Dalam masyarakat Karo, salah satu etnis di Sumatera Utara, memiliki tradisi menyumbangkan uang dalam jumlah sukarela dalam setiap perhelatan pesta adat perkawinan, dan acara adat kematian.
Untuk acara perkawinan, keluarga maupun kerabat yang diundang lajim memberi uang yang dicatat di list atau buku yang lajim disediakan setiap pesta adat.
Jumlah uang yang disumbangkan bervariasi dan tergantung niat masing-masing pemberi, tetapi besaran jumlah uang yang disumbangkan seseorang sering dijadikan sebagai ukuran besar kecilnya partisipasi seseorang membantu pelaksanaan pesta. Tidak ubahnya dianggap sebagai salah satu bentuk rasa kebersamaan atau gotong royong oleh semua keluarga dan kerabat melaksanakan pesta adat.
Pemberian uang atau donasi ini juga lajim dilakukan dalam acara adat duka atau prosesi pemakaman orang yang meninggal dunia, yang disebut sebagai uang pertangis, berasal dari kata dasar tangis dalam bahasa Karo yang artinya menangis. Jika diartikan ke bahasa Indonesia uang pertangis berarti uang sumbangan sebagai tanda rasa turut berduka.
Mencermati tradisi masyarakat Karo yang menyumbangkan uang secara suka rela dalam setiap acara adat atau pesta, baik acara suka dan duka, secara inplisit memuat makna sangat mendalam bahwa sumbangan uang yang diberikan dalam sebuah hajatan menunjukkan rasa kebersamaan serta persaudaraan dan gotong royong sebagai pertanda saling membantu antara sesama keluarga dan kerabat, bukan sekedar sebagai hadiah atau kado.
Sudah lajim setiap selesai pelaksanaan acara, baik pesta perkawinan maupun acara duka dilakukan perhitungan jumlah total uang masuk, kemudian dibandingkan dengan uang keluar pelaksanaan hajatan tersebut.
Pihak yang melaksanakan hajatan jika memperoleh uang surplus, atau ada sisa dari uang masuk setelah dikurangi uang keluar maka pihak yang melaksanakan pesta tersebut dianggap sebagai orang yang selama hidupnya memang memiliki jalinan kekerabatan dan persaudaraan yang baik, memiliki interaksi sosial yang baik sehingga sering dianggap sebagai orang yang rajin mengikuti acara adat, atau dianggap sebagai orang beradat.
Sebaliknya pihak yang mengalami defisit atau rugi melaksanakan pesta dihitung dari jumlah uang masuk (sumbangan) dikurangi uang keluar, maka orang tersebut atau keluarganya dianggap tidak baik dalam berinteraksi sosial atau mengikuti acara adat selama hidupnya.
Artinya jumlah perolehan uang sumbangan yang diberikan saudara dan kerabat dalam sebuah pesta dijadikan sebagai salah satu ukuran tinggi rendahnya kemampuan seseorang membina relasi kekeluargaan atau kekerabatan, dan menjadi ukuran kemampuan seseorang membina harmonisasi interaksi sosial.
Dengan demikian pemberian sumbangan uang dalam pesta adat masyarakat Karo bukan sekedar berbentuk hadiah tetapi memiliki makna penting sebagai aktualisasi nilai-nilai gotong royong dalam persaudaraan serta jadi salah satu bukti nyata sikap "Solidaritas dan Subsidiaritas".