Pendahuluan
Sejarah pemikiran manusia mengindikasikan adanya distans yang signifikan. Jika pada filsafat Zaman Klasik, orang memiliki kecenderungan untuk mempertanyakan dan menemukan prinsip-prinsip pertama universalitas, dan filsafat Zaman Pertengahan (disebut juga dengan Skolatisisme) di mana kecenderungan manusia dalam menempatkan Allah sebagai pusat dari universalitas (teosentrisme), maka pada filsafat Zaman Modern, ditandai oleh tumbuhnya kesadaran manusia pada minatnya dalam persoalan genetik dan historitas manusia (antroposentris). Dengan kata lain, manusia lebih serius membincangkan pembentukkan subjektivitas dan kesadaran akan diri dan dunia di luar diri.
Diskursus tentang filsafat Modern atau yang lebih dikenal dengan era kebangkitan rasionalisme, mustahil dipisahkan dari pegulatan intelektual filsuf Ren Descartes. Â Filsuf yang disebut-sebut sebagai "Bapak filsafat modern" ini mengagas sebuah konsep tentang subjektivitas yang sering diabaikan dalam filsafat pada masa itu khususnya zaman skolastik. Dominasi mutlak wahyu, tradisi, dan kitab suci (tradisi kekristenan) pada zaman skolastik berakibat pada tereliminasinya otonomi subjek. Akibatnya, manusia tergantung penuh pada aneka konsep teologis yang dianggap sakral di samping semakin lenyapnya daya kreativitas dari masing-masing individu.
Dalam tulisan ini, akan dijelaskan ide dasar dari Ren Descartes tentang eksistensi manusia dan Allah sehubungannya dengan metode kesangsian yang selanjutnya membuat tesis Descartes tetap relevan hingga saat ini. Selain itu juga, akan dipaparkan beberapa kritik terhadap gagasannya baik dari filsuf-filsuf pada masa itu maupun pada zaman postmodensime.
Karakteristik  Filsafat Modern Rene Descartes
Ren Descartes hidup dalam sebuah masyarakat yang berciri aristokrat yakni memberi tempat utama kepada elite bangsawan. Minat elite ini adalah pada masalah metafisika Skolastik sementara itu di kalangan yang sama mulai tumbuh mint-minat lain. Descartes dari kalangan borjouis malah mengambil jalan lain dalam pemikirannya yang selanjutnya dianggap menyimpang dan sesat oleh para teolog Katolik.
 Mengenal Rene Descartes
Ren Descartes lahir pada 31 Maret 1956 di Touraine. Pada tahun 1604 masuk kolese Yesuit College Royal di La Fleche dan mulai memperdalami ilmu retorika, bahasa Latin, matematika, dan fisika modern. Pada tahun 1615 belajar matematika di Paris dan menetap di sana sampai tahun 1925 sebelumnya ke Swiss, Polandia, dan Italia.Kemudian ia pindah ke Belanda (1635) dan di sana mendapatkan seorang putri dari kekasihnya. Sayang, puterinya meninggal dalam usia lima tahun. Pergulatan intelektualnya mulai menanjak ketika ia menulis beberapa buah buku antara lain: Discours de la Methode(1637), Meditationes de prima Philosophia (1641) yang memuat hasil debatnya dengan Gaasendi, Hobbes, dan Mersenne, Principia Philisophiae ( 1644). Descartes meninggal pada tahun 1650 di kota Stockholm.
Garis Besar Pemikiran Rene Descartes
Beberapa hal fundamental yang digeluti oleh Descartes dalam gagasannya. Filsafatnya berawal dari suatu pertanyaan: Apakah ada metode yang pasti sebagai basis untuk melakukan refleksi filosofis. Dari sinilah, ia kemudian menjalankan apa yang disebut sebagai sebuah sikap keragu-raguan.
Metode Kesangsian dan "Cogito Ergo Sum"
Sikap meragukan segala sesuatu adalah dasar legitimasi bagi filsafat Descartes. Dengan sikap ini ia menganggap segala sesuatu hanyalah sebagai sebuah tipuan, dan tidak mau menerima apa pun sebagai sesuatu yang benar. Dalam kondisi demikian, segala sesuatu diragukan, ada satu hal yang sama sekali tidak bisa diragukan lagi dan karenanya harus diterima secara mutlak, yakni: kenyataan bahwa Aku yang tengah meragukan segala sesuatu ini ada. Metode ini disebutnya "le doute methodique" (metode kesangsian). Â Konsekuensinya, bagi Descartes, filsafatnya berawal dengan sikap melontarkan pertanayaan hingga menemukan sebuah fundamen yang pasti yakni suatu titik di mana tak bisa 'dicekal' seperti aksioma dalam matematika.
Menyangsikan adalah berpikir, maka kepastian akan eksistensiku akan dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian mengatakan  afirmasi atas kebenaran ini Cogito, ergo sum, "I think, therefore I am." Sebagai misal, kita benar-benar tertipu oleh khayalan-khayalan  dan menjadi pertanyaan: apakah yang bisa kita jadikan pegangan? Menurut Descartes, sekurang-kurangnya "aku yang menyangsikan" bukanlah hasil tipuan. Semakin kita dapat menyangsikan segala sesuatu, entah kita sungguh tertipu atau ternyata tidak, termasuk menyangsikan bahwa kita tdak dapat menyangsikan, kita semakin mengada (exist). Dari metode inilah, lahir kepastian yang kokoh yaitu "cogito" atau kesadaran-diri. Sepintas, metode ini dapat dinilai berdasarkan koridor silogisme: I think, therefore I am. Kata "therefore" merujuk pada silogisme yang tidak logis karena mendahului premis "I am". Namun menurut Descartes, ini bukanlah eksistensi deduktif dari pemikiran dalam sebuah silogisme melainkan sebuah wawasan yang didapat langsung dan begitu saja lewat aktivitas berpikir.
Idea-idea Bawaan dan Substansi
Akibat dari menyangsikan segala sesuatu dan keabsahan cogito sebagai subjektivitas menghantar kita pada pemahaman bahwa pikiran merupakan ide bawaan. Ide tersebut melekat sejak kita dilahirkan sehingga manusia oleh Descartes merupakan "ada yang berpikir" (res cogitans). Jika demikian apakah ketika manusia tidak berpikir, dia tidak ada? Dalam hal ini Descartes juga mengatakan bahwa sesungguhnya aspek kejasmanian pun merupakan ide bawaan yang disebutnya sebagai "ada yang berkeluasan" (res extensa).
Implikasi lanjut dari pemikirannya ini, yakni aku berpikir maka aku ada, maka pemikiran adalah suatu substansi yang berdiri sendiri. Konsekuensinya, Allah juga merupakan suatu substansi, maka Allah itu ada. Kesimpulan ini (aku memiliki idea tentang Allah maka Allah ada) disebut argumen ontologis. Kalau kita mengatakan bahwa Allah itu sempurna, maka semestinya ada seseorang yang menyandang predikat ini. Tidak mungkin predikat atau sifat "sempurna" berdiri sendiri, tanpa ada kaitan apa pun dengan suatu entitas yang riil sebagai eksistensinya.
Dualisme Jiwa-Badan
Pemikirannya tentang dua subsatnsi yang terpisah dalam diri manusia (jiwa-badan), menunjukkan bahwa Descartes meyakini manusia sebagai makhluk dualisme. Kedua substansi tersebut dihubungkan oleh sebuah kelenjar kecil di otak yang dinamakan glandula pinealis. Muncul pertanyaan: Bagaimana kita menjelaskan adanya keinginan dan kompleksitas emosi dalam kaitannya dengan dualisme jiwa-badan? Descartes mengatakan: "The passions, therefore, are emotions of the soul which are caused by the body; and they must, of course, be distinguished from the perception that we have of these passions. The emotion of fear and the clear perception of the fear and its nature are not the same thing. The passions are all god in their nature, but they can be misused, and they can be allowed to grow to axcess. We have, therefore, to control them".
Dengan demikian, keinginan-keinginan merupakan hasil dari sifat dasar dari binatang karena selalu tanpa jiwa (otomatis). Bagi binatang, badan bisa bernafas, merasa lapar, tanpa intervensi dari pikiran atau jiwa. Sedangkan dalam manusia, jiwa mengendalikan semuanya itu.
Etika
Kemampuan manusia dalam mengendalikan hasrat-hasratnya menentukan kualitas kejiwaannya. Kondisi kejiwaan harus menguasai gerak tingkah laku agar manusia pantas menyandang predikat sebagai yang memiliki kebebasan spiritual. Ada enam nafsu pokok: cinta, kebencian, kekaguman, gairah, kegembiraan, dan kesedihan. Manusia akan bebas jika sanggup mengendalikan keenam nafsu di atas. Namun otonomi manusia menjadi sejati justru karena kebebasannya dituntun oleh penyelenggaraan ilahi.
Eksistensi Manusia dan Allah
Menurut Descartes, jika Allah itu sungguh baik dan bisa diandalkan maka manusia boleh merasa pasti akan keberadaan alam dunia material di sekelilingnya. Kredibilitas Allah menjamin kepastian pengetahuan kita mengenal benda-benda material yang kita upayakan berkat penggunaan akal budi. Dengan demikian, Allah merupakan ide yang menjamin kepastian epistemologis keberadaan manusia.
Beberapa Kritik
Rasionalisme Descartes
Dalam kaitannya dengan rasionalisme Descartes yang menekankan cogito (aku yang berpikir), terdapat bahaya di mana pemutlakan rasio menggiring manusia pada pengabaian aspek empiris. Â Pengabaian Descartes terhadap aspek empiris menggiring manusia pada pemahaman yang pincang akan realitas. Menghadapi kenyataan tentang sesuatu yang lain, muncul pertanyaan: Seberapa jauh kita mengetahui tentang apa yang sedang berlanngsung dalam akal budi (pikiran) orang lain?
Jika kita menerima argumen ini, bahwa "berpikir" dan "pengetahuan" itu adalah fiksi belaka, lalu bagaimana dengan "aku berpikir?" Biarpun orang bisa menolak apa yang ia ketahui dan pikirkan, paling tidak masih ada "sang pemikir" yang bisa dijadikan landasan  untuk mendapatkan pengetahuan seperti dalam cogito ergo sumnya Descartes ini. Namun F. Nietzsche membantah keyakinan ini. Jika pengetahuan dianggap bersumber pada sebuah kesadaran atau sebuah "aku" yang berpikir, akan tetap dapat diajukan pertanyaan lagi tentang dari mana asal "aku" dan "berpikir" ini. Jika saya mengatakan, "aku sedang berpikir" maka perlu ada kondisi lain sebagai pembanding, misalnya yang terjadi saat ini adalah "aku" yang sedang "berpikir" dan bukan sedang "merasakan" atau "menginginkan".
Manusia lengkap dengan perasaannya yang kalut dan dorongan hatinya yang tersembunyi-kadang sulit ditangkap untuk disimpulkan. Tentang hidup dan matinya manusia, tentang Tuhan dan Iblisnya, ragu adalah sesuatu yang tak terelakan. Sebab itu, manusia, kata Blaise Pascal, hanyalah sepasang galah yang berpikir, un roseau pensant. Pascal sendiri, sebelum berusia 16 tahun menulis sebuah risalah theorem yang mengejutkan Descartes, filosof ini. Filsafatnya merupakan reaksi atas rasionalisme Descartes dan para pengikutnya. Menurut Pascal, ada sesuatu yang lebih penting dari pada akal budi yaitu "logika hati" (hati mempunyai alosan-alasan yang sama sekali tidak diketahui oleh akal, Le coueur a se raisons,que la raison ne connait point.
Rasionalisme Menuju Totalitas
Pemikiran Descartes tentang kemerdekaan subjek sebagai reaksi atas kehidupan zamannya yang tunduk di bawah totalitas kitab suci, gereja, dan tradisi atau negara, sebenarnya justru melahirkan benih totalitas dalam wajah baru. Goenawan Mohamad sebagaimana yang dikuti oleh Felix Baghi, menulis: "Kita berpikir, maka kita pun tak lepas dari identitas-identitas, membentuk pengertian-pengertian, dan kategori-kategori. Dengan kata lain, membentuk serta menggunakan konsep. Membentuk dan menggunakan konsep berarti menguasai keanekaragaman dan serangkut fenomena di luar kesadaran dan serentak dengan itu meletakkan mereka di dalam suatu kurungan yang sama, dan membekukan mereka sampai terjadi kesamaan".
Cara berpikir demikian memang cukup mengejutkan, namun  itulah yang menjadi bahan refleksi bagi filsafat modern. Dengan demikian, untuk mencekal terjadinya totalitas yang cenderung totaliter dengan kemerdekaan berpikir hidup semaunya, F. Nietzsche mengatakan "tidak ada kebenaran yang pasti". Segala sesuatu bersifat relatif, selalu diperoleh dari sudut pandang tertentu tanpa bisa menutup "kebenaran" dari sudut pandang lain.
Penutup
Menutup pembahasan ini, penulis ingin mengutip sebuah puisi dari F. Nietzsche yang ia tulis ketika berumur 20 tahun berjudul: "Aku  ingin mengenalmu, Yang Tak Dikenal".
"Kau merebut kedalaman jiwaku            Â
Kau yang menghempas hidupku seperti badai
Kau yang tak bisa ditangkap, kau yang seluhur denganku
Aku ingin mengenalmu, bahkan melayanimu".
Adorasi ini menyiratkan sebuah pengalaman yang melampaui rasionalitas sebagaimana yang diisyaratkan oleh Descartes. Justru sikap merelatifkan segala sesuatu menjadi kancah terbaik di mana pengakuan akan kebenaran lain mendapat tempat yang layak dalam proses dialektika. Walaupun demikian, kita patut mengapresiasi pemikiran Descartes di mana dengannya kemerdekaan berpikir dapat terwujud dengan baik.
Daftar Rujukan
Baghi, Felix. Alteritas, Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan. (Etika Politik dan Postmodernisme). Maumere: Ledalero, 2012.
Budi Hardiman, F. Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Â 2007.
Copleston,  Frederick  A History of Philosophy,vol. IV . Burns and Oates LTD: London, 1965.
Majalah TEMPO 28 Maret 2010.
Petrus L. Simon Tjahjadi. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, dari Descartes Sampai Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, Â 2007.
Santosa, Akhmad. Nietzsche Sudah Mati. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H