Mohon tunggu...
Darwin Raja Unggul Munthe
Darwin Raja Unggul Munthe Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Berpikir seperti orang bodoh sehingga giat untuk selalu belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Konteks Tanpa Teks

30 April 2016   12:36 Diperbarui: 2 Mei 2016   17:30 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, dan buah dikenal dari pohonnya.” Pepatah lama yang masih tetap popular yang menceritakan keteladanan manusia.

Sosok kakek bagi kami, acap kali memperagakan arti dan makna kehidupan. Apa saja yang ia lakukan pasti mencontohkan yang baik, apalagi sampai ia memperkatakannya.

Saya selalu seperti dipaksa berpikir sejenak, atas setiap perkataa dan sikapnya. Bicarnya memang sederhana, tapi susah meluputkannya dari pikiran.

“Kalau kita sedang melintas dijalan, melihat ada tali kerbau orang lepas dari tambatannya, jangan dibiarkan ya. Ikatkan saja lagi pada tambatanya kembali, dengan begitu, kerbau itu tidak lepas lebih jauh lagi. Si empunya kerbau pun tidak bingung mencarinya,” satu kali pesan kakek.

“Jangan terlalu takut untuk sedikit repot berbuat kebaikan bagi orang lain,” tegasnya lagi.

Dikampung kami, memelihara kerbau adalah satu pilihan. Kerbau dapat membantu menarik kereta. Petani sangat terbantu dalam mangangkut hasil tani dari ladang ke pasar dengan kereta kerbau.

Kerbau-kerbau, biasanya ditambatkan pada area dimana kerbau itu dapat makan rumput. Memang, tali kerbau ada saja lepas dari tambatannya. Kalau sampai lepas, tentu si empuya kerbau akan kebingunan mencari-cari keberadaan kerbaunya, karena kerbau bisa saja pergi jauh.

“Belajar dari hal-hal yang sulit adalah baik. Baik, agar kita terbiasa menghadapi kesulitan,” satu kali ucap kakek.

“Kalau disekolah ada kurikulum pelajaran, mungkin ini kurikulum kehidupan kali ya?” pikirku.

Kita akan terasah menjadikan hal yang sulit, untuk menjadi lebih mudah. Tentu, jika kita tidak pernah menolak kesulitan itu. Kemudahan tentu harapan bagi setiap orang, namun, tidak mudah mendapatkannya. Tidak mau berusaha, atau menolak jika mengalami kesulitan, mustahil mengalami kemudahan.

Rutinitas kakek setiap hari adalah ke ladang. Kalau memperhatikan beliau berjalan, sesekali menunduk, dan kebanyakan memandang luas kedepan. Tempo irama langkah kakinya pun, teratur, seperti keteraturan penuturan dan sikap kesehariannya.

Satu kali pernah berjalan bersamanya. Terkadang, aku harus berlari mengejarnya, aku sering tertinggal. Tertinggal, karena aku memang sibuk mengamati dan mengambil sesuatu dijalan yang menarik perhatianku, terutama mengambil batu-batu kecil.

Aku paling suka melempar batu sambil berjalan, serasa aku sedang mengukur keahlianku melempar jarak jauh. Sesekali memang, ia melihatku kebelakang, namun tetap aja dia berjalan tanpa berkesan mau menunggu.

Dari kejauhan, aku melihat kakek sedang berada ditepi diladang orang, beliau sedang menegakkan sebatang pohon jagung yang sudah tertumbang. Ia punuh sabar, ia mencoba menegakkan dengan bantuan potongan ranting, mengatur penyokong batang jagung.

Dengan rasa penasaran, aku berlari sampai mendekati dan memperhatikan.

“Sedang apa kakek, kenapa kakek harus menegakkan pohon jagung orang itu?” tanyaku.

“Nanti, kalau ada orang kemudian mengambil buahnya, padahal kita sudah meninggalkannya, apakah bukan kita nanti akan dituduh mengambilnya? Kan bisa aja ada orang melihat kita disini?” kataku seperti menasehati.

“Kalau kita sudah melihat yang sesuatu yang perlu diperbaiki, apalagi didepan mata kita, lakukan dan perbaiki saja lah. Jangan terlalu takut dituduh kalau tidak memang salah, perbaiki aja kalau ada yang kurang dilihat mata kita.” pungkasnya.

“Terlalu banyak berpikir, apalagi harus menunggu jawaban dari pikiran kita, apakah itu baik atau tidak, itu merepotkan sekali, dan itu tidak perlu. Lakukan saja,”tegasnya lagi.

“Menuduh perlu kebenaran bukti, bukan dengan prasangka saja. Belajar juga demikian, perlu keberanian dan kegigihan melakukan yang benar. Jangan pernah takut. Jangan pikirkan pikiran jelek orang lain terhadap kita,” petuah kakek.

Aku tidak terlalu paham akan penuturan kakek saat itu, lewat begitu saja seperti angin lalu. Tapi dipikiranku hanya melekat gerak tubuhnya saat melakoni dengan sungguh tulus, saat menegakkan pohon jagung itu, dan aku, sulit sekali melupakan seluruh durasi itu.

“Ooo, semestinya harus kita begitu ya?” pikirku.

***

Beranjak dalam usia, aku pun masuk dalam kategori dewasa ketika mulai memasuki dunia kampus. Aku harus pergi jauh merantau. Tinggal disatu kota, yang harus lintas pulau, dimana tempat aku menjadi anak kuliahan.

Liburan semester pertama, sangat menggembirakan. Rasa ingin pulang kampung bertemu orangtua pun semakin mengebu-gebu. Serasa ingin bercerita banyak pada orang-orang dikampungku. Dan, akupun menghabiskan masa liburan berada di kampung halaman.

Ada budaya kami yang istimewa; “manuk binatur” (dalam Batak Simalungun adalah ayam jantan yang sudah dimasak dengan cara tersendiri, dan setelah matang, semua organ ayam itu diatur kembali pada posisi organ sesungguhnya sehingga tampak ayam utuh).

Ini dihidangkankan kepada saya, satu hidangan yang sangat istimewa tentunya.

Manuk binatur” sebetulnya media penghantar komunikasi dan “doa” akan satu harapan dan suka-cita yang sudah kita alami, dan berharap kembali pada masa yang akan datang.

Aku menjadi istimewa dengan suguhan itu, ditambahan hidangan yang dikasi “bumbu” hati tulus dan cinta dari ibu, kakek dan nenek. Mereka mempersiapkan semua sangat baik dalam memberangkatkan aku kembali menempuh studi.

Kakek dengan tenang duduk didepanku dan kembali melirikku, terlihat seolah ia ingin sekali mau berbicara.

“Apakah kau sudah merasa pintar?” tanya kakek.

Aku berpikir lama untuk memberikan jawaban, sehingga sementara ada suasana bisu diantara kami. “Kog aneh ya pertanyaan ini?” dalam hati.

“Bagaimana, apakah kau sudah pintar?” ulangnya lagi.

“Iya, aku pintar kalau ada sesuatu yang aku tahu menyelesaikannya, tapi aku bodoh untuk sesuatu yang aku tidak tahu menyelesaikannya,” sahutku. Saya kira jawaban ini adalah benar sesuai yang dipikiran si Kakek saat bertanya padaku.

“Dalam hidup ini, kita perlu selalu merasa tidak pintar atau bodoh, agar kita selalu mau untuk belajar. Jadi selama kita hidup, kita adalah manusia yang mau harus terus belajar, karena hidup perlu belajar,” katanya.

“Rajin-rajinlah belajar ya, pintar-pintarlah dengan lingkungan, hormat dengan orang-orang sekitar, hormat pada orangtua dimana kita tinggal, jangan pernah duduk didepan dengan santai-santai. Lihat, dan kerjakan apa saja didapur yang harus dibantu, bersihkan rumahnya, sapu halamannya, jangan diam. Pandai-pandailah!” pesannya.

***

Sekarang, aku baru sadar semua itu konteks itu. Aku sudah mempunyai tiga orang anak kecil, yang semestinya mereka harus melihat dan belajar satu teladan.

“Masa lalu memang tidak sama dengan masa yang akan datang, tapi pembelajaran yang aku pernah terima dimasa itu, sepertinya masih tetap berlaku pada masa sekarang. Kebajikan adalah bekal menjalani kehidupan dimasa yang akan datang,” pikir-pikirku

“Apakah aku sudah “buah” yang benar, apakah aku sudah “pohon” yang benar? tanyaku.

“Buah – Pohon – Buah - Pohon” seperti running text yang melintas-lintas dipikiranku, dan sampai seketika aku pun terbangun.

Jam menunjukkan 05:00 WIB, aku membangunkan anak-anakku untuk bersiap sekolah, dan mengajak mereka berdoa. Dalam doa, aku sebut, agar mereka menjadi manusia pembelajar.

Aku menghantarkan mereka sekolah seperti biasa, dalam perjalanan, tiba-tiba anak paling tua bertanya padaku. “Pak, apa maksudnya manusia pembelajar, tadi aku dengar dalam doa Bapak,” tanyanya terlihat serius.

“Ooo, nyimak juga ternyata kawan ini,” pikirku.

“Manusia pembelajar itu, kalian harus rajin belajar disekolah, disekolah itu bukan mata pelajaran saja. Datang harus tepat waktu, itu namanya disiplin. Tidak boleh juga nyontek, itu namanya jujur. Kalau teman butuh bantuan, harus dibantu, itu namanya berbagi. Tidak boleh egois, apalah mengejek-ejek kelemahan orang lain ya, itu namanya toleransi,” jelasku.

“Harus hormat sama guru, seperti menghormati orangtua sendiri, jangan pernah mengejek-ejek guru kita, hormati terus sepanjang usia kita,” tegasku.

Sembari aku juga berangkat perjalan ke kantor. Diperjalan, saat aku melintasi gedung –gedung perkatoran, aku berpikir-pikir dalam hati makna doaku bersama anak-anakku tadi pagi itu.

“Apa iya, kalau aku hanya pandai menjeleskan saja ya, bukankah harus memberi contoh,” pikirku.

“Aku sepertinya harus menciptakan kurikulum kehidupan bagi anak-anakku. Apakah aku sudah mengajarnya, apakah aku sudah guru yang baik, dan apakah aku sudah mencontohkannya?” pikir-pikirku. “Ah....sepertinya tidak semudah yang kita ucapkanya?” pikirku lagi.

Kurikulum sekolah adalah penting, tapi tidak kalah penting adalah kurikulum kehidupan. “Siapa gurunya?” Kita!

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun