Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membincangkan Eksistensi Manusia dan Allah dalam Terang Pemikiran Rene Descartes

19 Maret 2022   10:40 Diperbarui: 19 Maret 2022   10:46 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eksistensi Manusia dan Allah

Menurut Descartes, jika Allah itu sungguh baik dan bisa diandalkan maka manusia boleh merasa pasti akan keberadaan alam dunia material di sekelilingnya. Kredibilitas Allah menjamin kepastian pengetahuan kita mengenal benda-benda material yang kita upayakan berkat penggunaan akal budi. Dengan demikian, Allah merupakan ide yang menjamin kepastian epistemologis keberadaan manusia.

Beberapa Kritik

Rasionalisme Descartes

Dalam kaitannya dengan rasionalisme Descartes yang menekankan cogito (aku yang berpikir), terdapat bahaya di mana pemutlakan rasio menggiring manusia pada pengabaian aspek empiris.  Pengabaian Descartes terhadap aspek empiris menggiring manusia pada pemahaman yang pincang akan realitas. Menghadapi kenyataan tentang sesuatu yang lain, muncul pertanyaan: Seberapa jauh kita mengetahui tentang apa yang sedang berlanngsung dalam akal budi (pikiran) orang lain?

Jika kita menerima argumen ini, bahwa "berpikir" dan "pengetahuan" itu adalah fiksi belaka, lalu bagaimana dengan "aku berpikir?" Biarpun orang bisa menolak apa yang ia ketahui dan pikirkan, paling tidak masih ada "sang pemikir" yang bisa dijadikan landasan  untuk mendapatkan pengetahuan seperti dalam cogito ergo sumnya Descartes ini. Namun F. Nietzsche membantah keyakinan ini. Jika pengetahuan dianggap bersumber pada sebuah kesadaran atau sebuah "aku" yang berpikir, akan tetap dapat diajukan pertanyaan lagi tentang dari mana asal "aku" dan "berpikir" ini. Jika saya mengatakan, "aku sedang berpikir" maka perlu ada kondisi lain sebagai pembanding, misalnya yang terjadi saat ini adalah "aku" yang sedang "berpikir" dan bukan sedang "merasakan" atau "menginginkan".

Manusia lengkap dengan perasaannya yang kalut dan dorongan hatinya yang tersembunyi-kadang sulit ditangkap untuk disimpulkan. Tentang hidup dan matinya manusia, tentang Tuhan dan Iblisnya, ragu adalah sesuatu yang tak terelakan. Sebab itu, manusia, kata Blaise Pascal, hanyalah sepasang galah yang berpikir, un roseau pensant. Pascal sendiri, sebelum berusia 16 tahun menulis sebuah risalah theorem yang mengejutkan Descartes, filosof ini. Filsafatnya merupakan reaksi atas rasionalisme Descartes dan para pengikutnya. Menurut Pascal, ada sesuatu yang lebih penting dari pada akal budi yaitu "logika hati" (hati mempunyai alosan-alasan yang sama sekali tidak diketahui oleh akal, Le coueur a se raisons,que la raison ne connait point.

Rasionalisme Menuju Totalitas

Pemikiran Descartes tentang kemerdekaan subjek sebagai reaksi atas kehidupan zamannya yang tunduk di bawah totalitas kitab suci, gereja, dan tradisi atau negara, sebenarnya justru melahirkan benih totalitas dalam wajah baru. Goenawan Mohamad sebagaimana yang dikuti oleh Felix Baghi, menulis: "Kita berpikir, maka kita pun tak lepas dari identitas-identitas, membentuk pengertian-pengertian, dan kategori-kategori. Dengan kata lain, membentuk serta menggunakan konsep. Membentuk dan menggunakan konsep berarti menguasai keanekaragaman dan serangkut fenomena di luar kesadaran dan serentak dengan itu meletakkan mereka di dalam suatu kurungan yang sama, dan membekukan mereka sampai terjadi kesamaan".

Cara berpikir demikian memang cukup mengejutkan, namun  itulah yang menjadi bahan refleksi bagi filsafat modern. Dengan demikian, untuk mencekal terjadinya totalitas yang cenderung totaliter dengan kemerdekaan berpikir hidup semaunya, F. Nietzsche mengatakan "tidak ada kebenaran yang pasti". Segala sesuatu bersifat relatif, selalu diperoleh dari sudut pandang tertentu tanpa bisa menutup "kebenaran" dari sudut pandang lain.

Penutup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun