Â
                ÂManusia tidak mungkin hidup tanpa alam. Keduanya merupakan satu kesatuan esensial yang tidak terpisahkan. Dalam semua fenomen tentang diri manusia, ada satu inti yang mustahil dan tidak dapat disangkal yakni "aku-ada" bersama alam. Aku merupakan kenyataan yang utuh tanpa keterpecahan, sehingga aku membedakan diriku  dari segala sesuatu yang bukan aku. Â
Dengan menyaksikan apa yang ada di luar dirinya, menghantar manusia pada suatu titik kesadaran bahwa yang ada di luar dirinya yakni dunia adalah suatu keterberian dari seorang Pencipta yang tidak diciptakan. Dalam batas tertentu, dunia atau alam semesta merupakan modus atau modi (cara) dari eksistensi Allah.Â
Konsep ini mempengaruhi pemikiran Baruch Spinoza sehingga dalam filsafat identitasnya ia menyimpulkan bahwa Allah sama dengan alam dan alam sama dengan manusia (bdk. F.M. Magniz-Suseno, 13 Tokoh Etika [Yogyakarta: Kanisius, 1998], p. 99). Bagi Spinoza, Allah yang merupakan substansi selalu ada melalui atau dengan cara (modus atau modi) segala yang ada dalam alam semesta.
Totalitas Universum
Totalitas universum mengandung alam dunia dan segala isinya (kosmos), manusia dan Theos. Tiga unsur (triade) penting ini merupakan suatu rangkaian keterhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Walaupun demikian pandangan manusia terhadap ketiganya selalu berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan proses perkembangan pemikiran (paradigma) manusia. Manusia selalu mau mencari siapa yang menjadi titik fokus dalam triade tersebut. Hal ini terlihat dengan jelas dalam perkembangan sejarah pemikiran filsafat dari zaman ke zaman.
Pada zaman pra-modern, manusia dilihat sebagai kosmos yang sakral. Karena kesakralannya maka manusia menghormati elemen-elemen natural. Dengan demikian secara tidak langsung manusia menghormati Allah yang mewahyukan diri dalam kosmos. Itulah sebabnya mereka mengakui bahwa Allah hadir di mana-mana (emanasi). Laibniz meyakini bahwa Allah sama dengan alam (natura-naturata dan natura-naturans).
Pada abad pertengahan, manusia melihat dirinya sebagai citra Allah dan diberi kuasa untuk menguasai alam, tetapi hanya demi kemuliaan Allah. Selanjutnya dalam pandangan modern, manusia bukan lagi dilihat sebagai citra Allah dan sebagai elemen kosmik, melainkan bergerak dari theos kepada logos.Â
Manusia telah menjadikan dirinya sebagai titik fokus. Hal ini secara jelas ditandai dengan suatu penegasan dari Rene Descartes dengan pahamnya yang tekenal yakni cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Pemahaman seperti ini turut mempengaruhi tindakan manusia terhadap alam. Alam dijadikan sebagai obyek yang harus dimanfaatkan, dieksploitasi agar manusia boleh menikmati kebahagiaan.
Dalam pandangan post-modern, ada semacam pembauran. Orientasi akhir dari paradigma ini adalah keselarasan dan kesatuan manusia dengan alam dan yang Ilahi. Namun pada titik tertentu boleh dikatakan bahwa ada hubungan antara manusia dengan alam, tetapi sulit ditentukan kerangka acuan yang sebenarnya.Â
Manusia telah memandang alam sebagai sahabatnya, namun hal ini tidak terbukti lewat tindakannya. Bahkan pada zaman ini manusia semakin gencar mengeksploitasi alam. Di satu pihak manusia mengakui alam sebagai sahabatnya, tetapi di lain pihak ia tak henti-hetinya menghancurkan alam.