Mohon tunggu...
Daud Farma
Daud Farma Mohon Tunggu... Penulis - Pribadi

Pemenang Pertama Anugerah Sastra VOI RRI 2019 Khusus Siaran Luar Negeri

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Resensi Novel Mamuzain: Kungkungan Rindu, Kasih Tak Sampai

27 Maret 2022   21:47 Diperbarui: 27 Maret 2022   21:53 1404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mamu Zein: kungkungan rindu, kasih tak sampai. (Resensi novel Mamu Zein)
Diresensi oleh: Daud Farma
Judul: Mamu Zein
Penulis: Syekh Dr. Moh. Romadhan al-Buthi.
Penerjemah: Tim Penerjemah Alsyami
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (GPU).
Tebal: 160 halaman (sudah termasuk prolog dan epilog).

"Mamu dan Zein bertemu pada pesta tahunan musim semi, di pinggiran sungai Dajlah. Saat itu Mamu berdandan seperti perempuan dan Zein berdandan seperti laki-laki.  Mereka melalukan penyamaran karena masyarakat Jazirah Buton membatasi dengan ketat pergaulan antara perempuan dan laki-laki. Sementara Mamu dan Zein ingin mencari pasangan yang bisa membuat hati mereka terpikat dan jatuh cinta. Bukan pasangan yang dijodohkan.

Dalam pertemuan nan singkat itu, Mamu jatuh pingsan. Aneh. Sosok laki-laki yang berjalan di depannya begitu memesona dan menggetarkan rasa cinta yang agung. Mamu tidak akan pernah tahu siapa laki-laki itu jika saja dia tidak melihat cincin yang melingkar di jarinya dan baru dia sadari beberapa hari kemudian! Cincin itulah yang mengantarkan Mamu pada Zein dan membuat cinta di dada mereka kian menggelora.

Masalahnya, Zein ternyata adik kandung pangeran yang menguasai Buton, sedangkan Mamu hanya juru tulis biasa. Mamu dan Zein tidak sekelas, sekalipun cinta mereka tulus.
"Kemarilah wahai para sahabat. Tidak ada yang bisa melipur lara hatiku selain kalian. Kemarilah. Diam di sini, bersamaku. Betapa aku sangat membutuhkan kalian di hari-hariku yang kelam. Betapa aku sangat merindukan kalian menghibur malam-malamku yang pekat."
Mamu dan Zein harus dipisahkan. Bagaimanapun caranya." Begitu yang tertulis di sampul bagian belakang buku ini.

Duhai, Kawan! Siapa yang tidak penasaran dan ingin membaca seluruh isi buku ini setelah membaca sinopsisnya? Kamu akan segera mengambil buku ini dari rak Gramedia di daerahmu kemudian membawanya ke kasir. Beda denganku. Aku malah mendengar nama Mamu dan Zein justru dari tutur kata Kang Abik di salah satu kanal Youtube dalam sebuah seminar bedah buku beliau. Aku menonton video tersebut di tahun 2016. Seketika aku penasaran lantaran yang menuliskan kisahnya adalah seorang ulama populer. Syekh Dr. Moh. Said Romadhan al-Buthi.

Sakingkan inginnya membaca buku ini, aku datang ke Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Kairo (PMIK), namun tak kunjung aku temukan buku ini. Ingin membeli bukunya dari Indonesia, tapi selalu saja tidak ada stok dan terhitung buku ini sudah lama tidak diterbitkan ulang oleh penerbitnya. Dan kini di tahun 2020 akhirnya aku bisa membaca buku ini lantaran aku melakukan order dari Gerai Buku Kairo, seharga 157 Pounds Mesir, sudah termasuk ongkir. Langsung saja aku baca sorenya hingga dalam waktu sembilan jam buku ini pun selesai aku baca. Terhitung memang tipis.

"Buku ini merupakan karya pertama Dr. Moh. Said Romadhan al-Buthi di bidang penulisan. Pada saat menulis kisah ini usia beliau belum genap 14 tahun. Usia yang sangat belia untuk bisa menelurkan sebuah karya sastra.

Sejatinya buku yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1958 ini berupa antologi puisi penyair Kurdi terkemuka Ahmad al-Khouni yang wafat tahun 1953. Beliau adalah salah seorang ulama besar Kurdi yang ahli di bidang fikih, filsafat, tasawuf, dan sastra. Dr. Buthi lalu menggubah antologi puisi itu ke dalam cerita dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab." (Pengantar Penerjemah).

"Kisah ini terjadi sekitar tahun 1393 M di Jazirah Buton. Terletak di tepian Sungai Dajlah yang meliuk-liuk panjang antara dataran tinggi dan perbukitan hijau, jazirah ini sekarang dikenal dengan sebutan Ibnu Umar, di Irak Utara.

Nama jazirah ini lebih terkenal dibanding daerah-daerah Kurdistan lainnya. Alamnya indah, tersusun dari taman-taman alami penuh pesona, serta kilau Sungai Dajlah yang memantul di sebagian besar penjurunya. Keindahan itu masih ditambah gunung-gemunung yang menjulang tinggi ke langit, kukuh dan menakjubkan dengan pesonanya yang hijau. Gunung-gunung yang tersebar di sekitar jazirah itu tak ubahnya rahasia keabadian dan tanda-tanda kebesaran tempat itu.

Kisah ini bermula dari istana pangeran jazirah itu, Zainudin." Hal. 4.

"Dua gadis bersaudara itu adalah adik kandung Pangeran Zainudin. Yang sulung berusia hampir 20 tahun. Namanya Siti. Warna kulitnya berada di antara putih bening dan kuning langsat. Seluruh perawakannya dibalut keanggunan. Setiap lekuknya begitu indah, mengungguli apa pun yang memiliki daya tarik dan melampaui segala yang memikat.
Sedangkan yang bungsu bernama Zein. Tuhan menciptakan Zein lebih cantik dan lebih anggun dari berbagai sisi dibanding kakaknya. Tubuh Zein indah, langsing berisi.

 Kulitnya yang halus putih bercahaya dan kemerah-merahan manakala diterpa panas matahari atau cuaca dingin. Sepasang matanya lebar, dengan bola mata hitam, seperti sengaja diciptakan Allah agar menjadi bingkai yang mencolok bagi wajahnya nan putih. Sesekali beberapa helai rambut jatuh terurai di wajahnya bagai senja yang ingin mempertemukan siang dengan malam hari.
Bibir Zein merah delima. Pipi putih bersih, bersemburat rona merah dadu. Setiap orang yang menatapnya pasti terbuai dan terhanyut, terengah-engah terbawa arus daya pikatnya yang melumpuhkan." Hal. 6.

Karena kecantikan mereka begitu terkenal ke seluruh Jazirah. Siti dan Zein dilarang kakaknya Pangeran Zainudin keluar dari Istana. Tidak seorang pun yang bukan mahram boleh melihat wajah keduanya. Jangankan melihat wajah mereka, melintas depan kamarnya saja tidak diperkenankan. Hingga pesta musim semi tahunan pun tiba. Mereka sadar mereka cantik jelita dan ingin mendapatkan lelaki yang tampan rupawan dan sepadan dengan kecantikan yang mereka miliki. Mereka ingin mencari kriteria lelaki yang mereka inginkan di pesta musim semi. Hingga Siti dan Zein pun melakukan penyamaran menjadi laki-laki dan bergabung dengan barisan laki-laki.

Sebaliknya Tajudin dan sahabatnya Mamu, dua pemuda tampan yang juga menyamar jadi perempuan. Delapan mata itu saling bertemu ketika Siti dan Zein hendak balik ke istana sebab kakaknya Pangeran Zainudin akan segera pulang dari berburu. Herannya, Tajudin dan Mamu jatuh pingsan melihat ketampanan dua laki-laki yang belum pernah mereka lihat. Siti dan Zein iba melihat mereka pingsan, dan penasaran siapa dua perempuan yang terkulai itu. Akhirnya karena rasa iba, mereka menukarkan cincin mereka dengan cincin dua perempuan yang jatuh ke tanah dan tak sadarkan diri.

Tajudin dan Mamu jatuh sakit.  Siti dan Zein masih penasaran dengan dua perempuan yang tak sadarkan itu. Hingga mereka mengutus pembantu istana seorang nenek tua untuk menemukan perempuan yang sebenarnya adalah laki-laki. Nenek tua pun menyamar jadi tabib keliling demi memenuhi rasa penasaran dua putri cantik di istana.

Awalnya kisah ini adalah mulus-mulus saja. Namun, yang membuat kisah ini dengan sad ending adalah sosok Bakar, pemilik hati keji dan tukang fitnah.
Karena fitnah Bakar itulah yang membuat kisah cinta antara Mamu dan Zein ini menyedihkan, dikungkung rindu dan kasih yang tak sampai. Bahkan sebenarnya pangeran Zainuddin pun telah setuju dari jauh hari. Akan tetapi,

"Demi Tuhan, aku memang berencana mengawinkan Zein dengan Mamu. Aku mau mengadakan pesta untuk keduanya dalam waktu dekat. Tapi, hari ini, aku bersumpah, demi keagungan leluhurku di dunia ini, tak akan kubiarkan itu terjadi walau jalan yang akan kuhadapi penuh genangan darah. Jika ada yang menjadi perantara bagi keduanya, siapa pun, berarti ia sudah bosan hidup. Karena ia akan berhadapan denganku!" Hal. 64.

  Begitu ucapan Pangeran Zainudin setelah mendengar fitnah yang diutarakan oleh Bakar. Meletup!
Hingga Zein pun semakin ketat penjagaannya. Semakin tidak boleh keluar istana. Namun suatu hari takdir mempertemukan Mamu dan Zain di taman istana, mengobati kerinduan yang berkecamuk di antara keduanya yang telah lama dikungkung kekuasaan Pangeran Zainudin.  Bahkan Mamu jatuh pingsan kedua kalinya oleh kecantikan Zein yang ia lihat di taman istana. Setelah ia sadar ia tidak percaya sama sekali yang sedang memangku dirinya adalah Zein.

"Ya. Aku Zein, kekasihku. Aku nyata. Sekarang kita berdua berada di taman halaman istana. Sadarlah."  Hal. 91.

Setelah pertemuan itu hanyalah kesedihan yang menimpa keduanya. Kawan, usahlah aku teruskan semuanya, biarlah kamu baca sendiri saja. Karena ini hanyalah resensi, bukan menceritakan ulang keseluruhan isi.

Setting Tempat: Aku akui, Syekh Buthi amat piawai mendeskripsikan tempat dalam kisah ini. Cara beliau bercerita tentang keindahan istana Jazirah Buton, hingga aku bisa membayangkan sebuah istana yang megah dan indah. Aku ikut larut dalam tempat yang beliau uraikan.

Tema: Tentang sepasang kekasih yang dikungkung rindu, kisah yang tak sampai. Andaikan saja fitnah dari Bakar itu tidak sampai pada telinga Pangeran Zainudin, maka kisah cinta antara Mamu dan Zein tidaklah sesakral ini! Karena bakal happy ending. Memang sih kisah happy ending juga tetap booming sepanjang masa, namun tak semayshur sad ending yang akan terus terdengar dari mulut ke mulut. Terlebih ini adalah kisah nyata.

Aku telah membaca Laila Majnun. Bedanya Mamu Zain sempat bertemu dengan kekasihnya sebelum akhirnya ia meninggal. Mamu meninggal dalam pelukan Zein dan Zein pun meninggal di atas pasura Mamu. Wih, maaf membocorkan akhir cerita. Kendatipun aku telah membocorkan semua isi cerita ini, tetap tak lebih hebat ketika membaca bukunya.

Sudut Pandang: Di dalam novel ini, penulis: Syekh Dr. Moh. Said Romadhan al-Buthi, beliau adalah orang ketiga. Jadi beliau bebas menceritakan ciri-ciri berbagai karakter tokoh dalam cerita ini. Terlebih aku terkesima dengan pengungkapan beliau, cara beliau menggambarkan kecantikan Siti dan Zein, hingga laki-laki yang bernama Mamu sempat pingsan dua kali oleh kecantikan Zein. Bahkan juga Mamu sadar dari pingsannya karena hanya mendengar suara Zein.

Alur: Secara keseluruhan, alur yang dipakai dalam kisah ini adalah alur maju. Syekh. Dr. Ramadhan Buthi menceritakan sebuah istana yang dihuni tiga bersaudara kandung: Pangeran Zainudin, Siti dan Zein. Kemudian pertemuan di pesta musim semi, pertemuan di taman halaman istana, istana Tajudin dibakar oleh Tajudin sendiri demi menyelamatkan sahabatnya Mamu. Kemudian Mamu dipenjara, Tajudin mengajak perang kakak iparnya sendiri hingga kematian Mamu dan Zein, semuanya alur maju.

Penokohan Tokoh Utama: Jika tokoh utama dalam sebuah cerita itu lantaran seringnya nama tokoh utama disebutkan penulis, maka tokoh utama dalam cerita ini adalah Mamu dan Zein. Karena nama mereka dua-duanya adalah sama-sama sering disebutkan. Namun, jika tokoh utama itu dinilai yang paling berperan dan berkuasa atas cerita ini, maka dia adalah Pangeran Zainudin.

Cela?: Novel ini nyaris sempurna! Hampir tidak ada satu typo pun kutemukan dalam buku terjemahan ini. Mungkin karena yang ada di tanganku ini adalah sudah direvisi berkali-kali sehingga tidak ada kutemukan kesalahan opini, typo dan sebagainya. Apa aku kurang teliti ya? Oh semoga saja tidak.

Novel ini nyaris sempurna. Ini novel bergizi! Tidak mengherankan jika novel ini mendunia, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan booming hingga saat ini. Namun berhasil aku temukan typo dalam buku ini: Kalau merujuk ke KBBI V versi luring, maka kata 'basa' adalah bentuk tidak baku dari kata 'bahasa'. Kalimat tersebut lebih tiga kali disebutkan dalam buku terjemahan ini. Ini bukan kesalahan penulis tentunya, tetapi kekhilafan jemari penerjemah. Atau berubahnya setiap waktu KBBI kita.

Kawan, sudahkah kamu tertarik ingin menukarkan lembaran rupiah/Pounds milikmu dengan buku Mamu Zein? Oh andai saja kalian di dekatku, maka tak perlu membeli buku ini, cukup pinjam saja dariku. Aku baik bukan? Hehe. Tapi ingat, jangan pernah rusak, hati-hati saat membaca, jangan dilipat. Jangan dicoret. Harusnya sih kalau minjam mesti esktra hati-hati dan menjaga dari kata 'kecewa' pemiliknya saat bukunya dikembalikan.

Meskipun kata sebagian orang: hanya orang bodoh lah yang mau meminjamkan bukunya pada orang lain. Kenapa? Karena buku yang dipinjamkan: bisa hilang, rusak, tidak dikembalikan kalau tidak diminta dan minimal lembarannya kusam dan kotor. Namun manfaat memberi pinjam lebih banyak dibanding semua itu. Apalagi sampai menghadiahkannya. Aku pribadi lebih senang meminjamkan buku pada perempuan dibanding laki-laki. Kenapa? Karena perempuan adalah makhluk yang yang indah. Mereka menjaga keindahan termasuk halaman demi halaman buku yang mereka baca.

Semoga, dengan adanya tulisanku ini dapat membantumu untuk meningkatkan gairah atau hasrat untuk membaca buku novel Mamu Zein. Bukan hanya buku itu saja, tetapi semua buku, membaca buku sebanyak-banyaknya! Mungkin bisa diawali dengan membaca buku ini. Ada nuansa tasawufnya juga, loh.

Selamat menelusuri kisah rindu yang dikungkung dan kasih yang tak sampai, Mamu dan Zein. Dan seperti biasa: semoga bermanfaat! Semoga penulis dan penerjemah buku ini dapat pahala jariah. Allahumma Aamiin. Meskipun Mamu dan Zein tidak sampai di dunia, semoga di akhirat keduanya bersua. Bukankah kamu bersama orang yang kamu cintai?

"Bagi setiap jiwa yang ditakdirkan mereguk pahitnya cinta dan tak pernah mencecap nikmat anggurnya. Yang terpanggang bara api cinta dan tak pernah memetik ranum buahnya. Bagi mereka kupersembahkan kisah ini. Semoga dapat menjadi embun penyejuk dan pelipur lara." -Syekh Dr. Moh. Said Romadhan al-Buthi.

Aku telah membaca berbagai kisah asmara antara dua insan. Qais dan Laila, dengan buku berjudul: Laila Majnun karya dari Nizami.  Zainudin dan Hayati. Judul: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, karya Buya Hamka. Florentino Ariza dan Fermina Daza. Judul buku: Cinta di tengah Wabah Cholera, karya Gabriel Marquez.  Sabari dan Lena. Judul buku: Ayah, karya dari Andrea Hirata. Dan kini sembilan jam bersamaku: Mamu dan Zein, dari buku yang berjudul: Mamu-Zein, karya dari: Syekh Dr. Moh. Said Romadhah al-Buthi.

Semuanya telah memberiku banyak amunisi sudut pandang dari cerita yang dituliskan. Lumayan cukup memupuk relung dan ruang imajinasi, mamahat hati, mewarnai lisan, menghiasi rohani, menambah semangat baca dan berkarya lewat sastra.

-SELAMAT MEMBACA KISAH MAMU ZEIN-

Kairo, 19 Januari 2020.

*12 jam lamanya membaca sekaligus meresensi buku yang tergolong tipis ini.

 
*Foto beliau saya ambil dari Google. Adapaun foto buku adalah keduanya buku saya yang saya beli versi bahasa  arab dan indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun