Satu kali pernah berjalan bersamanya. Terkadang, aku harus berlari mengejarnya, aku sering tertinggal. Tertinggal, karena aku memang sibuk mengamati dan mengambil sesuatu dijalan yang menarik perhatianku, terutama mengambil batu-batu kecil.
Aku paling suka melempar batu sambil berjalan, serasa aku sedang mengukur keahlianku melempar jarak jauh. Sesekali memang, ia melihatku kebelakang, namun tetap aja dia berjalan tanpa berkesan mau menunggu.
Dari kejauhan, aku melihat kakek sedang berada ditepi diladang orang, beliau sedang menegakkan sebatang pohon jagung yang sudah tertumbang. Ia punuh sabar, ia mencoba menegakkan dengan bantuan potongan ranting, mengatur penyokong batang jagung.
Dengan rasa penasaran, aku berlari sampai mendekati dan memperhatikan.
“Sedang apa kakek, kenapa kakek harus menegakkan pohon jagung orang itu?” tanyaku.
“Nanti, kalau ada orang kemudian mengambil buahnya, padahal kita sudah meninggalkannya, apakah bukan kita nanti akan dituduh mengambilnya? Kan bisa aja ada orang melihat kita disini?” kataku seperti menasehati.
“Kalau kita sudah melihat yang sesuatu yang perlu diperbaiki, apalagi didepan mata kita, lakukan dan perbaiki saja lah. Jangan terlalu takut dituduh kalau tidak memang salah, perbaiki aja kalau ada yang kurang dilihat mata kita.” pungkasnya.
“Terlalu banyak berpikir, apalagi harus menunggu jawaban dari pikiran kita, apakah itu baik atau tidak, itu merepotkan sekali, dan itu tidak perlu. Lakukan saja,”tegasnya lagi.
“Menuduh perlu kebenaran bukti, bukan dengan prasangka saja. Belajar juga demikian, perlu keberanian dan kegigihan melakukan yang benar. Jangan pernah takut. Jangan pikirkan pikiran jelek orang lain terhadap kita,” petuah kakek.
Aku tidak terlalu paham akan penuturan kakek saat itu, lewat begitu saja seperti angin lalu. Tapi dipikiranku hanya melekat gerak tubuhnya saat melakoni dengan sungguh tulus, saat menegakkan pohon jagung itu, dan aku, sulit sekali melupakan seluruh durasi itu.
“Ooo, semestinya harus kita begitu ya?” pikirku.