Seperti dalam dua ekstrim pendulum: sekali waktu guru memperlihatkan kekuasaan struktur (serba tahu, serba bisa, serba mengatur); sekali waktu yang lain guru juga menunjukkan dirinya bagian dari persona murid yang serba lemah (incognizant, incapable, dan subservient).
Pada ekstrim struktur beberapa di antaranya yang lazim adalah guru mengelola kegiatan pembelajaran, memberi tugas, dan menentukan nilai evaluasi. Namun terdapat juga jenis kekuasaan yang lain, yang lebih "subtle" (saru), dalam arti tidak berhubungan dengan proses didaktik dan tidak lazim secara ilmu pedagogi, yakni mengenakan baju dinas di depan murid ketika berlangsung proses pembelajaran. Baju dinas ini membuat jarak dan secara tidak langsung berpotensi indoktrinasi (uncritical teaching) pada perkembangan pikiran murid.
Pada ekstrim kultur, di antaranya adalah guru berada dalam psychological bubble murid; guru-murid merasa sebagai kesatuan entitas yang sama-sama belajar dalam satu emotional space: guru tidak segan belajar kepada murid dan murid tidak memandang guru sebagai figur asing di kelas---berkomunikasi dengan guru seperti berdialog dengan diri sendiri.
Lingkungan yang membuka akses adalah lingkungan yang ramah, yang keberadaannya dikehendaki oleh siswa, yakni yang diperlukan sesuai kebutuhan belajar dan mendukung dialog. Oleh karena itu lingkungan bisa bersifat animate (manusia; baik individual maupun kolektif) dan non-animate (non-manusia; lokasi dan barang, baik by-design maupun by-chance).
Secara nilai, lingkungan manusia memiliki dampak langsung pada tingkah laku siswa dalam artian "learning" (proses transmisi ilmu melalui bahasa dan simbol; mis. kesigapan respons, baik oleh pimpinan, staf, guru, tanpa pretensi); sedangkan lingkungan non-manusia memiliki dampak tidak langsung (tata-letak dan tata-laksana yang cenderung fleksibel vs kaku, pintu yang lebih berfungsi membuka vs menutup akses, dll.; mis. ruang kelas yang ditata untuk memediasi dan interaktif).
Dengan demikian lingkungan yang membuka akses memposisikan dirinya dalam perspektif siswa (stand in students' shoes); tanpa kapasitas ini lingkungan menjadi tidak kondusif untuk memahami "voices" siswa dan "imaginaries" yang mereka bawa ke sekolah sebagai modal belajar.
Kendala akses kedua: ketika tidak terbangun sense of agency
Agency biasanya dikaitkan dengan pemikiran tentang ownership siswa dalam proses belajar dalam artian siswa mampu membuat keputusan sendiri dan berkomitmen dengan keputusannya itu, mampu merumuskan sendiri tujuan belajarnya dan bertanggung-jawab dengan apa pun hasilnya, mampu membuat arah kegiatan belajarnya sendiri serta siap dengan konsekuensinya--serba superlatif, sebagaimana istilah student agency: agent for the change of one's own self.Â
Namun jika situasinya seperti ini tentu tidak diperlukan kehadiran guru untuk membimbing siswa. Normalnya kemampuan superlatif agency hanya bisa berjalan bila seseorang telah memiliki kapasitas yang cukup untuk membuat pilihan-pilihan dan berkomitmen dengan pilihan-pilihan tersebut (the capacity without which agency cannot be assumed).
Yang dimaksud di sini adalah sense of agency (tekanan pada SENSE) yakni bahwa siswa memiliki kesadaran bahwa dirinya sejatinya adalah subyek (Jawa: diwongke) dalam keseluruhan proses: kehadirannya diberi tempat, pikirannya dipandang positif, dan partisipasinya dihargai. Siswa yang sebelumnya memiliki kesan bahwa dirinya obyek dan pasif (diposisikan: diajari, ditugasi, dievaluasi) menjadi berpikir subyek dengan atribut-atribut positif (berposisi: mampu belajar, mengemban tugas, menilai diri sendiri).
Tugas Merdeka Belajar adalah memastikan untuk menghilangkan kendala yang menghambat proses ini. Kendala yang menghambat ini bisa dikatakan berhasil dilenyapkan bila sense of agency ini berhasil dimiliki dengan sadar bukan hanya oleh satu atau dua orang siswa secara individu semata, melainkan menjadi features yang shared bersama seluruh kelas.