Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Malaysia Sudah Memberi Klarifikasi Soal Reog Ponorogo, Bagaimana Tugas Kita Selanjutnya?

18 April 2022   17:41 Diperbarui: 3 September 2022   06:58 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Budaya dan Pembangunan

Masalah serius yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah "mutilasi budaya". Beberapa waktu lalu ada isu yang mencuat bahwa beberapa budaya Indonesia terus dimutilasi dan digunakan dalam iklan pariwista. 

Salah satu di antaranya yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini adalah tentang Reog Ponorogo yang diisukan akan diklaim oleh Malaysia. Hal ini mencuat setelah adanya pernyataan dari Muhadjir Effendi sebagai Menteri Kordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI. 

Persoalan ini merupakan modus baru yang mengancam eksistensi budaya bangsa kita yang menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Namun sebagaimana dilansir dari Kompas TV hari ini (Senin, 18 April 2022), bahwa kedutaan besar sudah mengklarifikasi hal tersebut dengan menyatakan bahwa Malaysia tidak berencana mendaftarkan Reog Ponorogo sebagai salah satu warisan budayanya ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Beberapa tahun sebelumnya, masalah yang sama sering terjadi, mulai dari rencana untuk mengklaim lagu "Rasa Sayang", angklung, batik,  dan tarian pendet. Terhadap persoalan seperti ini, ada sebuah tanggapan menarik dari Ahmad Nyarwi yang pernah dimuat dalam Harian Kompas, 7 September 2009. 

Pada bagian awal artikelnya, Ahmad membuat sebuah ilustrasi singkat mengenai pembangunan kota "Putra Jaya" yang dipersiapkan untuk tiga ratus tahun yang akan datang. Ilustrasi sederhana ini di satu pihak merupakan suatu kritikan tajam bagi pemerintah Indonesia yang terkesan "lamban" dalam pembangunan, namun di lain pihak mau mengungkapkan suatu korelasi yang tidak dapat terpisahkan antara kebudayaan dan pembangunan.

Sering orang berbicara tentang kebudayaan dan pembangunan, seakan kedua hal tersebut merupakan dua hal yang terpisah dan berbeda. Umar Kayam, (1987: 310) dalam Budaya dan Pembangunan, mengemukakan bahwa ditinjau dari sudut dialektika perkembangan masyarakat, pembangunan merupakan metodologi sekaligus prasarana pengembangan struktur dan kebudayaan masyarakat. 

Pembangunan fisik dalam bentuk pelaksanaan rancangan bangunan gedung-gedung dan rancangan tata kota, akan memberi dampak yang berarti bagi proses dialektis antara struktur dan kebudayaan. Bangunan dan tata letak dari gedung-gedung itu akan memberi perspektif baru kepada masyarakat dalam persepsi mereka tentang kota, tentang ruang, tentang pemukiman, tentang gaya hidup.

Demikian juga dengan pembangunan non-fisik, misalnya perubahan yang mendasar mengenai kurikulum pendidikan atau suatu sistem pembinaan seni dalam masyarakat. Pengembangan sistem pembinaan seni tari dalam masyarakat yang menekankan sistem partisipasi dari masyarakat, akan memberi dampak yang mendalam kepada orientasi cita rasa serta dukungan partisipatoris masyarakat terhadap seni tari dalam masyarakat terserbut.

Kerjasama: Sebuah Solusi

Ketika ada persoalan mengenai mutilasi budaya, banyak pihak selalu menitipberatkan hal itu pada peran serta pemerintah. Di satu pihak hal itu dapat dibenarkan, namun di lain pihak kita juga perlu menuntut peran serta warga masyarakat sebagai obyek dari budaya itu sendiri. Pemerintah hanya bisa menjalankan fungsi kontrolnya, tetapi sebenarnya yang lebih berperan dalam mempertahankan warisan budaya tertentu adalah masyarakat sendiri.

Sebagai badan pengontrol dan pengurus dalam suatu negara, pemerintah hendaknya membangun sarana-prasarana untuk mendukung pengembangan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat. Hal yang dapat dilakukan misalnya dengan membuat pabrik-pabrik batik atau membangun sanggar-sanggar seni sebagai tempat di mana masyarakat dapat mengembangkan kebudayaan yang dimiliki. 

Demikian juga dalam pembangunan non-fisik seperti penetapan kurikulum pendidikan atau suatu sistem pembangunan seni dalam masyarakat. Para siswa sebagai harapan bangsa pada masa yang akan datang hendaknya secara dini dibekali dengan kuriklum pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kebudayaan.

Selain usaha-usaha tersebut di atas, hal yang tidak kalah pentingnya bagi pemerintah adalah melaporkan semua warisan budaya kita kepada UNESCO. 

Apabila warisan budaya kita telah diakui oleh dunia, maka sebenarnya persoalan dengan negara lain seperti halnya dengan Malaysia sekarang ini dapat diatasi dengan baik. Jika warisan budaya kita telah diakui oleh dunia, maka walaupun mereka mengklaim budaya Indonesia sebagao warisan mereka, dunia tetap akan melihat dan mengakui bahwa kitalah yang memiliki warisan budaya tersebut.

Selain pemerintah, pihak yang bertugas untuk mengatasi masalah seperti ini adalah masyarakta sendiri. Dengan adanya mutilasi budaya yang kita alami sekarang ini, sebenarnya mau mengajak kita semua sebagai bangsa Indonesia untuk mencintai budaya kita sendiri. 

Masalah mutilasi budaya hendaknya menyadarkan kita untuk dapat menyesuaikan diri terhadap budaya-budaya luar yang masuk di tengah arus globalisasi ini. Apabila kita tetap mencintai dan menghidupi budaya kita, maka budaya kita tidak akan pudar dan dimutilasi oleh daerah atau negara lain.

M. Alfan Alfian, dalam artikelnya yang berjudul "Politik Kebudayaan Kita", (Kompas: 31 Agustus 2009), menyatakan bahwa apabila kesadaran kebudayaan telah tertanam dalam benak kita sebagai bangsa yang besar dan punya banyak potensi, maka warisan budaya akan tetap bertahan. Tetapi sebaliknya apabila tidak ada ransangan dan gairah menyalah-nyalah atas tradisi berpikir kebudayaan, maka kita tak akan pernah menemukan letak kebanggaan itu dan tanpa sadar melarutkan diri ke tengah pusaran negativitas globalisasi.   

Mencoba Berpikir Positif

Menanggapi masalah mutilasi budaya yang dilakukan oleh Malaysia, banyak orang hanya melihatnya sebagai suatu tindakan negatif. Persoalan seperti ini juga sebenarnya bisa dilihat secara positif dari sisi yang lain. Hal itu tidak berarti bahwa kita memperbolehkan budaya Indonesia dimutilasi sewenang-wenang oleh negara-negara lain.

Melihat secara positif yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana kita mengakui kreativitas mereka dalam menafsir sebuah budaya dan menjadikannya sebagai kekayaan budaya yang baru. 

Sebagaimana pendapat M. Alfan Alfian (Kompas: 31 Agustus 2009) bahwa tidak ada produk budaya yang murni hadir tanpa proses interaksi dengan yang lain. Yang menjadi khas adalah saat ada tafsir yang estetis diwujudkan ke berbagai bentuk produk kebudayaan.

Banyak orang yang membayangkan kebudayaan sebagai sesuatu yang berhenti pada satu puncak pencapaian prestasi dan kemudian berakar dengan kukuhnya di masyarakat seakan tidak beranjak lagi. 

Dalam rangka itu tradisi dianggap sebagai penjaga kelestarian kebudayaan yang melilit tubuh masyarakat dengan teguhnya seakan tidak terlepas lagi. Kesalahpahaman ini bersumber pada pemahaman kebudayaan sebagai sesuatu yang tidak mungkin berubah dan berkembang menjadi sesuatu yang lain sosoknya. 

Dengan demikian kebudayaan dibayangkan sebagai sesuatu kemutlakan, suatu ciri yang akan melekat pada tubuh masyarakat untuk selamanya. Padahal Umar Kayam (1987: 310) menulis bahwa dari sekian banyak devinisi kebudayaan yang pernah dikumpulkan oleh antropolog Kluckhohn misalnya, tidak satu pun yang membayangkan kemutlakan tersebut. Dengan demikian kebudayaan selalu bersifat dinamis dan bukannya bersifat statis.

Kemungkinan bisa saja terjadi bahwa pada dua daerah atau lebih, yang memiliki letak geografis yang berdekatan, atau ada ikatan tertentu dalam sejarah, bisa saja memiliki nilai-nilai budaya tertentu yang hampir sama. 

Misalnya, tarian "Patar Alu" yang berasal dari daerah Kabupaten Sikka memiliki kemiripan dengan jenis tarian di daerah kepulauan Flores lainnya seperti daerah Riung yang menyebutnya tarian "Pangke Alu" atau daerah Ngada yang dikenal dengan nama tarian "Sago Alu". 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebudayaan pada daerah tertentu bisa saja memiliki kesamaan dengan daerah lainnya. Hal ini akan menimbulkan persoalan apabila budaya tersebut baru muncul ketika budaya yang sama itu telah populer dan sudah melekat pada daerah-daerah lainnya. Mari kita tetap mencintai dan melestarikan budaya kita. Mencintai budaya berarti mencintai kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun