Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Perpustakaan Hanya Dianggap Sebagai Fasilitas Perguruan Tinggi

29 April 2017   23:03 Diperbarui: 29 April 2017   23:14 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perpustakaan adalah nyawa perguruan tinggi. Bukan sekadar fasilitas (ilustrasi via https://www.ucollege.edu/library)

"Ini sebenernya mau ngomongin apa sih?" Aku bertanya kesal karena belum mengerti ke mana sebenarnya arah pembicarannya.

"Ini loh...lihat! Lihat di bagian fasilitasnya." katanya sambil menunjuk beberapa iklan, kali ini aku mengalah dan benar-benar memeriksa iklan-iklan itu, "perpustakaan kok ya disebut-sebut juga..haha."

"Loh...memangnya salahnya di mana?"

"Itu sama aja kayak mereka, misalnya, nyebut buku-buku sebagai fasilitas perpustakaan. Sama aja kayak misalnya, nyebut kursi dan sopir sebagai fasilitas bus-bus AKAP."

"Lha memang harusnya gimana?"

"Begini loh...yang namanya fasilitas itu sesuatu yang sifatnya bisa memudahkan atau dapat memberi kenyamanan lebih bagi mahasiswa. Contohnya lift, gazebo, taman, kakus, kantin, asrama, musala, jaringan internet, dan lahan parkir yang luas. Itu baru fasilitas. Kalau memang disediakan ya syukur, kalaupun enggak ya enggak apa-apa. Paling-paling ya cuma agak menyulitkan. Tapi setidaknya tanpa itu semua kampus akan tetap hidup."

"Lha kalau perpustakaan?" Ia bertanya, lalu melanjutkan perkataannya tanpa menunggu aku memberi jawaban. "Itu 'kan memang sesuatu hal yang sudah pasti dan atau harus ada di perguruan tinggi. Kebutuhan dasar. Salah satu unsur terpenting. Bahkan bisa dibilang merupakan nyawanya."

"Kalau perpustakaan tidak ada, ya berarti lebih baik kampusnya dibakar saja. Dan untuk perguruan tinggi sekelas di Yogya, menurutku terlalu menghina intelektualitas jika masih menyebut perpustakaan sebagai fasilitas kampus."

"Aku jadi curiga, jangan-jangan mereka itu memang tak menganggap penting perpustakaan dan menganggapnya hanya sebagai sarana penunjang." Sampai di sini aku melihat ada api yang membara di matanya. Di wajahnya.

"Kalau kampus mereka itu di daerah terpencil, wajar nyebut-nyebut perpustakaan sebagai fasilitas. Karena bisa jadi itu memang sesuatu hal yang akan menarik hati calon mahasiswa--yang kebutuhan membacanya tak pernah terpenuhi." Nada bicaranya masih belum mereda. Tetap tinggi.

"Aku benar-benar ndak habis pikir. Ini benar-benar sudah terbalik. Perguruan tinggi, yang notabene hanya sebagai penerbit ijazah, menganggap dirinya lebih tinggi dari perpustakaan, nyawa perguruan tinggi itu sendiri, esensi dari ijazah itu sendiri. Di sini kadang aku jadi merasa pengin membakar gedung rektorat. Kayak gitu kok katanya mau mengantarkan mahasiswanya menuju kesuksesan. Tai!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun