Jadi diperlukan model utama (quantum leap model), sub-sub model (leap model dan quantum model, yang membangun model utama), dan model penyerta (atomic orbital, physics, yang berfungsi konteks). Kegagalan menghadirkan model-model yang sesuai agar  memahami materi dengan konsep-konsep tertentu akan berkontribusi pada kemandekan siswa dalam proses berpikirnya.
Bila bangunan ilmu diandaikan bangunan rumah (gaya berpikir Bernsteinian), maka mencari ilmu adalah seperti membangun rumah. Alam pikir siswa melengkapi dirinya dengan konsep dasar tentang rumah dan konsep dasar ini menjadi model heuristik bagi dirinya ketika membangun rumah atau ketika mengembangkan rumahnya: bagaimana mendesain ruangan beserta pintu dan jendela sesuai fungsinya; mendesain jalan dari pintu ke pintu atau dari ruangan ke ruangan; menata perabot sesuai peruntukan dalam ruangan. Dari dalam, rumah memiliki schema untuk pengembangan dan fungsi sesuai misinya; dari luar, bangunan rumah merefleksikan fungsi-fungsi ruangan sekaligus mengkomunikasikan visi pemiliknya.
Model ini menjadi menjadi titik temu antara harapan siswa dan harapan pengajar; antara apa yang ingin dipelajari siswa dengan apa yang akan disampaikan pengajar: di bagian mana ilmu baru yang disampaikan pengajar akan direlokasi dalam skema berpikir siswa? Bila tidak compatible dengan model yang dimiliki siswa, atau tidak terdapat slot yang sesuai dengan skema pengembangan alam pikir siswa, maka di sini siswa tidak memperoleh akses untuk belajar ilmu baru.
Kendala akses keempat, ketika tidak ditemukan konteks
Konteks di sini pengertiannya sederhana, yakni, context of use, yaitu, bagaimana menerapkan teori (dan hypernymnya, Â konsep) ke dalam praktek; dan menerapkan konsep ke dalam aplikasi. Konsep dan teori diperlukan dalam setiap proses pembelajaran karena keduanya berfungsi memberi arah dan memandu tahapan-tahapan pemahaman. Demikian juga, praktek dan aplikasi diperlukan untuk menginternalisasikan teori dan konsep dan menerapkan keduanya dalam kehidupan.
Penerapan teori melalui praktek membuat materi pembelajaran hidup dalam alam pikir individu-masyarakat dan membentuk inter-relasi yang dinamis antara yang simbolis dan abstrak dengan yang faktual dan kongkrit. Teori yang tidak menemukan konteks aplikasi di lapangan akan sulit untuk masuk ke dalam pemahaman siswa sehingga tidak menjadi bagian yang membentuk model perkembangan  kognisinya.Â
Bila inkongruensi antara teori (konsep) dan praktek (aplikasi) berlangsung lama dan kronis, materi pelajaran tidak akan membangun fondasi bagi sistem keterampilan dan berpikir siswa, dan "attitude of loving to learn and learning to love", malah hanya akan menjadi beban bagi pikirannya. Siswa dengan beban seperti ini akan bertingkah laku seperti zombie: hilang cahaya pikirannya yang cemerlang karena hafalan-hafalan yang teramat banyak, berulang-ulang, tidak bermakna, dan tidak berguna untuk hidup dan bermasyarakat.
Pembelajaran yang efektif terletak pada seni membuat teori yang serba abstrak dan tampak inaccessible menjadi kongkrit dan mudah dipahami serta membangun attitude pada siswa untuk senang berinteraksi dengan makna-makna baru. Kegagalan pemahaman lazimnya dikaitkan dengan rote learning; bukan berarti rote learning tidak penting, namun ia hanya merupakan satu bagian kecil dari proses panjang pembelajaran yang dinamis. Lebih bijak untuk membiarkan siswa sedikit saja hafal materi konten dan sisanya yang lebih banyak adalah ruang untuk mengembangkan kreativitas: bereksperimen dengan makna.
Mari ambil sebuah contoh untuk pembelajaran bahasa (mis. dalam hal ini Bahasa Inggris), yakni, "meaning as a system". Banyak kalangan berpendapat konsep ini terlalu abstrak--hanya bisa diakses oleh siswa/mahasiswa tingkat tinggi. Dalam hal ini izinkan penulis berpendapat berbeda (sedikit Vygotskian, sedikit Chomskian) bahwa semua siswa pada semua tingkatan memahami "meaning as a system."
Mereka paham apa itu "meaning"; dan mereka paham apa itu "system". Mereka paham bahwa "meaning" dihasilkan dari sejumlah pengamatan yang konsisten; dan mereka paham bahwa "meaning" dibangun atas susunan tertentu. Yang mereka tidak paham adalah himpunan peristilahan abstrak yang menyertai premis ini. Dan yang kadang membuat mereka tidak paham adalah justru "penjelasan" yang sering lebih rumit dari pada yang dijelaskan.
Dengan caranya yang unik pada tingkat intelegensianya yang serba terbatas sejak kanak-kanak siswa telah belajar berbagai obyek, mengamati dengan tajam kejadian-kejadian, dan meresapi makna-makna. Sejak kanak-kanak mereka telah belajar mencermati simbol-simbol: belajar mengidentifikasi fakta, belajar memilah data, dan belajar membuat generalisasi. Pendidikan bertugas menyediakan model-model berlatih dan bernalar agar kemampuan berjalan lebih strategis, fleksible, efisien.