Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belis Maumere-Sikka-NTT (Bagian I: Pengertian Belis)

20 Maret 2022   18:01 Diperbarui: 20 Maret 2022   21:05 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Edward Simmons/Australian Associated Press (gambar Diolah penulis)

 

Masyarakat Sikka pada umumnya menyebut belis dengan istilah Ling Weling. Secara etimologis kata ling berarti bunyi sedangkan kata weling berarti harga atau nilai. Kata Ling Weling ini sebenarnya merupakan sebuah singkatan dari satu kalimat yang lebih lengkap yakni Ling gete, Weling berat. Artinya bahwa manusia memiliki nilai atau harga diri yang paling tinggi jika dibandingkan dengan barang ciptaan lainnya. Untuk itu ia perlu dihargai.

 

Dari pengertian ini maka secara sederhana kita dapat memberikan arti bahwa belis adalah sebuah simbol penghargaan dan penghormatan terhadap martabat seorang manusia. Untuk menyebut harga suatu barang, orang hanya biasa menggunakan kata weling, sedangkan untuk menyebut harga diri nilai seorang manusia, kata weling harus disertai dengan kata ling. 

Padanan kata ling dan weling akan membentuk sebuah frase ling weling yang berarti harga diri seorang manusia.  Hal ini mau menunjukkan bahwa harga yang dipakai untuk seorang manusia memiliki makna yang berbeda (lebih tinggi), jika dibandingkan dengan hewan atau barang lainnya. 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna simbolis belis yang selama ini menjadi suatu tradisi turun-temurun dan telah membudaya dalam masyarakat Sikka, memiliki tujuan yang sangat luhur yakni demi menghargai dan menghormati martabat seorang perempuan sebagai manusia.

 

Untuk menjelaskan harga diri seorang wanita serta keagungan moralitas perkawinan, ada pesan atau petua adat yang disebut naruk dua-moan dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya, yang berbunyi: "ata dua utan naha nora lin, ata dua labu naha nora welin, ata dua suwur naha lopa lebung, naha beli kila bitak, ata dua soking naha lopa batu, naha riwa 'ledang be'ak, dua naha lin gete, ganu ata tuku t'ena", dapat diterjemahkan dengan: wanita mahal timbangannya, yang dikenakannya adalah pantulan dirinya, bila digagahi, sangsi adat berlaku, wanita tinggi nilainya, bagai pendayung mengayun sampan. Di sini harga diri wanita identik dengan keuletan lelaki.[9]

 

Kleteng latar lain yang mengungkapkan betapa pentingnya harga diri seorang wanita, seperti: "Dua naha nora ling, nora weling loning dua utan lin labu welin, dadi ata lai naha letto-wotter". 

Terjemahan bebasnya sebagai berikut: Sebagaimana sarung dan baju yang dikenakan oleh seorang wanita mempunyai nilai dan harga, demikian pula diri setiap wanita mempunyai nilai dan harga, bahkan memiliki nilai yang lebih tinggi dari itu sehingga setiap laki-laki yang menjadikannya sebagai istri, harus terlebih dahulu membelisinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun