Bagian 1
Salah satu fenomena yang menarik dari kebijakan Merdeka Belajar Mendikbud Nadiem Anwar Makarim begitu kebijakan tersebut dibawa ke tengah masyarakat adalah reaksi kontroversial yang beragam--positif dan negatif.Â
Sebagai barang baru konsep ini oleh sebagian publik ditanggapi dengan pesimis, bahkan curiga; sementara oleh sebagiannya lagi diterima dengan siap mendukung.Â
Yang pesimis berbicara dengan jarak (mis. dengan ungkapan "ala Nadiem"), dengan was-was (mis. "saya kuatir"); dan dengan menuduh (mis. "tidak berdasar"), dll.Â
Sementara yang optimis menyambut dengan antusiasme tinggi (mis. "sebagai gebrakan"; dalam "memasuki era baru"; yang "akan memberdayakan"), dll.
Bila didalami maka akan tampak bahwa reaksi yang berbeda-beda  tersebut bersumber pada ketidak-jelasan konsep yang "mengikat" kebijakan Merdeka Belajar yang diusung Pak Menteri, lepas dari segala niat baik.Â
Kita memahami bahwa konsep memiliki peran strategis dalam penyusunan kebijakan sebelum kebijakan tersebut dirilis ke hadapan publik. Karena begitu kebijakan dirilis, dan kebijakan berkembang menjadi program, dan program menjadi rutinitas dalam masyarakat, maka rutinitas tersebut mencerminkan nilai-nilai.Â
Penerimaan atas rutinitas dan nilai-nilainya bergantung pada pemahaman yang baik dalam pikiran publik. Pemahaman ini membantu suksesnya program dan menentukan bentuk realitas kongkrit di masyarakat.Â
Tanpa kejelasan konsep, rutinitas hanya akan menjadi himpunan kegiatan tanpa kaitan-kaitan yang tersistem satu dengan yang lain; dan dalam jangka panjang ketidak-jelasan akan menghasilkan disorientasi dan apatisme.
Menurut hemat penulis, konsep diperlukan dalam konstruksi sebuah kebijakan karena konsep memiliki logika pesan.Â
Pertama, konsep berfungsi identitas. Konsep yang jelas mengidentifikasi sesuatu yang dianggap perlu perhatian serius.Â
Kedua, konsep berfungsi nilai. Begitu suatu objek berhasil diikat (captured) maka entitas tersebut siap untuk di-assess terkait signifikansi dan kebermanfaatannya.Â
Ketiga, konsep menjadi media komunikasi, dalam hal ini antara pemerintah dengan rakyatnya. Melalui konsep rakyat bisa membaca rencana-rencana dan gambaran umum pelaksanaan program.Â
Konsep mewadahi konten percakapan antara pihak-pihak yang berkepentingan. Keempat, konsep menjadi alat pertanggung-jawaban. Pemerintah menyampaikan kepada rakyat bahwa dirinya memiliki komitmen untuk merealisasikan cita-cita sebagaimana bunyi redaksi dalam konsepnya.Â
Dan kelima, konsep berfungsi evaluasi. Pemerintah, bersama rakyat, bersama-sama mengevaluasi apakah pelaksanaan program telah berjalan sesuai dengan yang dikonsepsikan.
Artikel ini memandang Merdeka Belajar yang diusung Mendikbud dikembangkan dengan pendekatan heuristik--yakni lebih bersifat strategis, praktis, dan intuitif. Efektivitasnya secara persis akan dilihat berdasarkan penyelenggaraan real begitu program digelindingkan.
Kalau boleh bermain episode tentang "merdeka belajar" sebagai istilah (huruf kecil), di luar Episode Merdeka Belajar I-II-III-IV (huruf besar sebagai kebijakan), maka narasi merdeka belajar terbagi menjadi 5 episode.
Pertama, episode ketika merdeka belajar masih menjadi istilah bebas. Istilah bebas artinya milik kamus dan thesaurus; bukan milik pemerintah, bukan milik publik.Â
Sebagai penghuni kamus maknanya sirkuler; maknanya diketahui hanya berdasarkan kaitan-kaitannya dengan entri-entri leksis yang lain di dalam kamus-thesaurus itu. Dan begitu keluar dari dunia kamus makna ini bergerak liar seperti radikal bebas, bunyinya akan tergantung pada tempat ia menempel.
Kedua, episode ketika istilah merdeka belajar menjadi terminologi Pemerintah, yakni ketika Pemerintah bekerja menafsirkan apa makna merdeka belajar. Pemerintah mengambil langkah "aman" dengan memungut istilah yang "tidak bermasalah" secara makna, baik dalam kamus maupun dalam masyarakat.
Di dunia kamus, istilah merdeka belajar, bahkan sebelum dijadikan pilihan nama untuk sebuah kebijakan, sudah inheren di dalamnya seperangkat nilai superlatif.Â
Dalam arti luas, merdeka belajar adalah filosofi tentang hidup, tentang "being" (merdeka untuk belajar; merdeka karena belajar) dan "becoming" (merdeka dengan belajar; merdeka melalui belajar).Â
Secara nilai superlatif, karena tentang cita-cita manusia ideal, maka merdeka belajar adalah juga milik semua orang. Inilah yg ada dalam benak pemerintah; mengunduh makna yang tepat untuk situasi yang tepat. Makna ini kemudian dijadikan label kebijakan negara karena ia bisa diterima semua pihak terlepas dari atribut dan bendera.
Ketiga, episode ketika merdeka belajar menjadi terminologi yang shared antara pemerintah dan rakyat (publik). Episode ini-- episode yang saat ini tengah berlangsung --menandai waktu negosiasi antara Pemerintah dengan masyarakat luas.
Dalam konteks imaginer, Pemerintah duduk semeja dengan rakyatnya, dan meyakinkan bahwa apa yang telah diputuskan telah melalui mekanisme yang tidak mudah dan biaya yang tidak murah, baik politis (menjaga dukungan stakeholders), kultural (menjaga konsistensi kebijakan), maupun psikologis (menjaga kepercayaan rakyat). Oleh karena itu Pemerintah akan menjawab negosiasi dengan menerjemahkan kebijakan ke dalam program-program.
Negosisasi itu menyangkut antara lain tuntutan publik agar Menteri menjelaskan langsung apa yang dimaksud dengan merdeka belajar. Bila merdeka belajar adalah narasi dengan episode-episodenya (lebih dari sekedar trend peristilahan), lantas ceritanya apa dan alurnya bagaimana?Â
Apa peran episode satu dengan yang lain dalam membangun cerita merdeka belajar? Apakah pesan nilai merdeka belajar cukup dijelaskan oleh program-program dalam tiap episodenya?
Negosiasi yang lain menyangkut pedagogi di lapangan. Meskipun tampak sederhana (pedagogical practices, methods and priciples), karena merupakan inti narasi, maka poin ini termasuk yang pertama harus mendapat kejelasan. Yakni tentang makna merdeka belajar sebagai metode, "Bagaimana pelaksanaannya?"
Hal ini mengingat pengertian merdeka belajar sangat luas (dari sistem nilai hingga satuan prosedur); siapa pun yang mengampu tugas mengajar (guru, dosen) akan cukup kebingungan dalam pelaksanaanya. Ketika tiba di tangan para pengampunya di lapangan istilah ini hadir tanpa bentuk, tidak bisa dipegang dan digunakan.
 Tidak di tangan guru kelas sekolah dasar, tidak di tangan guru besar universitas, istilah ini bisa kehilangan signifikansinya bila terlalu umum untuk diikat sebagai satuan kegiatan: Bila pendekatannya adalah bahwa pengampu bebas menafsirkan, maka pendekatan ini bisa masuk jebakan "anything goes." Dan bila pendekatannya adalah bahwa merdeka belajar lebih bersifat nilai, maka pendekatan ini telah terwadahi sebagai filosofi; jadi situasinya circular.
Di lapangan pengampu biasanya diajari untuk menerjemahkan kebijakan; misalnya menerjemahkan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar (KI/KD) ke dalam rumusan tujuan dan satuan operasional pembelajaran.Â
Juga diajari mencari cara paling efektif dalam mengajar. Pengampu yang terlatih pengalaman dan intuisinya memiliki keahlian dalam mengukur apakah suatu metode tepat digunakan sesuai tujuan belajar, gradasi materi, dan kondisi siswa.
Salah satu cara yang pernah populer adalah metode (tepatnya, pendekatan) eklektik. Ketika memilih untuk menggunakan beberapa metode pengampu melakukannya dengan pemahaman bahwa metode-metode tersebut tidak saling bertentangan (mis. metode yang satu induktif dan yang lain deduktif); atau saling tidak konsisten dan rancu (mis. metode x di dalam metode y); atau sum-of-its-parts yang tidak membentuk unified whole (tidak memiliki karakter yang integrated dan terstruktur untuk sebuah metode).
Suatu metode mengajar yang baik (established) lazimnya telah terpenuhi (sufficient) prinsip dan modelnya sendiri dalam teorisasinya. Artinya, merdeka belajar, bila sebagai metode, seyogianya memiliki prinsip-prinsip yang jelas bagaimana mekanisme pelaksanaannya; tidak merdeka dalam arti laizzes faire, juga tidak kaku harus menggunakan metode tertentu, dan tidak eklektik tanpa framework.
Keempat, ketika merdeka belajar telah menjadi rutinitas dalam masyarakat dalam bentuk praktek operasional di lapangan. Pemerintah mulai menjaga jarak untuk tidak terlalu mengatur teknis implementasi namun lebih banyak melepas merdeka belajar menjadi pikiran dan property publik sementara memberi dukungan di belakang. Wacana tidak lagi deklaratif melainkan prosedural. Percakapan lebih banyak informal, close-proximity, antar pelaksana horisontal.
Episode ini kelak menandai merdeka belajar dari semula hanya istilah kamus-thesaurus kini menjadi institusi nilai-- kultural-struktural. Pada saat merdeka belajar telah menjadi institusi nilai yang membedakan praktek-praktek kini dan lampau, maka tatkala itu merdeka belajar menjadi identitas baru.
Namun sekali lagi hal ini dimungkinkan bila konsepnya jelas. Oleh karena itu masih menjadi task (PR) dalam episode ini adalah ditemukannya benang merah (conceptual narrative) yang memandu tindakan satu dengan tindakan lain, kejadian kini dengan kejadian kemudian; sehingga narasi merdeka belajar benar-benar membangun cerita yang happy ending.
Kelima, adalah episode ketika merdeka belajar kembali kepada Pemerintah. Satu hal yang juga menarik untuk dicermati dalam menggenapi cerita merdeka belajar adalah prefigurasi revolusi industri keempat dalam konstruksinya.Â
Artikel ini memang belum mengulasnya sedari awal (akan disampaikan pada bagian 2) namun terkaan kasar entitas ini mungkin malah masuk pra-episode sebagai salah satu nilai strategis.
Kemunculannya kelak dalam episode 4 akan menjadi prolog ke episode 5 ketika nilai-nilai strategisnya menjadi faktor yang menentukan kriteria sukses merdeka belajar.Â
Maka, kembali ke awal tulisan, konsep yang diusung merdeka belajar akan mendefinisikan model hubungan antara merdeka belajar dengan revolusi industri 4 dalam pendidikan.
(Bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI