Fenomena klitih yang dilakukan oleh kalangan remaja di Yogyakarta menyebabkan keresahan bagi masyarakat. Kata Klitih secara bahasa bermakna mencari sesuatu, yang tidak selalu berkonotasi kekerasan.
Klitih merupakan sebuah kata yang memiliki banyak pengertian. Kamus Bahasa Jawa SA Mangunsuwito (2002), mengartikan Klitih (Klitihan atau Nglitih) sebagai kata dalam bahasa Jawa yang bergenre Jogjaan (bahasa jawa dialek jogja) yang kemudian membentuk kata pengulangan yaitu Klitah-Klitih yang artinya jalan bolak-balik (Surwandono & Bahari, 2020).Â
Sedangkan menurut Pranowo, kata klitah-Klitih masuk dalam kategori dwilingga salin suara atau kata pengulangan yang berubah bunyi dan mengartikannya sebagai kegiatan kluyuran yang tidak memiliki tujuan.Â
Pranowo juga menjelaskan bahwa dulunya, kata Klitah-Klitih sama sekali tidak mengandung unsur negatif. Akan tetapi seiring berkembangnya zaman, arti kata Klitah-Klitih sering digunakan hanya sebagian saja menjadi Klitih atau Nglitih yang maknanya cenderung negatif.
Kata Klitih atau Nglitih kemudian identik dengan adanya aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas yang dilakukan oleh para remaja atau pelajar (Bramasta, 2020).Â
Namun, akhir-akhir ini Klitih identik dengan aksi kekerasan jalanan yang dilakukan sekelompok anak muda untuk mencari mangsa kekerasan secara acak.Â
Istilah Klitih dipergunakan oleh para pelaku kekerasan jalanan dan kemudian masyarakat Yogyakarta sekarang ini memaknai Klitih sebagai ekspresi kekerasan dibandingkan dengan makna asalnya.
Klitih umumnya dilakukan oleh individu maupun kelompok yang berasal dari lingkungan yang berpenghasilan rendah.Â
Pelaku Klitih biasanya beraksi di malam hari dengan kondisi jalanan sepi dan menyerang korbannya dengan menggunakan senjata tajam, kemudian pelaku akan memeras benda berharga yang dibawa oleh korban (Wibowo & Ma'ruf, 2019).
Klitih sebagai bentuk tindakan premanisme selama ini cenderung diperbincangkan dalam konteks tindakan penertiban dan menjadi domain dari penegakan hukum seperti kepolisian maupun kejaksaan. Keterlibatan masyarakat lebih kepada aktivitas melaporkan dan aparat penegak hukum kemudian mengambil tindakan.Â
Kasus Klitih sebagai ekspresi premanisme menjadi unik karena sebagian besar pelakunya adalah anak-anak di bawah umur. Tindakan kekerasan yang dijalankan dilakukan secara spontan dan sporadis.Â
Meski dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, tindakan kekerasannya sudah di luar batas kewajaran kejahatan anak. Sejumlah orang telah menjadi korban, dari luka berat sampai meninggal dunia (Fuadi et al., 2019).
Faktor Penyebab:Â
Maraknya aksi klitih yang terjadi di Yogyakarta merupakan bentuk kenakalan remaja yang kompleks, melibatkan banyak hal yang mempengaruhi alasan terjadinya aksi klitih di kalangan pelajar Yogyakarta (Putra & Suryadinata, 2020).
Kejahatan jalanan klitih merupakan suatu tindak kejahatan, yang disebabkan oleh faktor internal atau sub-culture theory dan faktor eksternal yang disebutkan dalam social learning theory (Wijanarko et al., 2021).Â
Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor EksternalÂ
Pertama, Lingkungan tempat dimana anak itu tinggal memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan keperibadiannya. Di situlah seorang anak mendapatkan pengakuan dan eksistensi dari teman-teman sebayanya.Â
Di situ pula karakter anak dibentuk dan kemudian berkembang dalam pergaulan sehari-hari. Dalam teori kriminologi social learning theory dikatakan bahwa anak-anak akan memperlihatkan perilakunya sesuai dengan apa yang mereka peroleh dari relasi dengan orang-orang terdekat mereka.
Kedua, Keluarga merupakan sumber pertama bagi anak dalam mempelajari nilai baik dan benar atau sebaliknya buruk dan merugikan. Keluarga dibutuhkan seseorang anak untuk mendorong, menggali, mempelajari dan menghayati nilai-nilai kemunisaan, religiusitas,norma-norma dan sebagainya.Â
Sangat diharapkan agar keluarga dapat menjadi tempat yang nyaman bagi anak, dan ia bisa bernaung dan mendapatkan solusi jika ia mengalami masalah.Â
Dalam teori kriminologi social learning theory berpandangan bahwa anak-anak akan memperlihatkan perilakunya atas reakasi yang diterimanya dari pihak lain (positif dan negative).Â
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa reaksi postitif anak dapat terjadi jika anak pun selalu mendapat raksi positif dari keluarga. Demikian pula sebaliknya dengan reaksi negatif yang ada dalam diri anak, biasanya juga dipengaruhi oleh reaksi negatif yang dialaminya dalam keluarga.
Ketiga adalah media sosial. adalah media online dimana para penggunanya bisa dengan mudah berbagi,berpartisipasi menciptakan isi meliputi blog,sosial network atau jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.Â
Media sosial sampai hari ini mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sesorang. Dalam teori kriminologi social learning theory dikatakan bahwa media sosial sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian seorang anak.Â
Peran media sosial untuk perkembangan anak sangat besar hal tersebut sesuai dengan teori perkembangan anak. Sehingga anak menjadi labil atau mudah dipengaruhi.Â
Dalam hal kejahatan klitih seorang anak menyalahgunakan media sosial untuk menunjukan jatidirinya dengan merasa bangga jika dalam media sosial sering menyebut nama kelompoknya dalam media sosial.
Faktor eksternal iklim lingkungan yang tidak sehat, cenderung memberikan dampak yang kurang baik bagi perkembangan remaja dan sangat mungkin mereka akan mengalami kehidupan yang tidak nyaman, stres atau depresi.
 Mencegah klitih dilakukan dengan melibatkan banyak pihak lintas sektoral, dengan melibakan orang tua, guru, pemerintah, dan aparat kepolisian (Sukirno, 2018).
b. Faktor Internal
Selain faktor eksternal, faktor internal juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kejahatan jalanan atau klitih. Anak pada umur remaja memiliki emosi yang meledak-ledak, kepedulian akan kelompoknya sangat tinggi.Â
Seorang remaja sedang mencari jati dirinya. Masa ini merupakan masa storm and drang dimana seorang remaja kadang penuh dengan emosi dan kerap kali meledak-ledak karena ada pertentangan nilai.
Dengan begitu masa kembang anak dikatakan rentan. Menurut McWhirter, perilaku yang tergolong rentan memiliki rentang mulai dai penlakn sosial sampai masalah terjadi di sekolah, melalui aktivitas melanngar norma hingga melanggar hukum yang berlaku (Radhitya W & Santoso, 2020).
Jika seorang anak memliki keakraban yang tinggi dengan menghabiskan waktu bersama, aktivitas bersama-sama, komunikasi yang intensif akan membentuk sebuah kelompok untuk mecari identitas diri.Â
Secara kodratnya setiap individu membutuhkan sikap penghargaan dari sesama kepada dirinya sendiri, agar ia merasa bahwa dirinya diakui (Malihah et al., 2014).
Upaya Penjegahan dan Penanggulangan
Kejahatan jalan klitih sudah sangat meresahkan masyarakat Yogyakarta maka diperlukan penegakan hukum untuk mencegah kejahatan ini.Â
Usaha yang dilakukan sudah diupayakan oleh kepolisian dan dinas provinsi melalu balai perlindungan rehabilitasi sosial remaja. Upaya tersebut dapat dilakukan dalam tiga jenis yaitu pre- emtif, Preventif dan represif.
a. Upaya pre-emtif. Upaya pre-emtif ini adalah upaya untuk menghilangkan niat untuk melakukan kejahatan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara terus melalukan sosialisasi dan pembinaan untuk mengarahkan anak supaya menghindari tindakan kejahatan.
b. Upaya Preventif. Upaya pre-emtif merupakaya upaya awal sebelum terjadinya kejahatan atau belum ada tanda-tanda kejahatan yang akan terjadi, maka upaya preventif dilakukakan sudah mengarah pada akan terjadinya kejahatan atau diduga kuat akan terjadi. Upaya Preventif yang bisa dilakukan antara lain melakukan patroli rutin pada jam tertentu.
c. Upaya Represif. Upaya Represif merupakan cara terakhir pencegahan, upaya represif adalah upaya penanggulangan suatu tindak kejahatan untuk menindak pelaku kejahatan untuk memberikan efek jera serta memeperbaiki tingkah laku agar tidak mengulangi perbuatan melanggar hukum. Upaya represif yang dilakukan oleh pihak kepolisan dan pemerintah daerah sesuai undang-undang berlaku.
Selain pemerintah atau penegak keamanan, keluarga memiliki peranan yang sangat penting. Diharapkan agar keluarga dapat meningkatkan intensitas komunikasi dengan anak.Â
Intesitas komunikasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kedalaman penyampaian pesan dari individu sebagai anggota keluarga. Komunikasi yang dimaksudkan adalah perhatian, kasih sayang, empati, dukungan dan keterbukaan dari keluarga kepada anak.Â
Fungsi kontrol dari pihak keluarga terhadap pergaulan dan kebebasan anak, juga sangat dibutuhkan, namun tetap menghidari rasa tertekan anak sehingga justu itulah yang membuat mereka cenderung menjadi teman atau kebebasan di luar rumah (Widayanti, 2019).
Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah peran sekolah dalam pendidikan anak. Pendidikan karakter yang senantiasa digaungkan dalam arah pendidikan nasional, hendaknya dimaksimalkan.Â
Implementasi pendidikan karakter, tidak hanya sebatas pengetahuan melainkan harus mengakar dalam diri peserta didik sehingga menjadi pembiasaan dalam hidup nyata setiap hari di mana pun mereka berada. Hal ini pun tidak bisa terlepas dari kerjasama antara pihak sekolah, orang tua dan masyarakat.
Daftar Rujukan
Bramasta, D. B. (2020). #DIYdaruratklitih Ramai di Twitter, Apa Itu Klitih? Halaman all - Kompas.com. https://www.kompas.com/tren/read/2020/02/04/093000965/diydaruratklitih-ramai-di-twitter-apa-itu-klitih?page=all
Fuadi, A., Muti'ah, T., & Hartosujono, H. (2019). Faktor-Faktor Determinasi Perilaku Klitih. Jurnal Spirits, 9(2), 88. https://doi.org/10.30738/spirits.v9i2.6324
Malihah, E., Wilodati, & Jerry, G. L. (2014). Kenakalan Remaja Akibat Kelompok Pertemanan Siswa. 41(1).
Putra, A., & Suryadinata, S. (2020). Menelaah Fenomena Klitih di Yogyakarta Dalam Perspektif Tindakan Sosial dan Perubahan Sosial Max Weber. Asketik, 4(1), 1--21. https://doi.org/10.30762/ask.v4i1.2123
Radhitya W, T. V., & Santoso, M. B. (2020). Pengendalian Emosi Pada Remaja Pelaku Tindak Kriminal Di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (Lpka) Bandung. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 2(2), 219. https://doi.org/10.24198/focus.v2i2.26251
Sukirno, S. (2018). Pencegahan Klitih Melalui Pendekatan Budaya Baca Pada Siswa Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia), 3(1), 28--37.
Surwandono, S., & Bahari, D. M. (2020). The Advocacy of Facebook Public Group "Info Cegatan Jogja" to Prevent Gangsterism Action "Klitih" in Yogyakarta, Indonesia. Society, 8(2), 343--358. https://doi.org/10.33019/society.v8i2.188
Wibowo, A., & Ma'ruf, U. (2019). Substantial Justice In Handling Of Child Actors "Klitih." Jurnal Daulat Hukum, 2(2), 155--164.
Widayanti, W. (2019). Menciptakan Kondusifitas Keluarga sebagai Benteng Fenomena Klitih di Yogyakarta. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, 43(1), 89--96.
Wijanarko, A., Ginting, R., Hukum, F., & Sebelas, U. (2021). Kejahatan jalanan. 10(1), 23--28.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H