KARHUTLA "RUTIN", ADA APA DENGAN NEGERI?
Oleh : Diyaa Aaisyah Salma (Aktivis Muslimah)
"Khusus Karhutla gambut, 100 persen oleh manusia. Mitigasi untuk faktor alam, lebih ditekankan pada pengurangan risiko Karhutla. Tapi yang paling penting adalah mencegah Karhutla oleh manusia"Â (Prof. Lailan Syaufina-Guru Besar IPB)
Karhutla "Rutin"
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) besar kembali terjadi. Kali ini karhutla besar terjadi di provinsi Riau. Hingga pekan lalu, tercatat luas karhutla di provinsi Riau telah mencapai luas yang tak tanggung-tanggung, yakni seluas 1.060,85 hektare.Â
Dari 12 kabupaten/kota di Riau tempat terjadinya karhutla, empat kabupaten menjadi Kawasan paling luas mengalami karhutla. Empat kabupaten tersebut adalah kabupaten Rokan Hulu (Rohul) seluas 302,5 hektare, Kampar seluas 139,47 hektare, Bengkalis seluas 136,70 hektare, Rohan Hilir (Rohil) seluas 147 hektare, dan Pelalawan 113,20 hektare.Â
Adapun karhutla di kabupaten lain di Indragiri Hulu (Inhu) seluas 31.90 hektare, Indragiri Hilir (Inhil) 80.50 hektare, Kuansing 0.50 hektare, Meranti 32,10 hektare, Siak 13.24 hektare, Pekanbaru 13.79 hektare, Dumai 49.95 hektare.
Sejak tahun 2022, BNPB mencatat telah terjadi 131 peristiwa karhutla di Indonesia yang mengakibarkan beribu-ribu hectare hutan terbakar. Pada tahun 2021 karhutla mencapai sekitar 353 ribu hektare, tahun 2020 sekitar 296 ribu hektare dan tahun 2019 tercatat sebagai tahun terparah kasus karhutla dalam beberapa tahun terakhir menghanguskan seluas 1,65 juta hectare lahan hutan.Â
Penanganan karhutla cukup sulit dilakukan karena beberapa faktor, yakni trek darat menuju lokasi, kondisi angin dan sumber air. Terlebih jika karhutla terjadi pada lahan gambut akan sulit untuk dideteksi dan dipadamkan karena api merambat di bawah permukaan.
Cengkraman Korporasi Di Balik Fenomena Karhutla
Memasuki musim kemarau tiap tahun marak dijumpai kasus karhutla dan diikuti dengan ditangkapnya puluhan orang pelaku pembakaran hutan dan lahan.Â
Pembukaan lahan menjadi motif utama hampir di setiap kasus karhutla yang dilakukan dengan sengaja. Di antara banyaknya pelaku, korporasi-korporasi menjadi pihak yang perlu disorot dalam hal ini.Â
Menilik pada kasus karhutla terparah tahun 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis sejumlah pelaku dan dalang di balik karhutla. Diketahui sedikitnya sebanyak 64 perusahaan baik luar negeri maupun lokal.Â
Selain itu, analisis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada tahun 2015 mengungkap mayoritas titik api berada dalam konsesi perusahaan, baik dalam Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun perkebunan sawit milik korporasi.Â
Arie Rompas Direktur Eksekutif WALHI Â Kalteng mengatakan, kebakaran karena pola penguasaan lahan korporasi terlalu luas. Dari 15,3 juta hektar luas Kalteng, 12,7 juta hektar (78%) dikuasai investasi. Baik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sawit maupun pertambangan.
"Kalteng memiliki lahan gambut paling luas 3,1 juta hektar. Sudah habis untuk investasi perkebunan sawit. Kesalahan pemerintah yakni pembangunan lahan gambut sejuta haktar zaman Soeharto dan membuka gambut yang menjadi titik api. Gambut itu ekosistem basah yang ketika kering mudah terbakar," katanya. Tahun 2015, terdapat 17.676 titik api di Kalteng. Kebanyakan di konsesi. Namun upaya penegakan hukum masih kurang.
Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia terkait pembakaran hutan, pelaku karhutla diancam pidana paling lama 10-15 tahun dengan denda berkisar 1,5-15 miliar.Â
Undang-undang tersebut di antaranya adalah Undang-Undang (UU) No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan UU 39/2014 tentang Perkebunan.Â
Namun berbeda dari hukum positif yang berlaku, WALHI menyoroti penanganan penegakan hukum dalam kasus karhutla. WALHI menyayangkan proses penegakan hukum yang memakan waktu sangat lama.Â
Lamanya proses hukum dinilai WALHI dapat mempengaruhi proses persidangan dalam kasus karhutla yang dilaukan oleh korporasi, baik menyangkut isi putusan maupun pelaksanaan eksekusi putusan hukum. Pihak korporasi terkesan berusaha mengulur waktu dan mencari celah hukum.
Penerapan Kapitalisme: Akar Masalah Penegakan Hukum
Sistem kapitalisme menjauhkan penegakan hukum yang ideal kepada penegakan hukum berasaskan manfaat. Â Walaupun segudang peraturan perundang-undangan yang dinilai ideal telah diadopsi, namun tatkala sistem kapitalisme diterapkan penegakan hukum tak akan menyentuh aktor-aktor besar di balik kasus karhutla yang terjadi.Â
Sehingga menjadi hal yang logis jika kasus karhutla besar-besaran menjadi fenomena "rutin" tiap tahunnya yang menimbulkan dampak lingkungan hidup.Â
Akar permasalahan ini tidak jauh-jauh dari ihwal pembangunan ala sistem kapitalisme yang senantiasa mendewakan dan mengejar pertumbuhan ekonomi dengan segala cara, termasuk mengekploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan tata kelola lingkungan.
Dari kasus karhutla ini dapat dianalisis bahwa nampak negeri ini telah menganut sistem kapitalisme secara sadar dan mengabaikan dampak yang disebabkan dari diterapkannya sistem tersebut.Â
Jika negeri ini menginginkan terselesaikannya permasalahan lingkungan hidup dan penegakan hukumnya, maka negeri ini tak cukup hanya melakukan pergantian pejabat ataupun merumuskan berbagai perundangan. Karena selama sistem kapitalisme diterapkan, maka pejabat-pejabat maupun peraturan baru hanya akan bekerja berdasarkan kebermanfaatan belaka.Â
Dari hal ini negeri perlu mengganti sistem kapitalisme dengan sistem yang menjamin dan melindungi masyarakat sepanjang masa dan menjatuhi hukuman tegas bagi pelaku kejahatan secara adil, baik berasal dari golongan rakyat biasa, korporasi, hingga pejabat terkait. wallahu'alam bisshawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI