Begitu juga dengan ketika dulu saya mendapat amanah seekor kambing dari Mas Tonik, tak lain karena saya sudah cukup lama memelihara kambing bersama kakak saya yang nomor 9, Kandar, dan kami cukup cocok (sinung : [Jawa]) dengan binatang peliharaan.
Demikianlah indahnya sistem bagi hasil yang pernah saya jalani dan saksikan. Sangat adil dan menguntungkan. Sangat aman dan menenteramkan. Belakangan saya baru tahu bahwa sistem semacam itu ternyata merupakan kearifan lokal masyarakat kita yang, kalau dihubungkan dengan hukum Islam, sudah sangat syar’i.
Saya baru mengetahuinya setelah mengikuti sosialisasi “Aku Cinta Keuangan Syariah” (ACKS) yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Kompasiana di Yogya pada 25 Maret lalu. Kepala Bagian Departemen Perbankan Syariah OJK Mbak Aprilia Ratna Palupi saat itu mengatakan bahwa bagi hasil merupakan prinsip utama perbankan syariah.
Dari situ saya kemudian berpikir, dengan kondisi seperti sekarang ini--mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan budaya yang sudah mengakar--, maka seharusnya itu sudah dapat menjadi modal besar bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Terlebih lagi, produk dan skema keuangan perbankan syariah saat ini juga sudah sangat variatif, kredibel, lengkap, modern, dan tentu saja lebih adil dan menguntungkan.
Mereka Terjerat Riba, Bisa Jadi Karena Andil Kita Juga
Bencana itu menimpa keluarga ibu TM, tetangga sekaligus teman ibu berjualan di pasar. Niat hati ingin menambah modal dagangan dan melipatgandakan keutungan, namun malah membuat Bu TM terjerumus jerat utang yang beranak (berbunga). Sehingga bukan untung yang kemudian didapatkan, tetapi buntunglah yang ia rasakan. Usahanya bangkrut, rumahnya terpaksa harus dijual, anak-anaknya tercerai berai, dan ia pun kemudian merantau ke Malaysia menjadi pembantu rumah tangga, demi melunasi utangnya yang terus berbunga tanpa mengenal musim.
Bu TM adalah korban praktik riba yang dilakukan oleh perseorangan. Kita belum berbicara soal praktik riba yang dilakukan oleh lembaga keuangan, yang dalam hal ini adalah bank-bank konvensional. Kisah-kisah seputar nasabah yang terjerat utang dan bunga bank konvensional sudah begitu banyak. Mulai dari mereka yang terjerat utang kartu kredit, modal usaha, kredit pembiayaan rumah, dan lain sebagainya. Namun tahukah Anda bahwa kita pun juga turut andil membuat mereka seperti itu?
Loh kok bisa?
Terang saja bisa. Karena uang yang dipakai bank konvensional untuk memberi utang mereka adalah uang nasabahnya; uang saya dan uang Anda. Terlebih jika ternyata kita turut menikmati bunga dari uang yang Anda simpan di bank tersebut. Maka secara langsung Anda juga turut menikmati bunga yang diambil bank dari mereka yang terjerat riba. Astaghfirullah….!
Loh, tapi saya ‘kan menyimpan uang di bank, tidak bolehkah jika kemudian saya berharap keuntungan dari uang yang saya taruh di sana?