Menilik pada kasus karhutla terparah tahun 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis sejumlah pelaku dan dalang di balik karhutla. Diketahui sedikitnya sebanyak 64 perusahaan baik luar negeri maupun lokal.Â
Selain itu, analisis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada tahun 2015 mengungkap mayoritas titik api berada dalam konsesi perusahaan, baik dalam Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun perkebunan sawit milik korporasi.Â
Arie Rompas Direktur Eksekutif WALHI Â Kalteng mengatakan, kebakaran karena pola penguasaan lahan korporasi terlalu luas. Dari 15,3 juta hektar luas Kalteng, 12,7 juta hektar (78%) dikuasai investasi. Baik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sawit maupun pertambangan.
"Kalteng memiliki lahan gambut paling luas 3,1 juta hektar. Sudah habis untuk investasi perkebunan sawit. Kesalahan pemerintah yakni pembangunan lahan gambut sejuta haktar zaman Soeharto dan membuka gambut yang menjadi titik api. Gambut itu ekosistem basah yang ketika kering mudah terbakar," katanya. Tahun 2015, terdapat 17.676 titik api di Kalteng. Kebanyakan di konsesi. Namun upaya penegakan hukum masih kurang.
Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia terkait pembakaran hutan, pelaku karhutla diancam pidana paling lama 10-15 tahun dengan denda berkisar 1,5-15 miliar.Â
Undang-undang tersebut di antaranya adalah Undang-Undang (UU) No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan UU 39/2014 tentang Perkebunan.Â
Namun berbeda dari hukum positif yang berlaku, WALHI menyoroti penanganan penegakan hukum dalam kasus karhutla. WALHI menyayangkan proses penegakan hukum yang memakan waktu sangat lama.Â
Lamanya proses hukum dinilai WALHI dapat mempengaruhi proses persidangan dalam kasus karhutla yang dilaukan oleh korporasi, baik menyangkut isi putusan maupun pelaksanaan eksekusi putusan hukum. Pihak korporasi terkesan berusaha mengulur waktu dan mencari celah hukum.
Penerapan Kapitalisme: Akar Masalah Penegakan Hukum
Sistem kapitalisme menjauhkan penegakan hukum yang ideal kepada penegakan hukum berasaskan manfaat. Â Walaupun segudang peraturan perundang-undangan yang dinilai ideal telah diadopsi, namun tatkala sistem kapitalisme diterapkan penegakan hukum tak akan menyentuh aktor-aktor besar di balik kasus karhutla yang terjadi.Â
Sehingga menjadi hal yang logis jika kasus karhutla besar-besaran menjadi fenomena "rutin" tiap tahunnya yang menimbulkan dampak lingkungan hidup.Â