Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Malaysia Sudah Memberi Klarifikasi Soal Reog Ponorogo, Bagaimana Tugas Kita Selanjutnya?

18 April 2022   17:41 Diperbarui: 3 September 2022   06:58 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana pendapat M. Alfan Alfian (Kompas: 31 Agustus 2009) bahwa tidak ada produk budaya yang murni hadir tanpa proses interaksi dengan yang lain. Yang menjadi khas adalah saat ada tafsir yang estetis diwujudkan ke berbagai bentuk produk kebudayaan.

Banyak orang yang membayangkan kebudayaan sebagai sesuatu yang berhenti pada satu puncak pencapaian prestasi dan kemudian berakar dengan kukuhnya di masyarakat seakan tidak beranjak lagi. 

Dalam rangka itu tradisi dianggap sebagai penjaga kelestarian kebudayaan yang melilit tubuh masyarakat dengan teguhnya seakan tidak terlepas lagi. Kesalahpahaman ini bersumber pada pemahaman kebudayaan sebagai sesuatu yang tidak mungkin berubah dan berkembang menjadi sesuatu yang lain sosoknya. 

Dengan demikian kebudayaan dibayangkan sebagai sesuatu kemutlakan, suatu ciri yang akan melekat pada tubuh masyarakat untuk selamanya. Padahal Umar Kayam (1987: 310) menulis bahwa dari sekian banyak devinisi kebudayaan yang pernah dikumpulkan oleh antropolog Kluckhohn misalnya, tidak satu pun yang membayangkan kemutlakan tersebut. Dengan demikian kebudayaan selalu bersifat dinamis dan bukannya bersifat statis.

Kemungkinan bisa saja terjadi bahwa pada dua daerah atau lebih, yang memiliki letak geografis yang berdekatan, atau ada ikatan tertentu dalam sejarah, bisa saja memiliki nilai-nilai budaya tertentu yang hampir sama. 

Misalnya, tarian "Patar Alu" yang berasal dari daerah Kabupaten Sikka memiliki kemiripan dengan jenis tarian di daerah kepulauan Flores lainnya seperti daerah Riung yang menyebutnya tarian "Pangke Alu" atau daerah Ngada yang dikenal dengan nama tarian "Sago Alu". 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebudayaan pada daerah tertentu bisa saja memiliki kesamaan dengan daerah lainnya. Hal ini akan menimbulkan persoalan apabila budaya tersebut baru muncul ketika budaya yang sama itu telah populer dan sudah melekat pada daerah-daerah lainnya. Mari kita tetap mencintai dan melestarikan budaya kita. Mencintai budaya berarti mencintai kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun