Money Politics tak ubahnya "aroma busuk", tidak terlihat secara kasat mata tapi dapat dirasakan aromanya. Mencari akar masalah money politics sama seperti mengurai benang kusut, dan lingkaran setan yang sulit mencari ujung dan pangkalnya.
Politik transaksional berbentuk pemberian uang atau bentuk lainnya untuk mempengaruhi perilaku memilih, menjadikan pemilihan legislatif hanya panggung menguntungkan bagi orang yang memiliki uang. Pengurus dan kader partai yang tidak memiliki uang akan tersingkir dari arena, dan hanya penggembira di perhelatan pemilihan umum.
Massifnya praktik money politics jadi momok menakutkan bagi aktivis partai politik jadi calon anggota legislatif pemilu 2024.
Pemilu 2019 merupakan pengalaman buruk sebagai bukti maraknya money politics, salah satu indikator sesunggunnya pemilu saat ini tidak mengutamakan kualitas. Bahkan terjerumus dalam praktik pemilu prosedural liberal, berorientasi pasar dan transaksional.
Jelang pemungutan suara pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu berhasil menangkap tangan peserta pemilu dan tim pemenangan yang memberi uang kepada masyarakat untuk memengaruhi pilihannya sebanyak 25 kasus di 25 kabupaten/kota (16/4/2019).Â
Kasus ini tersebar di 13 provinsi, kasus tertingi di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Penemuan itu dilakukan dengan mengumpulkan bukti dan mengklarifikasi setiap pihak yang diduga terlibat dan menyaksikan. Barang bukti yang ditemukan beragam jenisnya, mulai dari uang, deterjen, hingga sembako.Â
Temuan uang paling banyak diperoleh di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah uang sebanyak Rp 190 juta.
Secara konstitusional sudah ada perangkat mengatur larangan money politics. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menegaskan pelaksana, peserta, dan atau tim kampanye Pemilu, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk:Â
a. Tidak menggunakan hak pilihnya
b. Memilih Pasangan Calon
c. Memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu
d. Memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
e. Memilih calon anggota DPD tertentuÂ
Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan tersebut diatur dalam pasal 523 ayat 2, yaitu setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung, dipidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta.
Pada pasal 523 ayat 3 diatur bahwa setiap orang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
Dalam praktiknya money politics tetap banyak terjadi di Pemilu 2019. Temuan Bawaslu itu hanya sebagian kecil dari praktik money politics yang terjadi, tapi tidak nampak dengan jelas ke permukaan, dan sudah jadi rahasia umum marak dilakukan di setiap perhelatan pemilihan umum khususnya pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah.
Praktik transaksional dengan cara money politics telah mencederai kualitas pemilu, dan menjadikan pemilu hanya mampu menghasilkan anggota legislatif pemilik modal, sehingga terjadi degradasi peran dan fungsi partai politik sebagai kawah chandradimuka menghasilkan kader militan dan idiologis sesuai dengan azas perjuangan partai.
Partai politik berkompetisi dalam pemilihan umum semestinya tidak hanya berorientasi kepada kemenangan kuantitas legislatif, tetapi harus mengutamakan kualitas legislatif sebagai motor penggerak mengaktualisasikan nilai-nilai atau azas perjuangan partai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Politik transaksional menjadikan anggota dewan yang terpilih didominasi oleh orang yang mengandalkan kemampuan kepemilikan uang, sehingga wajah dewan perwakilan rakyat, khusus DPRD Kabupaten-Kota diwarnai oleh sepak terjang para pemilik modal dan menyingkirkan kader-kader partai yang telah lama berjuang lewat kerja-kerja politik membesarkan partai.
Ironis memang nasib para penggiat partai politik yang tidak memiliki uang lumayan cukup di tengah maraknya politik transaksional.Â
Pileg Transaksional
Pemilihan calon anggota legislatif, khususnya pemilihan anggota legislatif tingkat II Kabupaten - Kota, merupakan ajang praktik politik transaksional paling brutal dan sangat keras kompetisinya.Â
Transaksi politik berbentuk money politics pemberian uang maupun pemberian barang sangat tinggi frekwensinya di pemilihan anggota legislatif Kabupaten-Kota, nilai uang yang disebarkan sangat fluaktatif dan tinggi nilainya karena bersaing ketat antar sesama calon.
Politik transaksional pemilihan calon legislatif Kabupaten-Kota marak terjadi karena banyaknya jumlah calon anggota partai politik yang berkompetisi di satu daerah pemilihan maupun di suatu desa. Persaingan terjadi tidak hanya dengan calon partai kompetitor tetapi bersaing ketat juga dengan sesama calon dari partai yang sama.
Seandainya dari sekian puluh partai politik peserta pemilu hanya 5 partai yang aktif dan 5 calon yang aktif dalam menggarap satu desa maka terjadi pertempuran ketat diantara 25 orang Caleg di satu desa untuk memperebutkan suara di wilayah yang begitu relatif sempit.
Seandainya semua partai dan semua caleg aktif bertempur di desa yang sama, jangan-jangan setengah penduduk dari setiap penduduk desa jadi tim sukses yang bertempur keras satu sama lain.
Persaingan sengit karena banyaknya jumlah caleg, ditambah dominasi caleg mengandalkan transaksi uang memperoleh suara pemilih menjadikan pemilihan umum sebagai arena sangat subur melakukan pemberian uang oleh calon anggota legislatif dalam pemilihan umum dewasa ini yang menganut sistem proporsional terbuka, dimana pemilih memilih langsung wakil legislatif.
Proporsional Terbuka Alternatif Meminimalisir Money Politics
Sistem Pemilu Proporsional Terbuka yang identik dengan sistem konstituen atau pemilih dalam pemilu memilih langsung memilih pigur calon anggota legislatif sangat rentan mempersubur maraknya praktik politik transaksional sebagaimana sering terjadi selama ini.
Perlu evaluasi sebagai upaya meningkatkan kualitas pemilu dan memperbaiki kualitas anggota legislatif. Perbaikan itu juga dibutuhkan sebagai langkah memperkuat peran dan fungsi partai politik dalam kehidupan berdemokrasi.
Partai politik lajim didefinisikan sebagai perkumpulan yang memiliki asas perjuangan yang sama. Tujuan partai politik merebut kedudukan politik yang dilakukan dengan cara konstitusional, dan kemudian mengaktualisasikan kebijakan-kebijakan publik sesuai dengan azas yang dimiliki partai politik itu sendiri.
Partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat, dan merupakan perangkat pemilu yang mempersiapkan kader dan mendistribusikannya sebagai pimpinan lembaga kenegaraan, baik sebagai eksekutif maupun legislatif.
Partai Politik sebagai pilar demokrasi perlu ditingkatkan peran dan fungsinya sebagai organisasi bertujuan memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara.
Hal ini dianggap semakin penting di tengah semakin melemahnya peran partai politik di tengah maraknya praktik politik transaksional yang menjadikan pigur dan uang sebagai faktor utama dalam pemilihan umum.
Salah satu langkah untuk meningkatkan kedudukan dan peran partai politik adalah merubah sistem pemilihan umum dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem pemilihan umum proporsioanl tertutup.
Dalam sistem pemilihan umum proporsional tertutup pemilih hanya memilih partai politik, sehingga partai politik memiliki penting dan strategis.
Dengan sistem proporsional tertutup, pemilih memilih partai politik, nomor urut calon ditentukan oleh partai politik, dan penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut yang sebelumnya ditetapkan partai, sehingga memungkinkan memberi peluang terpilih sebagai anggota legislatif bagi kader berkualitas dan militan sesuai dengan hasil kaderisasi internal partai politik walau tidak memilihi uang relatif banyak dalam konstestasi pemilihan umum.
Pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa wakil dari partai mereka, tetapi murni mempercayai partai menentukan pigur yang layak sebagai anggota legislatif.
Sistem ini akan mengurangi interaksi langsung politik transaksional antara seorang caleg dengan pemilih karena dalam pemilihan peran partai merupakan faktor utama mempengaruhi perilaku pemilih, dan merupakan salah satu cara untuk meminimalisir praktik money politics atau politik transaksional.
Ada anggapan bahwa sistem pemilu proporsional tertutup kurang demokratis karena rakyat tidak bisa memilih langsung wakilnya duduk di legislatif dan pilihan partai politik belum tentu pilihan pemilih.
Namun sistem ini mampu meningkatkan peran dan fungsi partai politik sebagai pilar utama demokrasi dan memperkecil peluang munculnya politisi pragmatis pemain money politics yang sesungguhnya bukan merupakan kader partai yang militan dan idiologis.
Money politics dan politik transaksional selama ini sesungguhnya telah meminggirkan peran partai politik sebagai alat perjuangan karena banyaknya orang yang hanya menjadikan partai politik sebagai kuda tunggangan, maupun menjadikan partai politik hanya sekedar sarana untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok.
Hilangnya loyalitas terhadap partai politik dan lahirnya partai politik yang tidak memiliki azas perjuangan yang jelas dan hanya menjadikan partai politik sebagai sarana mencapai kepentingan sempit, bahkan dijadikan sebagai alat jual beli atau transaksional.
Oleh karena itu dalam penerapan sistem pemilu proporsional tertutup sebagai alternatif jalan meretas atau meminimalisir praktik politik transaksional dibutuhkan partai-partai yang dikelola dengan baik, dan di manage dengan profesional sebagai partai modern yang tidak muncul hanya saat dekat perhelatan pemilu.Â
Partai yang dikelola dengan baik adalah partai yang memiliki idiologi atau azas perjuangan yang jelas serta memiliki program yang jelas berorientasi kepada kepentingan rakyat, selalu hadir ditengah-tengah masyarakat dan mampu mendengar detak jantung masyarakat untuk diartikulasikan sebagai amanat rakyat yang harus diperjuangkan dan direalisasikan.
Dengan demikian dalam pemilihan umum faktor utama sebagai pertimbangan dalam menentukan pilihan adalah latar belakang, image dan performance partai politik.
Oleh karena itu partai politik juga akan berupaya selalu dekat dan berada di tengah-tengah masyarakat, dan akan selalu berusaha menununjukkan keberadaannya yang mampu memperjuangkan dan memenuhi harapan masyarakat.
Sistem pemilu proporsional tertutup akan menjadikan partai politik sebagai institusi terdepan demokrasi dan akan mampu melakukan kaderisasi sebagai wahana mendistribusikan kader militan dan berkualitas sesuai azas perjuangan partai.Â
Partai juga akan memiliki kader yang loyal serta konsekuen memperjuangkan azas perjuangan yang berorientasi memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Dengan demikian uang bukan merupakan faktor utama menentukan seseorang terpilih sebagai anggota legislatif maupun eksekutif tetapi karena memang seseorang merupakan kader terbaik dan berprestasi dari partai politik tersebut.
Untuk mewujudkan itu semua sudah barang tentu hal pertama yang paling penting dilakukan adalah memperbaiki partai politi terlebih dahulu untuk kemudian mampu memperbaiki kualitas kadernya sehingga selanjutnya mampu berkontribusi untuk meningkatkan perbaikan kualitas berdemokrasi dan kehidupan berbangsa dan bernegara.Â
Partai Politik memang harus menjadi pusat politik terkuat tanpa mengabaikan arti pentingnya pengelolaan partai yang baik.
Partai politik sebagai pilar utama sistem demokrasi, maka kualitas demokrasi juga ditentukan oleh eksistensi partai politik, oleh karena itu penting untuk segara menata ulang kelembagaan partai politik dengan cara memperkuat derajat kelembagaannya, baik platform partai yang tertuang dalam konstitusi partai, dan kelembagaan partai politik yang bebas korupsi menggunakan pendekatan model meritokrasi sistem mewujudkan partai politik bebas korupsi yang merujuk pada pola high involvement management.
Meminjam istilah manjemen perusahaan, high involvement management merupakan pendekatan manajemen yang mendorong partisipasi semua pihak dalam pengambilan keputusan, pelatihan, insentif, dan berbagi informasi sebagai sarana untuk mengukuhkan loyalitas kepada sebuah organisasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H