Dinamika Reformasi Kurikulum Sri Langka
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa ada pusat pembelajaran besar yang terkait dengan biara Buddha dari abad ke-3 SM. Pendidikan terutama diberikan di sekolah desa atau kuil. Para guru menentukan kurikulum berdasarkan kebutuhan masyarakat.Â
Dukungan eksternal untuk pendidikan hanya datang melalui perlindungan kerajaan. Namun sistem ini berubah ketika Sri Langka dijajah oleh Portugis dan Belanda. Kebijakan pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan politik, ekonomi, dan sosial para penguasa kolonial.Â
Tren sentralisasi dalam administrasi dimulai selama periode Belanda. Komisi Pendidikan menetapkan bahwa sekolah harus diatur secara terpusat, dengan guru dan murid secara ketat mengikuti kurikulum yang ditentukan oleh otoritas pusat. Ketika Inggris mengambil alih dari Belanda, mereka awalnya ragu-ragu untuk terlibat dalam urusan pendidikan, karena perhatian utama mereka adalah ekonomi. Namun mereka lebih berperan aktif dalam urusan pendidikan setelah melihat keuntungan dari pengelolaan sekolah.Â
Di bawah Inggris, administrasi pendidikan menjadi sangat tersentralisasi, dengan penguasa kolonial membuat semua keputusan tentang sekolah. Legislasi yang diadopsi pada tahun 1906 dan 1907 membuat warga lokal enggan berpartisipasi dalam pemerintahan; pemerintah daerah dilarang berpartisipasi aktif dalam urusan pendidikan.
Ketika volume pekerjaan meningkat dan masalah yang dihadapi para pejabat pendidikan menjadi lebih kompleks, mesin administrasi yang ada terbukti tidak memadai.Â
Pada akhir 1950-an, beberapa upaya dilakukan untuk merumuskan struktur administrasi desentralisasi yang cocok untuk masyarakat pada masa itu, tetapi upaya ini tidak terlalu berhasil. Rekomendasi signifikan pertama untuk desentralisasi terjadi pada bulan April 1961.Â
Pada tahun 1972 reformasi kurikulum yang memanfaatkan keahlian lokal diberlakukan. Mata pelajaran seperti warisan budaya dan studi pra-kejuruan diperkenalkan untuk mendorong sekolah menjadi sangat berhubungan erat dengan komunitas lokal.Â
Meskipun perubahan ini merupakan bentuk reformasi kurikuler, namun akhirnya tidak bisa berlanjut karena kendala sumber daya, kendala lingkungan, dan opini publik (Diyasena, 1976; Jayaweera, 1988). Masyarakat memandang bahwa kursus pra-kejuruan malah memperkuat kesenjangan sosial ekonomi yang ada.
Reformasi kembali dilakukan pada tahun 1981. Saat itu, departemen pendidikan regional dan kantor distrik ditata ulang dan direstrukturisasi untuk mengurangi "kelebihan sistem" di tingkat regional.Â
Diusulkan agar sistem sirkuit yang ada diganti dengan sistem cluster. Sekelompok sekolah dengan wilayah geografis yang ditentukan akan dikelompokkan ke dalam "cluster" untuk tujuan organisasi, manajemen, dan pengembangan yang lebih baik.Â