Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Malaysia Sudah Memberi Klarifikasi Soal Reog Ponorogo, Bagaimana Tugas Kita Selanjutnya?

18 April 2022   17:41 Diperbarui: 3 September 2022   06:58 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika ada persoalan mengenai mutilasi budaya, banyak pihak selalu menitipberatkan hal itu pada peran serta pemerintah. Di satu pihak hal itu dapat dibenarkan, namun di lain pihak kita juga perlu menuntut peran serta warga masyarakat sebagai obyek dari budaya itu sendiri. Pemerintah hanya bisa menjalankan fungsi kontrolnya, tetapi sebenarnya yang lebih berperan dalam mempertahankan warisan budaya tertentu adalah masyarakat sendiri.

Sebagai badan pengontrol dan pengurus dalam suatu negara, pemerintah hendaknya membangun sarana-prasarana untuk mendukung pengembangan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat. Hal yang dapat dilakukan misalnya dengan membuat pabrik-pabrik batik atau membangun sanggar-sanggar seni sebagai tempat di mana masyarakat dapat mengembangkan kebudayaan yang dimiliki. 

Demikian juga dalam pembangunan non-fisik seperti penetapan kurikulum pendidikan atau suatu sistem pembangunan seni dalam masyarakat. Para siswa sebagai harapan bangsa pada masa yang akan datang hendaknya secara dini dibekali dengan kuriklum pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kebudayaan.

Selain usaha-usaha tersebut di atas, hal yang tidak kalah pentingnya bagi pemerintah adalah melaporkan semua warisan budaya kita kepada UNESCO. 

Apabila warisan budaya kita telah diakui oleh dunia, maka sebenarnya persoalan dengan negara lain seperti halnya dengan Malaysia sekarang ini dapat diatasi dengan baik. Jika warisan budaya kita telah diakui oleh dunia, maka walaupun mereka mengklaim budaya Indonesia sebagao warisan mereka, dunia tetap akan melihat dan mengakui bahwa kitalah yang memiliki warisan budaya tersebut.

Selain pemerintah, pihak yang bertugas untuk mengatasi masalah seperti ini adalah masyarakta sendiri. Dengan adanya mutilasi budaya yang kita alami sekarang ini, sebenarnya mau mengajak kita semua sebagai bangsa Indonesia untuk mencintai budaya kita sendiri. 

Masalah mutilasi budaya hendaknya menyadarkan kita untuk dapat menyesuaikan diri terhadap budaya-budaya luar yang masuk di tengah arus globalisasi ini. Apabila kita tetap mencintai dan menghidupi budaya kita, maka budaya kita tidak akan pudar dan dimutilasi oleh daerah atau negara lain.

M. Alfan Alfian, dalam artikelnya yang berjudul "Politik Kebudayaan Kita", (Kompas: 31 Agustus 2009), menyatakan bahwa apabila kesadaran kebudayaan telah tertanam dalam benak kita sebagai bangsa yang besar dan punya banyak potensi, maka warisan budaya akan tetap bertahan. Tetapi sebaliknya apabila tidak ada ransangan dan gairah menyalah-nyalah atas tradisi berpikir kebudayaan, maka kita tak akan pernah menemukan letak kebanggaan itu dan tanpa sadar melarutkan diri ke tengah pusaran negativitas globalisasi.   

Mencoba Berpikir Positif

Menanggapi masalah mutilasi budaya yang dilakukan oleh Malaysia, banyak orang hanya melihatnya sebagai suatu tindakan negatif. Persoalan seperti ini juga sebenarnya bisa dilihat secara positif dari sisi yang lain. Hal itu tidak berarti bahwa kita memperbolehkan budaya Indonesia dimutilasi sewenang-wenang oleh negara-negara lain.

Melihat secara positif yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana kita mengakui kreativitas mereka dalam menafsir sebuah budaya dan menjadikannya sebagai kekayaan budaya yang baru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun