Mohon tunggu...
Darz Sudarsono
Darz Sudarsono Mohon Tunggu... Dosen - Nama lengkap: Sudarsono Muhammad Ihrom; Nama panggilan: Darz, Tufron; Tempat/Tanggal Lahir: Jember, 5 Juli 1966; Pendidikan Terakhir: Master, The Language and Arts Education, The Ohio State University, Columbus, USA; Pekerjaan: Dosen Senior di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FPBS Universitas Pendidikan Indonesia

Bio Nama lengkap: Sudarsono Muhammad Ihrom Nama panggilan: Darz, Tufron Tempat/Tanggal Lahir: Jember, 5 Juli 2020 Pendidikan Terakhir: Master, The Language and Arts Education, The Ohio State University, Columbus, USA Pekerjaan: Dosen Senior di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FPBS Universitas Pendidikan Indonesia Zodiak: Cancer (tapi lebih cocok Scorpio) Nomor Telepon: 082320434886 Hobby: Belajar, Membaca, Menulis, Menonton, Hiking, Travel Hal yang paling disuka: Melihat foto-foto sejarah dunia Hal yang paling dibenci: Melihat kabel-kabel semrawut dan pating slengkrah Makanan Favorit: Rendang, Gudek, Sayur asem, Pisang goreng, Gehu pedas Buah Favorit: Rujak, Sawo, Nenas, Semangka Minuman Favorit: Kopi, Bandrek, Bajigur Artis favorit: Titiek Puspa, Dian Sastro, Slamet Raharjo Warna Favorit: Biru laut Kata Mutiara: Bersyukur: Yakin semua kebutuhan dipenuhi dan setiap doa dikabulkan (Whether or not you know it!); Bersabar: Yakin janji Alloh SWT benar (Everyghing’s in store already for you!) Cewek idaman: Istri sholehah Pesan dan Kesan: Humble, Helpful, and Professional

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Beberapa Kendala Akses Merdeka Belajar

8 Juni 2020   12:38 Diperbarui: 8 Juni 2020   12:58 6728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ditulis oleh: Sudarsono M.I. (Dosen Senior di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FPBS UPI)

Yang dimaksud kendala adalah faktor-faktor yang menghambat proses atau yang menyebabkan proses tidak memberi hasil maksimal. Dalam hal ini kendala menyebabkan pembelajaran tidak mengembangkan kompetensi seperti yang dikehendaki.   

Karena merdeka pada dasarnya adalah pekerjaan pikiran (mind works) maka kendala untuk merdeka sebenarnya adalah kendala pikiran. Pikiran bekerja dengan membuat hubungan-hubungan baru atau menciptakan realitas simbolis baru dari hubungan-hubungan yang ada.

Belajar lazimnya dipandang sebagai aktivitas siswa, mengajar aktivitas guru, dan pendidikan aktivitas umum yang lebih abstrak dan all-encompassing yang di dalamnya terliput berbagai faktor baik internal maupun eksternal, didaktik-pedagogis maupun non-didaktik dan non-pedagogis.

Untuk mengefektifkan tulisan pendidikan di sini dirujuk kegiatan intinya saja, yakni pendidikan sebagai "kegiatan-siswa-belajar", yang guru berperan untuk mendesain akses dan sekolah (kampus) meng-enable akses. 

Jadi sederhananya: pendidikan adalah membuat siswa belajar dan kendala pendidikan adalah segala hambatan yang menyebabkan gagalnya kegiatan-siswa-belajar. Kegagalan guru mendesain akses akan berujung pada gagalnya kegiatan-siswa-belajar; gagalnya kepemimpinan sekolah (kampus) memahami fungsi "to enable access" akan berimbas pada gagalnya kegiatan-siswa-belajar.

Kendala akses pertama: ketika lingkungan tidak kondusif

Lingkungan pendidikan bisa manifest by-chance, bisa by-design. By-chance artinya lingkungan sudah ada tanpa perlu dipersiapkan terlebih dahulu sebelumnya, tanpa harus menjawab pertanyaan what-why-how here/there. By-design artinya lingkungan dipersiapkan lebih dulu dengan matang sesuai kaidah-kaidah didaktik-pedagogis. Lingkungan seperti ini dirancang dengan sadar, berbasis ilmu dan kearifan, untuk memenuhi semua keperluan agar proses pembelajaran berlangsung efektif.

Lingkungan kelas (sekolah, kampus) by-design memiliki dimensi struktur dan kultur. Disebut berdimensi struktur karena kelas adalah komponen organik institusi di atasnya dengan garis hierarki dan fungsi yang jelas. Konten materi dan segala sesuatu yang terkait dengan satuan operasional pembelajaran adalah fragmen (albeit focal) dari keseluruhan ekosistem yang besar.

Disebut berdimensi kultur karena nilai dan norma yang melandasi praktek-praktek pembelajaran di kelas adalah hasil konvensi yang membentuk tradisi, dan akibat langsung dari sistem "kesadaran" yang dibangun oleh unit-unit pikiran dari waktu ke waktu. Dimensi kultur mewarnai sikap dan ideolektik baik dalam materi, media, prakondisi, maupun skenario pembelajaran.

Kedua dimensi lingkungan ini akan membentuk dan memberi warna proses dan hasil pembelajaran. Uniknya, guru berdiri di atas dua kaki: sebagai bagian dari struktur sekolah yang adalah perpanjangan tangan kekuasaan organisasi sekolah dan lembaga di atasnya; namun di sisi lain ia juga berposisi sebagai bagian dari dari siswa dalam konteks skenario pembelajaran (guru-proses-murid): guru mengajar dan murid belajar dalam kesatuan proses.

Seperti dalam dua ekstrim pendulum: sekali waktu guru memperlihatkan kekuasaan struktur (serba tahu, serba bisa, serba mengatur); sekali waktu yang lain guru juga menunjukkan dirinya bagian dari persona murid yang serba lemah (incognizant, incapable, dan subservient).

Pada ekstrim struktur beberapa di antaranya yang lazim adalah guru mengelola kegiatan pembelajaran, memberi tugas, dan menentukan nilai evaluasi. Namun terdapat juga jenis kekuasaan yang lain, yang lebih "subtle" (saru), dalam arti tidak berhubungan dengan proses didaktik dan tidak lazim secara ilmu pedagogi, yakni mengenakan baju dinas di depan murid ketika berlangsung proses pembelajaran. Baju dinas ini membuat jarak dan secara tidak langsung berpotensi indoktrinasi (uncritical teaching) pada perkembangan pikiran murid.

Pada ekstrim kultur, di antaranya adalah guru berada dalam psychological bubble murid; guru-murid merasa sebagai kesatuan entitas yang sama-sama belajar dalam satu emotional space: guru tidak segan belajar kepada murid dan murid tidak memandang guru sebagai figur asing di kelas---berkomunikasi dengan guru seperti berdialog dengan diri sendiri.

Lingkungan yang membuka akses adalah lingkungan yang ramah, yang keberadaannya dikehendaki oleh siswa, yakni yang diperlukan sesuai kebutuhan belajar dan mendukung dialog. Oleh karena itu lingkungan bisa bersifat animate (manusia; baik individual maupun kolektif) dan non-animate (non-manusia; lokasi dan barang, baik by-design maupun by-chance).

Secara nilai, lingkungan manusia memiliki dampak langsung pada tingkah laku siswa dalam artian "learning" (proses transmisi ilmu melalui bahasa dan simbol; mis. kesigapan respons, baik oleh pimpinan, staf, guru, tanpa pretensi); sedangkan lingkungan non-manusia memiliki dampak tidak langsung (tata-letak dan tata-laksana yang cenderung fleksibel vs kaku, pintu yang lebih berfungsi membuka vs menutup akses, dll.; mis. ruang kelas yang ditata untuk memediasi dan interaktif).

Dengan demikian lingkungan yang membuka akses memposisikan dirinya dalam perspektif siswa (stand in students' shoes); tanpa kapasitas ini lingkungan menjadi tidak kondusif untuk memahami "voices" siswa dan "imaginaries" yang mereka bawa ke sekolah sebagai modal belajar.

Kendala akses kedua: ketika tidak terbangun sense of agency

Agency biasanya dikaitkan dengan pemikiran tentang ownership siswa dalam proses belajar dalam artian siswa mampu membuat keputusan sendiri dan berkomitmen dengan keputusannya itu, mampu merumuskan sendiri tujuan belajarnya dan bertanggung-jawab dengan apa pun hasilnya, mampu membuat arah kegiatan belajarnya sendiri serta siap dengan konsekuensinya--serba superlatif, sebagaimana istilah student agency: agent for the change of one's own self. 

Namun jika situasinya seperti ini tentu tidak diperlukan kehadiran guru untuk membimbing siswa. Normalnya kemampuan superlatif agency hanya bisa berjalan bila seseorang telah memiliki kapasitas yang cukup untuk membuat pilihan-pilihan dan berkomitmen dengan pilihan-pilihan tersebut (the capacity without which agency cannot be assumed).

Yang dimaksud di sini adalah sense of agency (tekanan pada SENSE) yakni bahwa siswa memiliki kesadaran bahwa dirinya sejatinya adalah subyek (Jawa: diwongke) dalam keseluruhan proses: kehadirannya diberi tempat, pikirannya dipandang positif, dan partisipasinya dihargai. Siswa yang sebelumnya memiliki kesan bahwa dirinya obyek dan pasif (diposisikan: diajari, ditugasi, dievaluasi) menjadi berpikir subyek dengan atribut-atribut positif (berposisi: mampu belajar, mengemban tugas, menilai diri sendiri).

Tugas Merdeka Belajar adalah memastikan untuk menghilangkan kendala yang menghambat proses ini. Kendala yang menghambat ini bisa dikatakan berhasil dilenyapkan bila sense of agency ini berhasil dimiliki dengan sadar bukan hanya oleh satu atau dua orang siswa secara individu semata, melainkan menjadi features yang shared bersama seluruh kelas.

Strategi untuk membangun sense of agency yang mudah dilakukan adalah mendesain pembelajaran yang memotivasi kemampuan berpikir divergen; atau lebih tepatnya metode berpikir convergent-divergent dan divergent-convergent secara taktis.

Tantangannya tentu ada pada guru dalam mendesain skenario akses sedemikian rupa sehingga siswa mampu masuk ke dalam metode berpikir seperti yang dimaksud. Tantangan tersebut berupa konten dan pedagogis; konten berarti penguasaan dan pemahaman yang baik atas materi pembelajaran, dan pedagogis berarti pengelolaan dan eksekusi satuan prosedur untuk mengusung penguasaan konten pada siswa.

Kendala akses ketiga, ketika tidak diperoleh model

Sebuah model merupakan gambaran tentang suatu entitas atau realitas yang dipandang paling representatif dari sehimpunan kasus-kasus yang ditentukan. Misalnya, sebuah model tentang teks deskriptif, lisan atau tulisan (untuk contoh kasus kita ambil yang tulisan).

Dari tujuannya, teks jenis ini ingin menggambarkan suatu obyek secara detail sedemikian rupa sehingga pembaca dapat menangkap citra tentang obyek tersebut perinci sebagaimana digambarkan. Namun hal ini dilakukan dalam waktu dan tempat yang serba terbatas, katakanlah dalam 100-200 kata (tanpa modalitas visual atau apa pun yang lain, murni dalam dimensi kata) yang pembaca selesai menyimaknya dalam waktu kurang lebih 5 menit dengan hasil paripurna. Maksudnya, gambaran yang ada dalam pikiran pembaca sebisa mungkin persis menyerupai gambaran yang ada dalam pikiran penulis.

Dengan keterbatasan modalitas dan waktu maka diperlukan model yang tepat untuk keperluan ini. Berbeda bila situasinya here-now dan serba "mewah"; misalnya, barangnya bisa dihadirkan, siswa bisa berinteraksi dengan barang, terdapat perangkat audio-visual multiple dimensi, waktu luang yang banyak untuk mengeksplorasi, siswa telah sering melihat barang tersebut, dll. (biasanya sekolah-sekolah tertentu yang serba lengkap media centernya memiliki kemewahan ini dan sanggup menghadirkan obyek sehingga dimensi-dimensi yang diperlukan dapat diinderai secara rinci; tapi kebanyakan sekolah tidak demikian). Maka dapat dipastikan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah model teks yang sesuai hampir pasti tujuan menggambarkan obyek tidak tercapai dengan baik.

Teks deskriptif banyak digunakan oleh guru dan mahasiswa PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) untuk mempraktekkan ilmu mengajar, sesuai dengan tuntutan konten materi. Penulis sering menjumpai, teks yang tampak sepele ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan dalam kenyataan di lapangan, terlebih dalam konteks pedagogi formal.

Dari pengamatan kesulitan bisa terletak pada empat tempat: 1) ketidak-siapan siswa untuk belajar jenis kemampuan ini dari segi entry level dan schemata; 2) penguasaan genre yang lemah pada sisi pengajar; 3) ketidak-sesuaian pemahaman model antara siswa dan pengajar; dan 4) pemilihan contoh teks yang tidak tepat (tidak memenuhi kaidah model teks deskriptif yang baik) untuk mengilustrasikan materi.

Kesulitan yang inheren dan khas untuk memahami sebuah model (misalnya deskripsi sebuah obyek) juga bisa terletak pada sub-sub deskripsi yang membentuk features tersendiri yang menjadikannya sub-model terpisah. Misalnya, gambaran kucing. Sebelum tiba pada penggambaran kucing tertentu biasanya  deskripsi merujuk pada sub-sub model pembentuk entitas kucing pada umumnya yang serba khas (yang lebih bersifat report genre); misalnya, mata, telinga, kumis, bulu, ukuran, dll; kemudian model kucing yang bersifat umum.

Sekedar berbagi, penulis sendiri pernah mengalami kesulitan memahami pengertian quantum leap karena deskripsi yang lemah. Yang muncul di pikiran ketika awal mula mendengar istilah tersebut adalah katak yang bisa melompat jauh sekali jejak (leap); atau panther yang berlari kencang dengan lompatan-lompatan panjang dan cepat. Jadi yang muncul pertama dalam pikiran adalah "conceptual model of leap".

Kesulitan berikutnya adalah pengertian kuantum. Dalam bayangan penulis, di mana kuantumnya si katak ini? Yang sudah dipahami adalah bahwa kuantum artinya hitungan dalam satuan-satuan. Terkait quantum leap, yang sedang dipelajari adalah tentang atom; bayangan tentang atom adalah ledakan di Hiroshima dan Nagasaki. Adakah hubungan antara loncatan katak dengan ledakan atom seperti di Hiroshima? Bagi penulis yang lugu ini, perlu gambaran yang jelas dan gampang dimengerti tentang quantum ini, dan harus ketemu modelnya, baru kemudian mengerti apa itu quantum leap.

Jadi diperlukan model utama (quantum leap model), sub-sub model (leap model dan quantum model, yang membangun model utama), dan model penyerta (atomic orbital, physics, yang berfungsi konteks). Kegagalan menghadirkan model-model yang sesuai agar  memahami materi dengan konsep-konsep tertentu akan berkontribusi pada kemandekan siswa dalam proses berpikirnya.

Bila bangunan ilmu diandaikan bangunan rumah (gaya berpikir Bernsteinian), maka mencari ilmu adalah seperti membangun rumah. Alam pikir siswa melengkapi dirinya dengan konsep dasar tentang rumah dan konsep dasar ini menjadi model heuristik bagi dirinya ketika membangun rumah atau ketika mengembangkan rumahnya: bagaimana mendesain ruangan beserta pintu dan jendela sesuai fungsinya; mendesain jalan dari pintu ke pintu atau dari ruangan ke ruangan; menata perabot sesuai peruntukan dalam ruangan. Dari dalam, rumah memiliki schema untuk pengembangan dan fungsi sesuai misinya; dari luar, bangunan rumah merefleksikan fungsi-fungsi ruangan sekaligus mengkomunikasikan visi pemiliknya.

Model ini menjadi menjadi titik temu antara harapan siswa dan harapan pengajar; antara apa yang ingin dipelajari siswa dengan apa yang akan disampaikan pengajar: di bagian mana ilmu baru yang disampaikan pengajar akan direlokasi dalam skema berpikir siswa? Bila tidak compatible dengan model yang dimiliki siswa, atau tidak terdapat slot yang sesuai dengan skema pengembangan alam pikir siswa, maka di sini siswa tidak memperoleh akses untuk belajar ilmu baru.

Kendala akses keempat, ketika tidak ditemukan konteks

Konteks di sini pengertiannya sederhana, yakni, context of use, yaitu, bagaimana menerapkan teori (dan hypernymnya,  konsep) ke dalam praktek; dan menerapkan konsep ke dalam aplikasi. Konsep dan teori diperlukan dalam setiap proses pembelajaran karena keduanya berfungsi memberi arah dan memandu tahapan-tahapan pemahaman. Demikian juga, praktek dan aplikasi diperlukan untuk menginternalisasikan teori dan konsep dan menerapkan keduanya dalam kehidupan.

Penerapan teori melalui praktek membuat materi pembelajaran hidup dalam alam pikir individu-masyarakat dan membentuk inter-relasi yang dinamis antara yang simbolis dan abstrak dengan yang faktual dan kongkrit. Teori yang tidak menemukan konteks aplikasi di lapangan akan sulit untuk masuk ke dalam pemahaman siswa sehingga tidak menjadi bagian yang membentuk model perkembangan  kognisinya. 

Bila inkongruensi antara teori (konsep) dan praktek (aplikasi) berlangsung lama dan kronis, materi pelajaran tidak akan membangun fondasi bagi sistem keterampilan dan berpikir siswa, dan "attitude of loving to learn and learning to love", malah hanya akan menjadi beban bagi pikirannya. Siswa dengan beban seperti ini akan bertingkah laku seperti zombie: hilang cahaya pikirannya yang cemerlang karena hafalan-hafalan yang teramat banyak, berulang-ulang, tidak bermakna, dan tidak berguna untuk hidup dan bermasyarakat.

Pembelajaran yang efektif terletak pada seni membuat teori yang serba abstrak dan tampak inaccessible menjadi kongkrit dan mudah dipahami serta membangun attitude pada siswa untuk senang berinteraksi dengan makna-makna baru. Kegagalan pemahaman lazimnya dikaitkan dengan rote learning; bukan berarti rote learning tidak penting, namun ia hanya merupakan satu bagian kecil dari proses panjang pembelajaran yang dinamis. Lebih bijak untuk membiarkan siswa sedikit saja hafal materi konten dan sisanya yang lebih banyak adalah ruang untuk mengembangkan kreativitas: bereksperimen dengan makna.

Mari ambil sebuah contoh untuk pembelajaran bahasa (mis. dalam hal ini Bahasa Inggris), yakni, "meaning as a system". Banyak kalangan berpendapat konsep ini terlalu abstrak--hanya bisa diakses oleh siswa/mahasiswa tingkat tinggi. Dalam hal ini izinkan penulis berpendapat berbeda (sedikit Vygotskian, sedikit Chomskian) bahwa semua siswa pada semua tingkatan memahami "meaning as a system."

Mereka paham apa itu "meaning"; dan mereka paham apa itu "system". Mereka paham bahwa "meaning" dihasilkan dari sejumlah pengamatan yang konsisten; dan mereka paham bahwa "meaning" dibangun atas susunan tertentu. Yang mereka tidak paham adalah himpunan peristilahan abstrak yang menyertai premis ini. Dan yang kadang membuat mereka tidak paham adalah justru "penjelasan" yang sering lebih rumit dari pada yang dijelaskan.

Dengan caranya yang unik pada tingkat intelegensianya yang serba terbatas sejak kanak-kanak siswa telah belajar berbagai obyek, mengamati dengan tajam kejadian-kejadian, dan meresapi makna-makna. Sejak kanak-kanak mereka telah belajar mencermati simbol-simbol: belajar mengidentifikasi fakta, belajar memilah data, dan belajar membuat generalisasi. Pendidikan bertugas menyediakan model-model berlatih dan bernalar agar kemampuan berjalan lebih strategis, fleksible, efisien.

Suatu teori atau konsep yang tidak bisa ditemukan maknanya dalam kehidupan nyata adalah nonsense; mereka memahami itu. Mereka juga memahami bahwa makna akan berubah ketika susunan premis berubah, atau ketika direct audience berubah; ketika kata bersanding dengan gestur dan kinesik tertentu, ketika ada satu atau dua bagian dihilangkan dari premis, ketika ada leksis lain masuk premis, ketika variety dan konteks sosial tidak sama, ketika modalitas yang berbeda digunakan untuk ekspresi yang sama, ketika prosody dan fonologi tidak berterima seperti biasanya, dan sebagainya. Perubahan-perubahan ini terjadi pada level praktis; context of use dibuat secara sistematis untuk memahamkan bagaimana sistem makna bekerja.

Kendala akses kelima, ketika tidak terdapat "purpose and structure"

Tidak semua tindakan guru (pengajar) di kelas bernilai pedagogis (pedagogical value). Tindakan yang bernilai pedagogis bersifat khas, merupakan cerminan dari skenario yang dirancang sistematis dalam RPP, sesuai konteks lokal dan spesifik, dan menghasilkan respons dalam bentuk proses atau perubahan tingkah-laku siswa.

Salah satu bagian dari tindakan guru yang penting---artinya yang bernilai pedagogis---adalah Penjelasan Guru (sengaja menggunakan huruf besar P dan G untuk menggambarkan momen kategoris dalam proses didaktik). Yang dimaksud penjelasan adalah apa yang disampaikan guru sebagai bagian dari strategi pembelajaran baik untuk mentransmisikan pengetahuan (causality, principle), atau mengkondisikan perubahan perilaku siswa (reasoning, competency). Gaya bahasa dan pembawaan disesuaikan dengan konteks.

Penjelasan guru ini diperlukan karena merupakan amanah tujuan pembelajaran dan konsekuensi logis dari struktur subjek materi. Dengan demikian penjelasan guru bersifat terfokus dan terintegrasi (sesuai topic/theme), terstruktur (memiliki coherence), runut (memperlihatkan order), eksplisit (atas dasar principles/cases), dan sistematis (sesuai dengan method yang digunakan).

Sebagaimana sebutannya, Penjelasan Guru bersifat menjelaskan (explain), yang artinya mendudukkan materi dalam konstruksi sebab-akibat. Oleh karena itu Penjelasan Guru memiliki fungsi memberi arah (orienting) dan struktur (structuring) selain fungsi utamanya yakni menyampaikan konten utuh yang memiliki kejelasan scope dan coverage.

Secara garis besar Penjelasan Guru 1) diniatkan untuk merealisasikan tujuan pembelajaran secara keseluruhan; 2) mengelaborasi materi dengan rinci sesuai tema subyek, prinsip dasar, dan kasus-kasus yang relevan; 3) mengaitkan materi dengan urut satu bagian ke bagian lain sehingga membentuk narasi yang baik sebagai kesatuan materi yang utuh; 4) diberikan sesuai dengan kaidah-kaidah desain pembelajaran yang digunakan, melibatkan prinsip-prinsip multi-modalitas---beyond ceramah yang monodirectional dan context-deficit; dan 5) berdampak langsung pada kemampuan siswa untuk menguasai konsep-konsep sebagai bagian dari proses membangun kompetensi.

Kegagalan siswa memahami konsep-konsep rumit dan abstrak banyak disebabkan oleh ketiadaan Penjelasan Guru. Penjelasan yang baik merupakan pintu masuk untuk menguasai ilmu.

Itulah beberapa dari faktor-faktor yang bisa menjadi penghambat akses untuk merdeka belajar. Guru (pengajar), didukung sekolah, bertugas mengidentifikasi apakah terdapat potensi hambatan; sejak dari penciptaan lingkungan yang kondusif untuk belajar, pemihakan pada siswa, penciptaan model yang sesuai, pemilihan konteks penerapan yang tepat, hingga strategi penjelasan guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun