Beberapa negara menganggap resesi seks merupakan persoalan penting karena resesi seks berimplikasi terhadap penurunan jumlah penduduk atau penyusutan jumlah penduduk dan menimbulkan dampak negatif terhadap ekonomi atau "lonely economy", istilah yang dipakai menggambarkan kegiatan ekonomi yang didorong oleh masyarakat yang cenderung hidup menyendiri.
Efek resesi seks sering diukur dan digambarkan lewat jumlah rumah tangga yang menyusut dari waktu ke waktu. Rumah tangga di AS dihitung terus menyusut, tahun 1960 rata-rata jumlah orang dalam sebuah rumah tangga sebanyak 3,33 orang, tahun 2021 angkanya turun jadi 2,51 orang. Resesi seks ini terjadi di kalangan milenial di rentang usia 20-an hingga menjelang 40 tahun.
Biro Statistik Nasional China mengumumkan tingkat kelahiran pada tahun 2020 tercatat 8,52 per seribu orang, tingkat pertumbuhan alami populasi menyumbang 1,45 per seribu. Ini merupakan nilai terendah dalam 43 tahun terakhir. Hal ini terjadi karena angka kelahiran turun disebabkan keengganan menikah dan memiliki anak.
Faktor utama penyebabnya karena kurangnya waktu mengurus keluarga, biaya pernikahan mahal, dan beban ekonomi tinggi. Bahkan ada publikasi menyebut hampir lima puluh persen wanita muda di perkotaan China enggan menikah.
Di Jepang tahun 2021 ada 811.604 angka kelahiran, merupakan rekor terendah sejak 1899. Angka kematian naik menjadi 1.439.809 jiwa, sehingga menyebabkan penurunan populasi hingga 628.205 jiwa. Dengan angka kelahiran rendah, Tokyo saat ini mulai mengandalkan pekerja dari luar negeri.
Di Korea Selatan, fenomena resesi seks banyak terjadi setelah muncul kelompok feminis radikal bernama bernama '4B' atau 'Four No's', kepanjangan dari "no dating, no sex, no marriage, and no child-rearing", berarti tidak berkencan, tidak melakukan seks, tidak menikah, dan tidak memiliki atau mengasuh anak.
Kelompok tersebut berisikan kumpulan wanita yang menolak sistem sosial patriarki yang kaku dan bersumpah untuk tidak menikah, punya anak, atau bahkan berkencan dan berhubungan seks. Sebelumnya 47% Wanita lajang Korea menyebut pernikahan itu perlu, namun sejak 2018 jumlahnya turun jadi 22,4%.
Jumlah pasangan menikah merosot jadi 257.600, turun dari 434.900 tahun 1996 sehingga Korea Selatan terancam bencana demografis. Saat ini, tingkat kesuburan turun jadi 0,98 pada tahun 2018.Â
Persentase ini jauh di bawah 2,1% yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil. Pemerintah memperkirakan populasi Korsel yang saat ini di angka 55 juta, akan turun menjadi 39 juta pada tahun 2067.
Data tahun 2020, hanya ada 19.430 pernikahan yang terjadi antar warga Singapura, menurun 12,3% dari 22.165 pernikahan pada tahun sebelumnya. Ini merupakan angka terendah sejak tahun 1986, yakni 19.348 pernikahan.
Perkawinan langka membuat Singapura mengalami tingkat kelahiran rendah, tahun 2021 angka kelahiran hanya 1,12 bayi per wanita, jumlah ini sangat rendah jika dibandingkan dengan rata-rata global yang berkisar di angka 2,3.