Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Perpustakaan Hanya Dianggap Sebagai Fasilitas Perguruan Tinggi

29 April 2017   23:03 Diperbarui: 29 April 2017   23:14 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perpustakaan adalah nyawa perguruan tinggi. Bukan sekadar fasilitas (ilustrasi via https://www.ucollege.edu/library)

Selepas menyelia pengumuman SNMPTN untuk adiknya, Basuki langsung memaki seraya membanting koran ke meja kerjaku.

"Katanya orang kampus, tapi masih aja guoblok!"

Ia memang sosok yang temperamental dan ceplas-ceplos. Tapi kuakui, ia sedikit lebih cerdas.

"Loh loh loh.. kamu tuh kenapa sih?" Aku bertanya sambil berpura-pura heran dan kesal sambil terus berkutat dengan pekerjaanku.

"Kamu lihat ini!" Katanya sambil menunjuk iklan-iklan perguruan tinggi yang nyempil di antara pengumuman SNMPTN.

"Ngapain ngeliatin iklan kampus? Emang aku mau kuliah? Gak butuh!" Aku menolak.

"Coba diteliti lagi, dilihat pelan-pelan!" Tegasnya lagi.

"Memangnya ada apa sih? Tinggal bilang aja apa susahnya." Jawabku sambil terus menatap layar monitor komputer, menyelia naskah yang harus kuselesaikan hari ini.

"Ini loh...kamu lihat betapa gobloknya orang-orang kampus di sini. Kelihatan banget dari cara mereka ngiklanin kampusnya."

"Nggak kreatif maksudmu? Iya sih, bahasanya gitu-gitu melulu perasaan." Aku berkomentar asal tanpa menunggu konfirmasi darinya.

"Haha...jangan harap mereka bakalan kreatif, " ia tergelak sumbing, "lha wong logikanya saja masih semrawut kok!"

"Ini sebenernya mau ngomongin apa sih?" Aku bertanya kesal karena belum mengerti ke mana sebenarnya arah pembicarannya.

"Ini loh...lihat! Lihat di bagian fasilitasnya." katanya sambil menunjuk beberapa iklan, kali ini aku mengalah dan benar-benar memeriksa iklan-iklan itu, "perpustakaan kok ya disebut-sebut juga..haha."

"Loh...memangnya salahnya di mana?"

"Itu sama aja kayak mereka, misalnya, nyebut buku-buku sebagai fasilitas perpustakaan. Sama aja kayak misalnya, nyebut kursi dan sopir sebagai fasilitas bus-bus AKAP."

"Lha memang harusnya gimana?"

"Begini loh...yang namanya fasilitas itu sesuatu yang sifatnya bisa memudahkan atau dapat memberi kenyamanan lebih bagi mahasiswa. Contohnya lift, gazebo, taman, kakus, kantin, asrama, musala, jaringan internet, dan lahan parkir yang luas. Itu baru fasilitas. Kalau memang disediakan ya syukur, kalaupun enggak ya enggak apa-apa. Paling-paling ya cuma agak menyulitkan. Tapi setidaknya tanpa itu semua kampus akan tetap hidup."

"Lha kalau perpustakaan?" Ia bertanya, lalu melanjutkan perkataannya tanpa menunggu aku memberi jawaban. "Itu 'kan memang sesuatu hal yang sudah pasti dan atau harus ada di perguruan tinggi. Kebutuhan dasar. Salah satu unsur terpenting. Bahkan bisa dibilang merupakan nyawanya."

"Kalau perpustakaan tidak ada, ya berarti lebih baik kampusnya dibakar saja. Dan untuk perguruan tinggi sekelas di Yogya, menurutku terlalu menghina intelektualitas jika masih menyebut perpustakaan sebagai fasilitas kampus."

"Aku jadi curiga, jangan-jangan mereka itu memang tak menganggap penting perpustakaan dan menganggapnya hanya sebagai sarana penunjang." Sampai di sini aku melihat ada api yang membara di matanya. Di wajahnya.

"Kalau kampus mereka itu di daerah terpencil, wajar nyebut-nyebut perpustakaan sebagai fasilitas. Karena bisa jadi itu memang sesuatu hal yang akan menarik hati calon mahasiswa--yang kebutuhan membacanya tak pernah terpenuhi." Nada bicaranya masih belum mereda. Tetap tinggi.

"Aku benar-benar ndak habis pikir. Ini benar-benar sudah terbalik. Perguruan tinggi, yang notabene hanya sebagai penerbit ijazah, menganggap dirinya lebih tinggi dari perpustakaan, nyawa perguruan tinggi itu sendiri, esensi dari ijazah itu sendiri. Di sini kadang aku jadi merasa pengin membakar gedung rektorat. Kayak gitu kok katanya mau mengantarkan mahasiswanya menuju kesuksesan. Tai!"

Dyaaar! Mejaku digebraknya. Aku terhentak. Atasan kami keluar dari ruangannya untuk mencari sumber suara. Sekali lagi, wajah Basuki memerah padam. Mungkin menahan malu atau memang benar-benar menahan kemarahan. Yang jelas ia kini telah duduk di sebuah kursi dengan sedikit lebih tenang. Sepertinya ia baru saja mengamalkan ajaran Nabi Muhammad tentang mengendalikan kemarahan.

Sementara itu, atasan kami tampak sedang berjalan ke arah meja kerjaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun