Resesi seks tengah melanda beberapa negara, mulai dari Amerika, China hingga Korea Selatan.Â
Resesi seks merupakan fenomena munculnya trend masyarakat enggan, atau "ogah" berhubungan seks. Sehingga angka kelahiran mengalami penurunan
Tingkat hubungan seks semakin menurun atau resesi seks (sex recession) menarik diperbincangkan karena merupakan pilihan hidup kontraversial, bagaikan mengingkari hubungan seks sebagai kebutuhan dasar manusia (physiological needs).
Abraham Maslow dalam teori hierarki kebutuhan menyebut seks sebagai kebutuhan fisiologis, setara dengan kebutuhan manusia akan oksigen, air, makanan, pakaian dan rumah yang disebut sebagai kebutuhan sandang pangan. Kebutuhan ini sering disebut sebagai aspek survival berkaitan untuk kelangsungan hidup manusia.
Dalam hierarki kebutuhan yang digambarkan berbentuk segitiga sama kaki atau berbentuk piramida, kebutuhan fisiologis berada pada tingkatan paling bawah, sebelum kebutuhan Security Needs (kebutuhan rasa aman), Social Needs (kebutuhan sosial), Esteem Needs (kebutuhan penghargaan), dan Self Actualization Needs (kebutuhan aktualisasi diri).
Maslow menjelaskan, manusia harus memenuhi kebutuhan paling rendah terlebih dahulu sebelum naik ke tingkat yang lebih tinggi, sampai ia bisa mengaktualisasikan dirinya. Manusia tidak bisa mencapai kebutuhan paling tinggi tanpa menyelesaikan kebutuhan paling rendah.
Kebutuhan fisiologis berada pada tingkatan paling bawah sebagai gambaran kebutuhan mendasar yang mesti dipenuhi terlebih dahulu sebelum ingin memenuhi kebutuhan selanjutnya yang memiliki tingkat lebih tinggi.
Ketika keinginan melakukan seks sebagai kebutuhan mendasar manusia mengalami kemerosotan, maka wajar jika hal itu jadi pertanyaan menarik. Karena sesungguhnya manusia adalah makhluk seksual, punya dorongan seksual, butuh berhubungan seks dan ingin kepuasan seksual.
Manusia adalah makhluk biologis memiliki naluri dan hasrat seksual untuk kesenangan diri, dan memungkinkan mengembangbiakkan keturunan (reproduksi). Untuk keperluan ini Tuhan menciptakan alat-alat reproduksi baik pada laki-laki maupun perempuan. Sehingga naluri dan hasrat seksual merupakan sesuatu yang melekat (kodrati) pada manusia.
RESESI SEKS
Resesi dalam hal ini meminjam istilah dalam ilmu ekonomi yang berarti kemerosotan atau pertumbuhan negatif dua kuartal berturut-turut dalam satu tahun.
Resesi seks diartikan, rendahnya kemauan warga untuk menikah, menurunnya keinginan melakukan hubungan seks. Malas berhubungan seks dalam konteks ini bukan karena gangguan libido (hypoactive sexual desire disorder/HSDD) atau kondisi disfungsi seksual, tetapi karena pilihan hidup atau gaya hidup.
Resesi seks diperkenalkan Kate Julian, seorang peneliti dan penulis di The Atlantic. Resesi ini merujuk pada fenomena hubungan seks yang semakin menurun di sebuah negara.
Mengutip penelitian Jean M. Twenge, profesor psikologi dari San Diego State University yang mencoba mengeksplorasi kehidupan seksual warga Amerika, ia menemukan bahwa rata-rata aktivitas seks yang dilakukan orang dewasa menurun dari 62 kali menjadi 54 kali dalam setahun.
Julian menyebut penyebab resesi seks karena banyak orang dewasa mengonsumsi antidepresan, mengalami kecemasan tingkat tinggi, tekanan ekonomi, konsumsi video porno berlebihan, kurang tidur, obesitas, hingga terpengaruh cara mendidik orangtua.
Penurunan aktivitas seks dapat juga terjadi karena pernah mengalami pelecehan seksual, orientasi seksual, prioritas kehidupan, dan kebebasan memilih pasangan hidup.
Dapat juga terjadi karena faktor budaya patriarki yang memposisikan perempuan termarginalkan, perempuan tidak memperoleh hak yang sama dalam sektor tertentu, dan tidak mengizinkan perempuan memperoleh kesempatan untuk duduk di jabatan tinggi.Â
Perempuan dianggap memiliki kewajiban mengurus rumah tangga dan anak-anak, bukan untuk mengejar karier tinggi.
Ada juga menjadikan mahalnya biaya hidup sebagai alasan tidak tertarik untuk menikah ataupun memiliki anak. Ketidaksiapan finansial dalam hal ini dapat menyebabkan memilih tidak menikah karena biaya pernikahan dirasa terlalu tinggi, dan tidak mau menanggung beban ekonomi akibat memiliki anak.Â
Sebagian orang sudah tidak ambil pusing jika tak memiliki anak. Mereka lebih memilih fokus pada kesejahteraan hidup dan kualitas hidup.
RESESI SEKS MELANDA BEBERAPA NEGARA
Beberapa negara menganggap resesi seks merupakan persoalan penting karena resesi seks berimplikasi terhadap penurunan jumlah penduduk atau penyusutan jumlah penduduk dan menimbulkan dampak negatif terhadap ekonomi atau "lonely economy", istilah yang dipakai menggambarkan kegiatan ekonomi yang didorong oleh masyarakat yang cenderung hidup menyendiri.
Efek resesi seks sering diukur dan digambarkan lewat jumlah rumah tangga yang menyusut dari waktu ke waktu. Rumah tangga di AS dihitung terus menyusut, tahun 1960 rata-rata jumlah orang dalam sebuah rumah tangga sebanyak 3,33 orang, tahun 2021 angkanya turun jadi 2,51 orang. Resesi seks ini terjadi di kalangan milenial di rentang usia 20-an hingga menjelang 40 tahun.
Biro Statistik Nasional China mengumumkan tingkat kelahiran pada tahun 2020 tercatat 8,52 per seribu orang, tingkat pertumbuhan alami populasi menyumbang 1,45 per seribu. Ini merupakan nilai terendah dalam 43 tahun terakhir. Hal ini terjadi karena angka kelahiran turun disebabkan keengganan menikah dan memiliki anak.
Faktor utama penyebabnya karena kurangnya waktu mengurus keluarga, biaya pernikahan mahal, dan beban ekonomi tinggi. Bahkan ada publikasi menyebut hampir lima puluh persen wanita muda di perkotaan China enggan menikah.
Di Jepang tahun 2021 ada 811.604 angka kelahiran, merupakan rekor terendah sejak 1899. Angka kematian naik menjadi 1.439.809 jiwa, sehingga menyebabkan penurunan populasi hingga 628.205 jiwa. Dengan angka kelahiran rendah, Tokyo saat ini mulai mengandalkan pekerja dari luar negeri.
Di Korea Selatan, fenomena resesi seks banyak terjadi setelah muncul kelompok feminis radikal bernama bernama '4B' atau 'Four No's', kepanjangan dari "no dating, no sex, no marriage, and no child-rearing", berarti tidak berkencan, tidak melakukan seks, tidak menikah, dan tidak memiliki atau mengasuh anak.
Kelompok tersebut berisikan kumpulan wanita yang menolak sistem sosial patriarki yang kaku dan bersumpah untuk tidak menikah, punya anak, atau bahkan berkencan dan berhubungan seks. Sebelumnya 47% Wanita lajang Korea menyebut pernikahan itu perlu, namun sejak 2018 jumlahnya turun jadi 22,4%.
Jumlah pasangan menikah merosot jadi 257.600, turun dari 434.900 tahun 1996 sehingga Korea Selatan terancam bencana demografis. Saat ini, tingkat kesuburan turun jadi 0,98 pada tahun 2018.Â
Persentase ini jauh di bawah 2,1% yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil. Pemerintah memperkirakan populasi Korsel yang saat ini di angka 55 juta, akan turun menjadi 39 juta pada tahun 2067.
Data tahun 2020, hanya ada 19.430 pernikahan yang terjadi antar warga Singapura, menurun 12,3% dari 22.165 pernikahan pada tahun sebelumnya. Ini merupakan angka terendah sejak tahun 1986, yakni 19.348 pernikahan.
Perkawinan langka membuat Singapura mengalami tingkat kelahiran rendah, tahun 2021 angka kelahiran hanya 1,12 bayi per wanita, jumlah ini sangat rendah jika dibandingkan dengan rata-rata global yang berkisar di angka 2,3.
Kondisi ini membuat pemerintah melakukan upaya menggenjot tingkat perkawinan dengan menawarkan insentif uang tunai "bonus bayi" untuk menambah semangat memiliki anak.
Di Rusia juga sedang terjadi krisis populasi sehingga Presiden Rusia Vladimir Putin menghidupkan kembali penghargaan "Mother Heroine" yang ditujukan bagi wanita yang memiliki lebih dari 10 anak.
Penghargaan itu diperkenalkan Joseph Stalin setelah Perang Dunia II karena waktu itu populasi Uni Soviet menurun drastis mencapai puluhan juta. Namun Mother Heroine dihentikan saat Uni Soviet runtuh tahun 1991.
"Sang ibu akan diberikan 1 juta Rubel (Rp 248 juta). Yakni saat anak ke-10nya berusia 1 tahun dan seluruh anaknya masih hidup". Hal ini dilakukan karena menurut Statistik Rosstat terbaru, populasi Rusia menyusut rata-rata 86 ribu orang per bulan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan resesi seks bisa saja terjadi di Indonesia. Namun, prosesnya masih panjang, dan tak akan terjadi dalam waktu dekat, karena masyarakat Indonesia masih 'doyan' menikah.Â
Kebanyakan orang Indonesia menikah memiliki tujuan pro-kreasi, atau keinginan memiliki anak.
"Potensi itu ada, ada ya, tapi sangat panjang, karena kan gini usia pernikahan semakin lama kan semakin meningkat. (Ini bicara ) pernikahan loh bukan seks," kata Hasto di Hotel Shangri La, Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Beberapa faktor potensial menyebabkan krisis seks di Indonesia memang sudah mulai muncul karena, "Usia pernikahan mundur sebab menempuh studi, karier dan sebagainya," dan di Indonesia sudah mulai muncul sikap menunda memiliki anak dan menikah bagi masyarakat kota besar.
Misalnya wanita, saat ini lebih mementingkan kesejahteraan dan kualitas hidup bersama pasangannya. Sementara pria yang memilih tidak memiliki anak, biasanya hanya mementingkan kebutuhan menyalurkan gairah seksual dalam hubungan pernikahan.
Jika hal ini terus terjadi bukan tidak mungkin resesi seks bisa terjadi di Indonesia, dan bisa saja terjadi minus growth atau zero growth.
PENYEBAB KRISIS SEKS
Kini kita tengah hidup di zaman perputaran hidup sangat dinamis, tingkat persaingan sangat tinggi sehingga dibutuhkan keunggulan komperatif dalam berkompetisi sesuai turbelensi mekanisme pasar.
Semua orang dituntut untuk kerja keras karena ada persaingan ketat, kesibukan dan jam kerja panjang ada kalanya membuat sebagian orang merasa tidak nyaman untuk membina sebuah keluarga, laki-laki maupun perempuan di usia produktif jadi enggan berhubungan seks. Lelah dan stres akibat aktivitas pekerjaan yang padat juga berakibat pada menurunnya gairah seksual.
Untuk menikah diperlukan biaya yang tinggi, demikian juga jika sudah memiliki anak butuh dana besar sehingga orang yang pendapatannya rendah, atau tidak bekerja, cenderung memilih tidak menikah. Sehingga makin banyak orang merasa nyaman hidup sendiri. Menurunnya daya tarik pernikahan menyebabkan lebih sedikit orang berhubungan seks.
Berdasarkan penelitian, umumnya orang enggan menikah dan berhubungan seks karena alasan terlalu sibuk dan degradasi makna perkawinan.
Terlalu sibuk merupakan salah satu faktor menimbulkan resesi seks. Rutinitas sangat padat karena kesibukan bekerja menyebabkan orang tidak memikirkan hubungan romantis dan memilih melajang, dan fokus pada karier.
Selain alasan sibuk, ada muncul pandangan minus terhadap perkawinan atau degradasi makna perkawinan. Ada kecenderungan muncul persepsi tidak percaya pada pernikahan, malah ada muncul pendapat mengatakan tidak perlu jatuh cinta, dan mengatakan bahwa mereka tidak pernah jatuh cinta.
Hal ini bisa terjadi karena pengalaman traumatis, atau melihat kehidupan rumah tangga tidak harmonis.
EGG FREEZING
Akibat adanya fenomena resesi seks, beberapa negara seperti AS, China, Jepang, Korea Selatan dan Singapura, mengizinkan wanita sehat untuk melakukan egg freezing atau pembekuan sel telur.
Seiring bertambahnya usia, kualitas dan jumlah sel telur seorang wanita akan berkurang, sehingga usia ideal untuk hamil yang disarankan adalah usia 20-35 tahun.
Wanita yang berusia di atas 35 tahun dikhawatirkan memiliki kualitas dan jumlah sel telur yang sudah menurun. Ini akan meningkatkan risiko sulit hamil dan kelahiran anak dengan cacat bawaan.
Untuk mencegah hal tersebut, beberapa negara akhirnya mengizinkan wanita sehat melakukan pembekuan sel telur. Sebelumnya, egg freezing hanya dilakukan untuk wanita dengan kondisi medis tertentu, seperti sedang menjalani kemoterapi.
Pembekuan sel telur ini bertujuan agar wanita yang belum menikah di usia dewasa, tetap dapat hamil dan memiliki anak. Pembekuan sel telur pun dapat mempertahankan kesuburan wanita.
Sel telur yang telah matang diambil dan dibekukan kemudian disimpan hingga jangka waktu tertentu. Sel telur ini nantinya dapat digunakan ketika wanita tersebut sudah siap untuk hamil dan memiliki anak.
MENCARI MAKNA HUBUNGAN SEKSUAL
Ditengah munculnya fenomena resesi seksual melanda beberapa belahan dunia saat ini, dibutuhkan permenungan dan dialog lebih intensif untuk memahami kembali apa sesungguhnya makna atau arti hubungan seksual bagi manusia saat ini.
Hubungan seksual atau lazim disebut dengan making love bukan semata-mata sarana melampiaskan nafsu bagi kedua belah pihak yang melakukannya. Dalam melakukan hubungan seksual bukan melulu sebagai penyatuan dua tubuh yang berbeda tetapi didalamnya terjadi proses ekspresi rasa kasih dan sayang sehingga "persetubuhan" itu dinamakan atas nama cinta.
Hubungan seks bisa meningkatkan ikatan emosional dengan pasangan, sarana relaksasi, memberikan kenyamanan fisik dan psikis, serta menurunkan stres.Â
Tetapi, tidak asal seks, harus ada "aturan" yang membuat aktivitas intim tersebut menyenangkan dan berfaedah dalam membangun ikatan emosi.
Umumnya para pakar mengatakan bahwa hubungan seksual bermanfaat untuk:
Terkoneksi dengan pasangan
Hubungan fisik yang dilakukan akan membangun kentiman yang kuat, membawa setiap pasangan semakin dekat satu sama lain dan menghubungkan setiap pasangan secara emosional satu sama lain. Hubungan seksual membuat percikan cinta hidup dalam hubungan.Â
Pernikahan tanpa seks menjadikan ikatan suami istri rentan jadi perceraian, oleh karena itu perlu menjaga cinta tetap menyala melalui hubungan seksual.
Melakukan seks secara teratur dapat menjauhkan pasangan dari stres. Stres seringkali menjadi pemicu pertengkaran dan beban dalam pernikahan. Tapi ketika kita memiliki rutinitas seks, maka akan ada hormon yang berkembang di otak untuk mengurangi tingkat stres.
Hubungan Seksual sebagai Sarana Komunikasi
Seks juga cara untuk berkomunikasi, yaitu untuk meyakinkan anda bahwa hubungan yang terjalin berlandaskan atas nama cinta dan hubungan seksual adalah cara mengekspresikan keinginan untuk bersama satu sama lain.Â
Dengan berhubungan seks, pasangan manusia berkomunikasi dengan cara yang sangat intim.
Pesan yang dapat kita petik dari narasi fenomena semakin munculnya trend resesi seks, apapun alasan yang melatarbelakanginya, tetap dibutuhkan kemauan untuk memaknai fungsi luhur hubungan seksual bagi umat manusi.Â
Hubungan seksual bukan hanya sarana untuk reproduksi atau melahirkan anak demi keberlangsungan garis keturunan atau untuk menjaga jumlah populasi umat manusia penghuni jagat raya.
Jika orientasinya hanya demi melahirkan anak melakukan seksual, memang itu sesuai dengan kodrat manusia, namun jangan sampai hubungan seksual itu tak ubahnya hanya sebagai sarana biologis.Â
Padahal dalam hubungan seksual sarat dengan kebutuhan psikologis dan sarana mengekspresikan rasa cinta berempati, yaitu kemampuan memproyeksikan diri seseorang ke dalam diri orang lain sehingga mampu memahami persis apa yang sedang dirasakan dan diinginkan pihak lain, dan kemudian mampu memberikan sesuatu sesuai dengan keinginan yang dibutuhkan.Â
Itulah ekspresi cinta sesungguhnya.
Hubungan seksual harus dilandasi oleh rasa cinta dan dilakukan atas nama cinta.
Merosotnya keinginan melakukan hubungan seksual harus dilihat dari sisi pendekatan atas nama cinta. Artinya, kemerosotan keinginan melakukan hubungan seksual juga harus dilihat sebagai pertanda semakin merosotnya kemampuan seseorang mengekpresikan cinta terhadap seseorang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H