Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Pers dalam Gelombang Revolusi Industri 4.0

19 April 2022   19:14 Diperbarui: 3 September 2022   07:00 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pers dalam pengertian sempit, dipahami sebagai produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak. 

Namun dalam pengertian yang luas luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka kemudian dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers.

Dalam sejarah perkembangannya, pers di Indonesia mengalami gelombang naik-turun. Sebelum kemerdekaan, pers di Indonesia berada di titik terbawah. 

Kemerdekaan Indonesia yang diraih pada 17 Agustus 1945 membawa fajar baru bagi pers di Indonesia. 

Informasi proklamasi Indonesia dapat diketahui di berbagai daerah karena jasa pers Indonesia yang telah menyebarluaskan berita tersebut.

Hubungan antara pemerintah Indonesia terjalin baik. Pemerintah sudah memberi bantuan berupa dana terhadap pers, sementara itu pers sendiri aktif menyuarakan langkah-langkah kebijakan pemerintah untuk membentuk suatu lembaga maupun pengaturan baru sebagai perlengkapan bagi suatu negara. 

Namun, saat pers mulai menyerang pemerintah dengan kritikan-kritikan pedas sesuai dengan fungsinya, pers harus menjadi kepentingan publik (public watc dog). Namun kritikan pedas pers telah menjadi beban yang menjengkelkan bagi pemerintah. 

Maka pemerintah menyerang balik pers, sehingga konflik keduanya menjadi persoalan permanen dan pers dipaksa harus tunduk di bawah kekuasaan pemerintah. Pemerintah untuk pertama kali mengeluarkan undang-undang yang membatasi kemerdekaan pers pada tahun 1984.

Seiring berjalannya waktu, pada tanggal 5 Juni 1998, kabinet reformasi di bawah presiden B.J. Habibie meninjau kembali peraturan yang sudah berlaku dan mencabut permenpen No.01/1984 tentang SIUPP melalui permenpen No.01/1998, kemudian mereformulasi UU pers yang lama dengan UU pers yang baru dengan UU No.40 tahun 1999 tentang kemerdekaan pers serta kebebasan wartawan dalam memilih organisasi pers. 

Definisi tentang pers pun akhirnya harus mengalami perubahan. Menurut UU No. 40 tahun 1999 pers merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. 

Di dalam undang-undang pers tersebut, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. 

Pertanyaannya, apa yang menjadi tantangan pers saat ini? 

Tantangan pers saat ini bukan lagi karena belenggu kebebasan berpendapat, tidak lagi ancaman rezim pemerintah, tetapi pers saat ini ditantang dengan datangnya era varian karya pemberitaan dalam wujud yang baru; wujud digital. 

Kita saat ini sedang berada dalam arus revolusi industri 4.0, yang akhir-akhir ini hangat didiskusikan.

Gilchrist (2016) dalam bukunya yang berjudul Industri 4.0 mengatakan revolusi industri 4.0 merujuk pada revolusi industri keempat di mana tiga revolusi sebelumnya terjadi pada aspek mekanisasi, listrik dan teknologi informasi. 

Gilchrist menjabarkan revolusi industri keempat muncul dengan hal-hal yang berkaitan dengan internet dan layanan internet yang terintegrasi dengan produksi teknologi. 

Schawab (2016) dalam buku The Fourth Industrial Revolution karya Klaus Schawab mendeskripsikan bahwa pada revolusi industri keempat terdapat revolusi digital, yaitu sebuah perkembangan kecanggihan teknologi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi digital yang ada pada masa revolusi industri ketiga. 

Revolusi industri keempat ditandai dengan koneksi internet yang meluas keberadaannya, smartphone yang digunakan hampir seluruh penduduk dunia, teknologi sensor yang berukuran kecil namun memiliki kecanggihan yang tinggi, kecerdasan buatan yang diterapkan pada robot. 

Gilchrist (2016) menyebutkan 4 karakteristik utama dari revolusi industri keempat, yaitu: integrasi vertikal dari sistem smart production, integrasi horizontal melalui rantai koneksi nilai-nilai global, penggunaan mesin dalam keseluruhan rantai produksi, dan percepatan proses industri.

Revolusi industri keempat tidak hanya terjadi pada sistem mesin saja. Revolusi ini mempunyai ruang lingkup perubahan yang jauh lebih luas. 

Membahas revolusi industri keempat berarti membahas terobosan pada berbagai bidang ilmu pengetahuan.

 Adopsi atau penyebaran teknologi baru yang terjadi pada masa revolusi industri juga dianggap sangat cepat dibandingkan dengan revolusi-revolusi sebelumnya.

Teknologi baru yang diciptakan di satu negara bisa disebarkan dan dinikmati di negara-negara lain dengan cepat dan lebih luas karena alat komunikasi pada saat ini pun semakin canggih, aman, cepat dan tentu saja penggunaannya tidak sulit. 

Maka dari itu, di tengah arus revolusi industri 4.0 ini, pers atau jurnalistik memiliki tantangan tersendiri. Pers harus bisa bersaing dengan varian tawaran digital lainnya yang mudah diakses dengan cepat.

Senjata yang harus selalu dipegang teguh oleh pers adalah tetap komitmen untuk menyerukan kebenaran. Hal ini menjadi modal utama pers, di tengah menjamurnya media komunikasi lain yang belum tentu menyuarakan kebenaran. 

Di sinilah merupakan letak dari kekuatan pers, yakni bertindak sebagai mata dan telinga publik, kemudian melaporkan peristiwa-peristiwa yang ada di luar pengetahuan masyarakat secara netral, serta tanpa prasangka dan rekayasa. Kewajiban pertama pers adalah menyuarakan kebenaran. 

Tanpa itu, pers akan kehilangan hakikatnya. Di tengah maraknya berita-berita bohong (hoax), pers ditantang untuk hadir membawa berita kebenaran yang bebas dari tunggangan pihak manapun demi kepentingan apapun. 

Semoga pers tidak terhanyut dalam gelombang hoax, dan tetap eksis menyuarakan kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun