Desentralisasi yang baru membutuhkan administrator tambahan dengan keahlian di bidang manajemen seperti perencanaan, keuangan, dan pengawasan kurikulum (Kulasena, 1989; Perera, 1989).
Pada tahun 1987, dewan provinsi dan pemerintahan provinsi membentuk otonomi lebih kepada provinsi dalam mengurus pendidikan. Dibentuklah Direktur Pendidikan Provinsi dan Sekretaris Pendidikan Provinsi.Â
Direktur Provinsi diberi tanggung jawab untuk merencanakan, melaksanakan, mengelola, dan mengarahkan program pendidikan di provinsi.Â
Kementerian nasional mengatur sebagian besar urusan di sekolah-sekolah negeri, termasuk pembangunan dan pemeliharaan gedung pendidikan, perpustakaan, taman bermain, furnitur, alat peraga, dan materi audio-visual; di sekolah lain, fungsi yang sama ditangani oleh kementerian provinsi.Â
Sejumlah Kantor Divisi Pendidikan dikelompokkan bersama dan membentuk "zona". Direktur Zona bertanggung jawab atas pelaksanaan program peningkatan kualitas.
Langkah ini menimbulkan beberapa kesulitan bagi penyelenggara pendidikan. Direktur Wilayah berada di bawah kendali ganda oleh kementerian pendidikan provinsi dan departemen pendidikan provinsi.Â
Kegagalan untuk secara jelas mendefinisikan peran dari administrator kunci, seperti sekretaris provinsi dan direktur provinsi (National Education Commission Reprots, 1992), juga banyak hal lainnya.Â
Silva, et. al. (1993) mencatat bahwa kementerian provinsi dan departemen provinsi secara bersamaan memulai pemindahan beberapa guru yang sama.Â
Perebutan kekuasaan antara kementerian pusat dan kementerian provinsi juga terjadi. Beberapa kementerian provinsi mengeluh bahwa kementerian nasional mencampuri pekerjaan mereka." (Pereraand Palihakkara, 1997, hlm. 270).
Penyebap Gagalnya Desentralisasi
Meskipun pemerintah Sri Lanka mengambil beberapa langkah penting menuju desentralisasi administrasi pendidikan untuk meningkatkan efisiensi operasional, tetapi pengaruhnya sangat kecil.Â