Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belis Maumere-Sikka-NTT (Bagian I: Pengertian Belis)

20 Maret 2022   18:01 Diperbarui: 20 Maret 2022   21:05 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Edward Simmons/Australian Associated Press (gambar Diolah penulis)

Secara umum kata belis ini dikenal sebagai mas kawin. Mas kawin berbeda dengan "mahar" dalam hukum perkawinan Islam dan dowry di Barat. Mahar adalah benda yang diberikan suami kepada istrinya sebagai milik istri. Sedangkan dowry diberikan oleh keluarga laki-laki kepada perempuan pada waktu nikah. 

Tujuannya melindungi wanita dan memantapkan perkawinan.[1]  Kata belis hanya dikenal di wilayah Nusa Tenggara Timur. Belis atau mas kawin yang juga dikenal dengan mahar adalah sejumlah uang, hewan, dan barang yang diberikan oleh pihak keluarga pengantin pria sebagai syarat pengesahan perkawinan.[2] 

 

Kebudayaan Jawa menyebut mas kawin dengan tukon, Batak menamakannya pangoli, boli, atau tuhor dan Maluku menyebutnya dengan istilah beli.[3] Koentjaraningrat, seorang antropolog Indonesia mengartikan belis sebagai tanda penghargaan terhadap keluarga wanita karena pada saat perkawinan seorang wanita dibawah ke tempat yang jauh oleh suaminya. 

Akibatnya keluarga wanita mengalami kekurangan tenaga kerja. Karena itu ia harus ditebus dengan barang yang adalah belis itu.[4] Dengan demikian pembelisan pada hakikatnya merupakan suatu ungkapan penghargaan sekaligus sebagai suatu alat yang mempersatukan keluarga lelaki dengan keluarga si gadis.

 

Pemberian dari pihak laki-laki kepada keluarga wanita itu disimbolisasikan melalui barang-barang.[5] Pemberian tersebut merupakan syarat untuk melepaskan wanita dari marganya untuk masuk marga suami. [6] Dalam pengertiannya yang lebih luas, belis bukan hanya merupakan sejumlah harta kekayaan yang diserahkan oleh keluarga pihak lelaki untuk memperoleh hak atas gadis dari pihak wanita, tetapi termasuk juga semua harta yang diberikan oleh keluarga wanita sebagai imbalan atas pemberian pihak lelaki. [7] 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa belis bukanlah merupakan suatu harga pembelian. Apabila belis dipandang sebagai sebuah harga pembelian seorang gadis, maka keluarga gadis tidak akan memberi hadiah balasan untuk keluarga lelaki yang datang membawa belis. 

 

Pihak pengantin laki-laki mesti memberikan belis karena pengantin perempuan akan menjadi bagian dari suku atau klan mereka. Apabila pengantin perempuan ingin membangun hidup berkeluarga maka ia harus meninggalkan orangtuanya dan melepaskan keanggotaannya dalam suku orangtuanya untuk masuk menjadi bagian dari suku suaminya. Karena perpindahan suku ini maka pihak pengantin laki-laki mesti memberikan sejumlah hewan atau uang atau barang (gading, kain adat, emas, dan lain-lain), kepada pihak keluarga pengantin perempuan. [8] 

 

Masyarakat Sikka pada umumnya menyebut belis dengan istilah Ling Weling. Secara etimologis kata ling berarti bunyi sedangkan kata weling berarti harga atau nilai. Kata Ling Weling ini sebenarnya merupakan sebuah singkatan dari satu kalimat yang lebih lengkap yakni Ling gete, Weling berat. Artinya bahwa manusia memiliki nilai atau harga diri yang paling tinggi jika dibandingkan dengan barang ciptaan lainnya. Untuk itu ia perlu dihargai.

 

Dari pengertian ini maka secara sederhana kita dapat memberikan arti bahwa belis adalah sebuah simbol penghargaan dan penghormatan terhadap martabat seorang manusia. Untuk menyebut harga suatu barang, orang hanya biasa menggunakan kata weling, sedangkan untuk menyebut harga diri nilai seorang manusia, kata weling harus disertai dengan kata ling. 

Padanan kata ling dan weling akan membentuk sebuah frase ling weling yang berarti harga diri seorang manusia.  Hal ini mau menunjukkan bahwa harga yang dipakai untuk seorang manusia memiliki makna yang berbeda (lebih tinggi), jika dibandingkan dengan hewan atau barang lainnya. 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna simbolis belis yang selama ini menjadi suatu tradisi turun-temurun dan telah membudaya dalam masyarakat Sikka, memiliki tujuan yang sangat luhur yakni demi menghargai dan menghormati martabat seorang perempuan sebagai manusia.

 

Untuk menjelaskan harga diri seorang wanita serta keagungan moralitas perkawinan, ada pesan atau petua adat yang disebut naruk dua-moan dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya, yang berbunyi: "ata dua utan naha nora lin, ata dua labu naha nora welin, ata dua suwur naha lopa lebung, naha beli kila bitak, ata dua soking naha lopa batu, naha riwa 'ledang be'ak, dua naha lin gete, ganu ata tuku t'ena", dapat diterjemahkan dengan: wanita mahal timbangannya, yang dikenakannya adalah pantulan dirinya, bila digagahi, sangsi adat berlaku, wanita tinggi nilainya, bagai pendayung mengayun sampan. Di sini harga diri wanita identik dengan keuletan lelaki.[9]

 

Kleteng latar lain yang mengungkapkan betapa pentingnya harga diri seorang wanita, seperti: "Dua naha nora ling, nora weling loning dua utan lin labu welin, dadi ata lai naha letto-wotter". 

Terjemahan bebasnya sebagai berikut: Sebagaimana sarung dan baju yang dikenakan oleh seorang wanita mempunyai nilai dan harga, demikian pula diri setiap wanita mempunyai nilai dan harga, bahkan memiliki nilai yang lebih tinggi dari itu sehingga setiap laki-laki yang menjadikannya sebagai istri, harus terlebih dahulu membelisinya. 

Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat wanita sangat dihargai, oleh karena itu pihak klan penerima wanita, ata lai harus membayar sejumlah belis kepada klan pemberi wanita, ata dua sesudah itu baru dinyatakan perkawinan seluruh prosesnya syah.

 

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa belis adalah sebuah bentuk simbolis penghargaan yang berfungsi sebagai sarana untuk mempersatukan seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami-istri. Itu berarti bahwa belis merupakan tanda pengikat yang mengesahkan persatuan hidup antara suami dan istri. 

Dalam konteks ini belis dapat juga dipandang sebagai syarat beralihnya keanggotaan suku istri (wanita) ke suku suami (laki-laki). Pembelisan ini tidak dianggap sebagai suatu bentuk komersialisasi atau perdagangan barang atau sebagai jual beli wanita. Namun adalah lebih tinggi dari itu, ialah bahwa belis menjadi sebagai lambang harga diri yang harus lebih diutamakan.

 

Akan bersambung pada Bagian II: Latar Belakang Sejarah Pembelisan

 

Daftar Rujukan:

       [1] Siprianus Hormat,"Teologi Moral" (Ms.) (Maumere: STFK Ledalero, 2010), p.3.

       [2] Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Timur  

              (Kupang: Dinas P dan K NTT, 2003), p.57.

       [3] Hans Daeng. "Pria Indonesia: Beginikah Wajahnya?" Basis, XXX-7 (April, 1981), 206.

       [4] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosiologi, (Jakarta: Dian Rakyat, 1982), p. 99.

       [5] Ter Haar, Adat Law in Indonesia  (Jakarta: Bharatara, 1962), p. 193.       

       [6] Van Dijk, Pengantar Hukum Adat di Indonesia (Bandung: Bina Cipta, 1954), p. 72

       [7] John Dami Mukese, "Warisan Kita", VOX, Seri 26/4/1979 (1979) 72.

       [8] Luis Aman, "Perempuanku Sayang, Perempuanku Malang", Akademika, Vol. VI. No.2, 2009/2010 (2010) pp.52-53.

       [9] Stephanus Ozias Fernandes, Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur: Dahulu dan Sekarang (Maumere: STFK Ledalero, 1990), 

              pp. 301-302.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun