Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Skala Prioritas Perjuangan Keterwakilan Perempuan di Gelanggang Politik

12 Februari 2023   20:27 Diperbarui: 28 Februari 2023   17:23 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Gender dan Kebijakan Kebudayaan. Kompas.Id

Realitas peningkatan peran perempuan secara kuantitatif dari pemilu ke pemilu, khususnya selama era reformasi, dapat dilihat dari deskripsi berikut : 

  • Pemilu 1999 (tanpa affirmative action), perempuan sebagai anggota DPR sebesar 9.0%. 
  • Pemilu 2004 (dengan affirmative action kuota 30 % perempuan),  perempuan sebagai anggota DPR sebesar 11,8%, 
  • Pemilu 2009 (dengan affirmative action dan zipper system),  perempuan sebagai anggota DPR sebesar 18 %, 
  • Pemilu 2019 (dengan affirmative avtion dan zipper system),  perempuan sebagai anggota DPR  sebesar 20,8 %.  (Catatan : persentase tersebut perbandingan antara jumlah perempuan dengan pria sebagai anggota DPR setiap periode)

Data tersebut menunjukkan jumlah perempuan jadi anggota DPR belum sesuai dengan target, karena kebijakan dan peraturan pemilu yang menetapkan kuota perempuan sebesar 30 % dalam menentukan jumlah Caleg dan kepengurusan partai politik belum berbanding lurus dengan perolehan kursi perempuan hasil pemilu di lembaga legislatif / DPR.

Itulah tantangan terbesar saat ini yang mendesak untuk dicari solusi dan strateginya, dan harus dijadikan sebagai skala prioritas dalam rangka meningkatan kuantitas keterwakilan perempuan, dan hal itu tentu tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan kualitas atau kapabelitas perempuan sebagai aktor politik dalam rangka memenuhi keinginan merealisasikan keterwakilan perempuan dalam politik.

Dan diharapkan akan bisa mengangkat kembali harkat dan martabat perempuan dalam kancah politik, serta menepis stigma buruk yang mengganggap perempuan hanya sebagai faktor pelengkap dalam pemilu, dan meng-counter asumsi yang mengatakan keberadaan perempuan sebagai peserta pemilu maupun sebagai legislator hanya berupa pemberian perlakuan Istimewa lewat kebijakan affirmative action dan zipper system.

Diskursus berkaitan dengan perjuangan kesetaraan gender, khususnya berkaitan dengan perjuangan untuk memperoleh kesetaraan di sektor politik dan kepemimpinan politik bukan merupakan prioritas utama lagi bagi perempuan Indonesia, karena bukan hanya kesempatan yang terbuka lebar sudah tersedia bagi perempuan Indonesia, tetapi system kepemiluan juga sangat mendukung untuk memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkiprah di gelanggang politik.

Kesetaraan dan perlakuan yang sama terhadap perempuan dan pria dalam kontestasi pemilihan umum dengan sistem proporsional terbuka saat ini memang mengharuskan perempuan ikut arus gelombang liberalisasi demokrasi, harus ikut sistim pemilihan umum yang sangat kompetitif dan persaingan keras. 

Pemilihan dengan sistem proporsional terbuka mengharuskan setiap orang, termasuk perempuan, berkompetisi dalam kontestasi pemilu bagaikan persaingan dalam pasar bebas, sesuai dengan mekanisme pasar, tidak ada intervensi dari penguasa, dan pemerintah dalam hal itu tak ubahnya hanya sebagai penjaga malam (security) lewat kebijakannya, tidak bisa sebagai "Invisble hand" mengintervensi mekanisme kontestasi atas nama perlindungan terhadap perempuan maupun kesetaraan gender.

Pemilihan umum legislatif tidak bisa dihindari sebagai arena persaingan bebas dan ketat, bahkan adakalanya sebagai killing field atau arena pembantain oleh yang kuat terhadap yang lemah sebagaimana lajimnya philosopy kaum liberalisme dan kapitalisme dalam system pasar bebas. 

Pertanyaan menarik untuk disampaikan kepada perempuan Indonesia saat ini adalah, siap kah mereka ikut bertarung di kontestasi pemilu dengan sistem proporsional terbuka saat ini sebagai sebuah konsekuensi bagi perempuan yang sudah memperoleh kesetaraan gender, dan memperoleh kesempatan yang sama dengan pria tanpa ada diskriminasi di gelanggang politik.

Itulah sebenarnya pertanyaan menarik menghinggapi perempuan, dan layak dipertanyakan kembali kepada perempuan di tengah diskursus kesetaraan gender / kearusutamaan gender (gender mainstreaming), maupun keterwakilan perempuan di ranah politik dewasa ini.

Pertanyaan layak dijadikan sebagai skala prioritas untuk dijawab terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh membicarakan bahwa tujuan hakiki perempuan berkiprah di arena politik untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di parlemen, ikut merumuskan kebijakan yang berdampak kepada kepentingan perempuan dan memperjuangkan equal rights.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun