai sebuah konsekuensi bagi perempuan yang sudah memperoleh kesetaraan gender, dan memperoleh kesempatan yang sama dengan pria tanpa ada diskriminasi di gelanggang politik.

Itulah sebenarnya pertanyaan menarik menghinggapi perempuan, dan layak dipertanyakan kembali kepada perempuan di tengah diskursus kesetaraan gender / kearusutamaan gender (gender mainstreaming), maupun keterwakilan perempuan di ranah politik dewasa ini.

Pertanyaan layak dijadikan sebagai skala prioritas untuk dijawab terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh membicarakan bahwa tujuan hakiki perempuan berkiprah di arena politik untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di parlemen, ikut merumuskan kebijakan yang berdampak kepada kepentingan perempuan dan memperjuangkan equal rights.

Peningkatan keterwakilan perempuan di DPR memang harus terus diperjuangkan dalam perspektif gender dalam politik, oleh karena itu dibutuhkan strategi meningkatkan kualitas dan kuantitas keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Salah satu diantaranya adalah tetap mendukung diberlakukannya affirmative action dan zipper system, tetapi harus tetap berpikir bagaimana cara perempuan mensiasati pemilu yang dilaksankan dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat.

Dengan demikian perempuan yang tengah berkecimpung di ranah politik, maupun yang memiliki keinginan terjun ke gelanggang politik tidak terjebak dalam diskursus membahas hal-hal "remeh temeh" yang berpotensi mengundang munculnya sikap skeptis maupun negative thingking dari perempuan itu sendiri yang akhirnya menimbulkan demotivasi.

Untuk mewujudkan keinginana perempuan Indonesia agar memiliki kesempatan lebih luas sebagai politisi dibutuhkan kemauan keras untuk berjuang dan berkompetisi sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, adaptif dan mampu mencari solusi di tengah persaingan keras dalam setiap kontestasi pemilu yang sangat liberal dewasa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun